T I G A B E L A S

1454 Kata
Sudah beberapa kali Raya mencoba beberapa dress yang benar-benar terlihat sopan dan bisa menutupi perutnya yang sudah terlihat buncit meski baru memasuki usia 10 minggu. Daffa yang sudah rapi dengan kemeja putihnya tampak heran melihat Raya yang sibuk sendiri di depan cermin. "Daf, aku pake dress yang mana ya kira-kira? masa pake ini, perut aku kelihatan banget." Tanya Raya saambil mengusap-usap perut buncitnya. "Nggak apa-apa pake itu aja, cantik kok." Raya cemberut dan melihat-lihat beberapa dress yang ia bawa. "Serius nggak apa-apa? nanti kalau orang tua kamu tau kalau aku hamil gimana?" Daffa tertawa menanggapi pertanyaan Raya. Toh nanti Daffa juga akan memberi tahu tentang kehamilan Raya pada kedua orang tua-nya. "Udah pake itu aja mereka juga bakal tau kalau kamu hamil." "Tapi Daf ....." "Nggak apa-apa pake itu aja." Raya akhirnya mengangguk dan membereskan beberapa drees yang berserakan di atas ranjang dan segera duduk di depan meja rias untuk mempercantik wajahnya. Setelah selesai bersiap keduanya langsung keluar dari dalam kamar karena Deva dan Dea sudah menunggu. "Yuk berangkat," ucap Deva. Setelah itu mereka memasuki mobil sedan mewah milik Deva yang di sopiri Daffa. Rasanya perjalanan begitu cepat, padahal jarak rumah Deva dengan kedua orang tuannya cukup jauh. Daffa menghentikan mobil-nya di pekarangan rumah orang tuanya yang tampak sepi. "Yang sopan dan jangan gampang emosi." Peringat Deva sebelum mereka keluar dari mobil. Daffa mengangguk dan berusaha tenang. Ia berdoa semoga malam ini Papa-nya tak membuatnya emosi. Meski itu rumah orang tua mereka sendiri, mereka tetap menunggu sampai ada seseorang yang akan membuka kan pintu. "Malam, pa, ma ..." Sapa Deva dengan ramah. "Yuk masuk." Ajak Mamanya. Mereka semua masuk ke dalam dan duduk di ruang tamu. Raya terus menggenggam tangan Daffa. Jantungnya benar-benar berdetak sangat kencang dan tubuh-nya tiba-tiba terasa sangat dingin. "Pa, Ma, ini Raya pacar aku," ucap Daffa memperkenalkan Raya yang kini duduk di sampingnya. "Kenapa kesini? sudah butuh bantuan Papa?" Daffa terdiam mencoba menahan emosinya agar rencannya ngobrol baik-baik tidak hancur. "Maaf, aku kesini hanya mau meminta restu papa dan mama." "Restu apa?" Kini Mamanya lah menyahut cepat. "Aku mau nikah!" Seketika raut wajah kedua orang tua Daffa tampak sangat terkejut. Terlebih Papa-nya, pria paruh baya itu tampak sangat marah. "Nikah! nikah! punya apa kamu mau nikah!" Bentak Papanya membuat Raya ketakutan dan semakin kuat mencengkeram tangan Daffa. "Pa, sabar biar Daffa jelasin," ucap Deva berusaha menenangkan Papa-nya. "Nggak!" Bantah papanya yang kini sudah marah besar. "Papa nggak bisa larang aku! belum puas papa rusak semua yang sudah aku bangun?!" ucap Daffa dengan nada tinggi karena sudah mulai emosi. "Sebelum kamu kembali ke rumah ini, papa nggak akan pernah berhenti!" Mati-matian Daffa menahan emosinya yang sudah mendesak ingin di semburkan. "Kami jangan macam-macam karena apapun akan papa lakukan agar kamu bisa ikuti jalan yang sudah papa buat!" Daffa mengatur Nafasnya yang naik turun tidak teratur dan beralih pada Raya yang ketakutan melihat perseteruan dirinya dengan sang Papa. "Papa nggak akan restuin kalian menikah sebelum kamu menyelesaikan kuliah kamu dan bisa membangun karier kamu seperti Deva!" "Aku harus nikah secepatnya! aku janji kalau papa dan mama kasih restu aku buat nikah aku akan turuti semua mau kalian, aku akan kembali me rumah ini!" ucap Daffa pada akhirnya. Demi bisa menikahi Raya ia rela menjadi robot papanya dan mengikuti apapun yang dia mau. "Nggak bisa! kamu harus selesaikan dulu pendidikan kamu." "Pa, aku mohon ...." "Papa bilang nggak bisa ya nggak bisa!" Bentak papa-nya. "Raya hamil dan aku harus nikahi dia!" Ucap Daffa dengan lantang mengakui semuanya di hadapan kedua orang tuanya. Ia berharap dengan cara ini orang tuanya mau mengabulkan permintaannya. Hening beberapa saat sebelum bogeman kuat mendarat di wajah Daffa. "Daffa!" Teriak Raya saat tubuh Daffa oleng karena pukulan keras dari sang papa. "Papa stop, pa." Deva berusaha menahan papa-nya saat akan membogem wajah Daffa lagi. "Anak kurang ajar ini harus dikasih pelajaran!" "Pukul lagi pa, pukul!" ucap Daffa menantang sekalian. "Kurang ajar! Lepas Dev!" Satu bogeman yang lebih kuat kembali mendarat di wajah Daffa membuat Raya menangis dan terduduk lemas karena tak bisa berbuat apa-apa saat melihat Daffa di pukuli oleh papa-nya. "Mulai saat ini jangan pernah sebut kami sebagai orang tua kamu! kita nggak sudi punya anak pembangkang seperti kamu!" Ucap Ardi penuh amarah. "Pa, jangan begitu." Deva menahan tangan Papa-nya dengan wajah memohon. Ia tak tega melihat adik-nya di perlakukan seperti ini meskipun ini sudah menjadi konsekuensi Daffa. "Kamu jangan coba-coba ikut menjadi pembangkang!" Ardi menghempas cekalan tangan Deva. "Kamu bukan lagi bagian keluarga Miller, kamu tidak akan mendapat sepeserpun harta dari keluarga ini dan anggap kita tidak pernah saling berhubungan!" ucap Ardi tak main-main. "Papa! bagaimana pun Daffa tetap anak kita." Mamanya yang sedari tadi diam akhirnya mulai buka suara dan menghampiri Daffa yang tengah memegangi luka di wajahnya. "Kamu jangan coba-coba bela anak itu!" "Dia anak aku!" Ardi mengerang dan mengusap wajahnya kasar. "Daffa, kamu tetap anak mama, kamu nggak boleh pergi kemana-mana," ucap Vera sambil mengusap lembut pipi putra bungsunya dengan penuh kasih sayang. "Maafin aku, ma." Jawab Daffa dengan suara yang parau karena saat ini dirinya tengah menangis. Sedangkan Deva memerintahkan Dea untuk membawa Raya keluar karena Raya mulai menangis histeris. "Sudah, Daf ayo kita pulang. Kalau disini kamu nggak di terima, rumah Mas masih terbuka lebar buat kamu." "Jangan coba-coba bantu anak kurang ajar ini!" Sentak Ardi. "Papa nggak punya hak buat larang apapun yang aku lakukan! aku bukan lagi Deva kecil yang selalu nurut apa kata Papa!" "Kalian memang anak-anak yang tak tahu di untung! hidup mewah dan masa depan cerah, siapa yang menciptakan itu semua kalau bukan Papa!" "Tapi cara papa salah! sudah cukup selama ini kita terus berada dalam kurungan papa." Jawab Deva mengeluarkan semua unek-unek yang tertahan selama 30 tahun. "Dari kecil aku sudah tertekan, tapi papa nggak peduli! aku sakit papa nggak peduli, dan aku jatuh papa juga nggak peduli. Yang ada di pikiran papa selama ini hanya kesuksesan, kepandaian, dan kekayaan! tanpa sadar kalau anak yang papa tekan tak mampu mengejar semua obsesi papa!" Semua menangis kecuali papanya yang tetap menunjukkan ekspresi penuh kemarahan. "Setelah ini aku akan hidup dengan cara ku sendiri, terserah papa masih mau anggap Deva sama Daffa anak papa atau bukan. Kita lelah ikuti obsesi Papa!" ucap Deva tak main-main. Ia akan mengembalikan seluruh usaha papa-nya yang kini tengah ia kelola dan bertahan dengan usahanya sendiri yang kini tak kalah besar. "Ayo Daf, meski kamu nggak di terima disini, rumah mas tetap terbuka lebar buat kamu dan Raya." Deva membantu Deva berdiri dan berjalan meninggalakan kedua orang tuanya dengan penuh luka di hati. "Ayo kita pulang," ajak Deva pada Dea dan Raya yang sama-sama menangis di teras rumah. Namun saat berdiri dan akan melangkah, tiba-tiba tubuh Raya limbung dan tak sadarkan diri. "Rayaa!" Pekik Dea yang kini menyangga tubuh Raya agar tak jatuh ke lantai. Dengan sigap Daffa langsung mengambil alih Raya dan di masukkan ke dalam mobil. Setelah semua masuk ke dalam mobil Deva langsung melajukan mobilnya menuju klinik terdekat karena takut terjadi apa-apa dengan Raya dan janin dalam kandungannya. ** Akhirnya Daffa bisa bernafas lega saat dokter mengatakan bahwa keadaan Raya dan janin-nya baik-baik saja. Raya sudah sadar dan sudah di pindah ke ruang rawat. "Raya kamu jangan terlalu stres ya, kasian baby-nya kalau kamu terus-terusan seperti ini." Nasehat Dea. Raya tersenyum tipis dan mengangguk. "Kalian jangan khawatir, kita akan bantu apapun urusan kalian." "Makasih ya kak," ucap Daffa pada Dea. "Mas ...." Daffa memanggil Deva yang sedari tadi diam di atas sofa. "Ya?" Jawab Deva singkat. "Mas, nggak perlu seperti itu. Jangan ikutin aku musuhin papa." "Siapa sih Daf anak yang mau musuhan sama orang tua? aku lakuin ini biar Papa sadar, bair Papa ngerti bagaimana pentingnya seorang anak biar dia nggak semena-mena sendiri." Daffa hanya diam mendengar ucapan Deva. Perasaan-nya benar-benar campur aduk malam ini. "Meski Papa udah usir kamu, jangan pernah berfikir untuk memutus tali persaudaraan kita." Daffa mengangguk lemas. Satu-satunya keluarga yang ia miliki hanya Deva dan Dea, jadi tak mungkin dirinya menyia-nyiakan kebaikan mereka. "Yasudah Daffa, Raya kita pamit pulang dulu ya takut Alfa nangis." Pamit Dea. Daffa mengantar Deva dan Dea sampai pintu ruang rawat inap Raya. Setelah keduanya menjauh Daffa segera menutup pintu dan kembali menghampiri Raya. "Aku tinggal tidur dulu nggak apa-apa? kepala aku pusing," ucap Daffa. Raya tersenyum tipis dan mengangguk. Ia tahu betul bagaimana kondisi hati dan pikiran Daffa setelah mendapat kecaman keras dari sang Papa. Daffa segera membaringkan tubuh-nya di atas sofa. Sedangkan Raya hanya bisa memandangi Daffa dari atas brankarnysa. ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN