Deva tengah duduk termenung di atas ranjangnya sendiri. Sedangkan istri tercintanya tengah menemani jagoan-nya bermain di luar kamar.
Dalam diamnya, dirinya selalu memikirkan kehidupan adik kandungnya — Daffa yang kini sudah hancur.
Andai Daffa tak keras kepala dan sedikit melunak pada keluarga pasti hal-hal semacam ini tak akan terjadi. Papanya tak akan sampai marah besar dan mengancam akan mencoret nama anak itu dari silsilah keluarga Miller.
"Mas ...."
Deva mendongak dan tersenyum tipis pada istrinya yang sudah berada di dalam kamar bersama jagoannya.
"Alfa udah ngantuk?" Tanya-nya pada Alfa yang sudah naik ke atas pangkuannya sambil mengucek-ucek matanya.
Alfa mengangguk dan menyandarkan kepalanya pada d**a ayah-nya.
"Tumben jam segini udah di kamar?" Karena biasanya di jam-jam seperti ini Deva yang super duper sibuk akan menghabiskan waktunya di ruang kerja.
"Aku lagi pusing."
"Aku ambilin obat sebentar ya."
Deva menahan tangan Dea saat akan beranjak dari sisi-nya. "Lagi pusing mikirin Daffa maksud-nya." Ralat-nya.
Dea mengangguk paham dan kembali duduk di samping suaminya. "Jangan ikut-ikutan nuntut Daffa ini itu, mas. Udah lah dukung aja apa mau dia."
"Aku takut mereka nggak sanggup." Daffa ataupun Raya sudah terbiasa dengan hidup berkecukupan apapun bisa terbeli tanpa harus bekerja keras. Dan saat hidup mereka berubah serba pas-pasan Deva takut mereka tidak akan kuat dan hidup mereka akan semakin hancur.
"Itu sudah menjadi pilihan mereka, mas. Aku juga berharap mereka bisa melalui ujian berat ini."
Deva berdecak. "Kenapa sih dia selalu keras kepala! kalau dia mau aku bisa masukin dia ke perusahaan hidupnya pasti akan terangkat kembali!" ucapnya kesal.
Dea mengembuskan nafas beratnya. Sebenarnya dirinya juga tak henti-hentinya menasehati Daffa agar mau bergabung dengan kakak-nya. "Aku juga udah sering bujuk dia, tapi hasil-nya selalu nihil."
"Daffa memang seperti itu dari kecil, ambisius, kalau udah punya niat susah di gagalkan, dan kalau maunya ini ya ini tidak bisa di ganggu gugat! nggak ngerti apa kalau tanggung jawab-nya bakal semakin besar."
"Kita sebagai keluarga harus selalu bimbing mereka, bantu mereka dalam urusan apa aja," ucap Dea.
Deva menggenggam tangan istrinya dan mengucap berkali-kali rasa syukur karena diberi istri sesabar dan sepeduli Dea. Meski pada awalnya Deva selalu menyia-nyiakan Dea tapi kini Deva semakin sadar bahwa Nadea tak ada dua-nya. "Terimakasih ya ...."
"Iya, Mas."
Sedangkan di kamar lain Daffa dan Raya tengah berbincang ringan karena belum juga diberi rasa kantuk.
Daffa memiringkan tubuhnya sambil mengusap perut raya yang terbalut piyama tidur. "Kira-kira ngurus anak repot nggak ya?" Tanya Daffa pada Raya yang tengah menatap langit-langit kamar.
"Aku nggak tau." Jawab Raya.
"Kak Dea dulu aja di bantu baby sitter saking repotnya."
"Semoga aku bisa ngurus baby kita sendiri ya."
Daffa mengangguk karena dananya mungkin tak akan cukup bila harus menyewa jasa baby sitter juga.
"Kamu juga harus berdoa biar usaha aku nanti lancar terus."
"Siap boss!"
Daffa terkekeh dan terus mengusap perut Raya penuh sayang. Di sisi lain dirinya benar-benar bahagia dengan kehamilan Raya. Andai situasinya tidak sekacau ini, pasti dirinya akan sangat menikmati masa-masa menjadi calon ayah.
"Kira-kira anak kita nanti mirip siapa ya?" Tanya Daffa.
"Ya mirip kita lah, masa mirip tetangga!"
Daffa tertawa terbahak-bahak. "Gemes aku pengen cepet-cepet gendong dia" kini Daffa susah menciumi perut Raya dengan Gemas.
"Baru juga 10 minggu."
"Semoga kelak dia bisa menjadi anak yang lebih baik dari kita."
"Aamiin."
"Kita juga harus bisa menjadi orang tua yang lebih baik dari orang tua kita. Kita harus selalu memperhatikan dia, menasehati dia, dan menjadikan dia anak yang baik," ucap Daffa yang terus Raya aminkan. Dirinya juga tak ingin anaknya seperti kisahnya dengan Daffa yang tumbuh dengan kurangnya perhatian dan kasih sayang orang tua.
"Aku kangen sama Mami aku. Dulu sebelum Mami meninggal, sehari saja aku nggak pernah ngrasain kesepian, sedih, atau menangis. Aku bahagia setiap hari."
"Setiap kamu kangen datangi makamnya berdoa disana semoga Mami kamu selalu diberi kebahagiaan di sisi-Nya." Daffa tau Raya sangat menyayangi Maminya lebih dari apapun. Apapun yang bersangkutan dengan Maminya Raya selalu menceritakan padanya dengan antusias. Sampai dirinya yang belum pernah mengenal Mami Raya saja bisa merasakan bagaimana spesialnya wanita itu.
"Besok anterin aku ke makan Mami ya." Raya mendongak dan menatap Daffa yang juga tengah menatapnya.
Daffa mengangguk, kemanapun Raya ingin pergi akan selalu ia temani.
"Kita minta doa restu sekalian sama Mami, pasti Mami seneng sebentar lagi akan punya cucu," ucap Raya.
"Andai Mama aku bisa sehangat Mami kamu ya."
"Aku takut tau setiap ketemu Mama kamu."
Mama Daffa memiki sifat yang sebelas dua belas dengan kakak-nya. Selalu terlihat cuek dan memiliki aura yang sangar. Itu yang membuat Daffa tak terlalu dekat dengan Mamanya dan selalu merasa canggung bila saling berdekatan.
Mamayaa sebenarnya baik, hanya saja Mamanya tak bisa mengekspresikan rasa kasih sayang yang begitu besar pada anak-anaknya sehingga setiap bertemu Mamanya hanya menunjukkan ekspresi yang biasa saja dan menimbulkan suasana canggung.
"Mama aku sebenarnya baik, tapi ya gitu selalu tanpa ekspresi."
Raya terkekeh, "hebat ya Papa kamu bisa taklukin Mama kamu."
"Papa itu agresif banget, to the point, dan pantang menyerah. Masalah kecuekan Mama itu nggak ada apa-apanya." Jelasnya yang tahu betul bagaimana sejarah kedua orang tuanya dari cerita tantenya yang dulunya menjadi perantara hubungan Papa dan Mamanya.
"Terus sikap Mama kamu nurun ke kak Deva, sikap Papa kamu nurun ke kamu," ucap Raya sambil tertawa terbahak-bahak.
"Dih, aku beda ya sama Papa!" Sahut Daffa tak terima karena dirinya merasa tak sejahat Papa-nya.
"Kamu juga agresif, jadi sama aja kayak papa kamu." Gurau Raya.
"Agresif kalau pas sama kamu aja tapi." Jawabnya dengan terkekeh.
"Dah lah aku udah ngantuk, tidur yuk." Raya membetulkan posisinya agar lebih nyaman lagi dan menarik tangan Daffa agar memeluknya.
Malam ini keduanya tidur dengan sangat nyenyak tanpa ada mimpi buruk yang membayangi tidur mereka.
***
"Daffa ayo bangun nanti kita kesiangan ziarahnya." Raya terus mengguncang tubuh Daffa masih tertidur sangat pulas.
"Daf, buruan bangun kamu tidur apa pingsan sih!" Masih tak ada respon dari Daffa padahal Raya sudah mencubiti beberapa bagian tubuh Daffa kencang.
"Mentang-mentang udah nggak kerja bangun jadi seenaknya! ayo bangun!" Dumel-nya kesal.
Daffa mengerang dan menarik tangan Raya sampai kembali jatuh ke atas ranjangnya. "Bawel banget istri siapa sih."
"Istrinya Park Seo Joon!" Balasnya ketus.
Daffa terkekeh dan mengeceup kening Raya berkali-kali. "Aku baru tidur abis subuh tadi."
"Ngapain?"
"Nonton bola."
"Ayo sekarang bangun katanya mau antar aku ziarah."
"Masih pagi, Ray kamu bantu kak Dea masak aja sana!"
Raya berdecak kesal karena saat diri nya keluar nanti Daffa pasti akan tidur kembali. "Awas kalau aku balik lagi ke kamar kamu masih tidur!"
"Iya-iya sayang nggak tidur ...."
Raya keluar dari kamar dan menghampiri Dea yang tengah sibuk di dapur bersama PRT.
"Kak ...." Panggil Raya.
"Iya Ray, kenapa?"
"Aku bantu-bantu boleh?"
"Boleh, sini Ray."
Raya berjalan ke arah Dea yang tengah mengupas bumbu dan memotong beberapa sayuran.
"Kak Dea mau masak apa?"
"Apa aja Ray, Mas Deva nggak pilih-pilih makanan soalnya."
"Enak ya, Daffa suka pilih-pilih kadang. Apalagi kalau dia lagi masakin aku, pasti masakannya full sayur."
Dea terkekeh, ia tau betul bagaimana masakan Daffa karena Daffa sering bertanya beberapa bahan masakan yang baik dikonsumsi ibu hamil.
"Itu bagus Ray buat kandungan kamu. Daffa sering banget loh tanya kakak makanan apa aja yang bagus buat kamu makan."
"Tapi bosen kak. Aslinya aku juga nggak terlalu suka sayur sih."
"Di biasain pasti lama-lama suka. Kamu itu beruntung banget loh punya suami seperhatian Daffa, sehangat Daffa."
Raya tersenyum. Memang, ia merasa menjadi wanita beruntung selama ini.
"Kadang kakak heran kenapa sikap Daffa dan kakaknya bisa beda seratus delapan puluh derajat," ucapnya sambil terkekeh.
"Iya tau kak, dulu aku takut banget sama Mas Deva. Kalau lihat tuh suka sinis terus jarang ngomong lagi."
Dea tertawa terbahak-bahak, ya begitulah suaminya selalu terlihat sinis dengan siapa saja bahkan dengan istrinya sendiri.
"Sebelum Alfa lahir perlakukan kakak Deva parah banget sama kakak, nggak ada perhatian sama sekali. Ngobrol santai aja topik kita tentang kerjaan."
"Hah? serius kak? emang dulu kakak sama mas Deva nggak pacaran terus langsung nikah gitu?" Tanya Raya mulai penasaran dengan kisah asmara Kakak Daffa.
"Kita pacaran kok. Rasanya itu kayak mimpi waktu Mas Deva bilang suka sama kakak, pengen lanjut ke hubungan yang lebih serius." Cerita Dea sambil tersenyum mengingat masa-masa manisnya dulu.
"Tapi kenapa mas Deva tetep cuek kak?"
"Wataknya dari dulu emang begitu. Untung saja semenjak Alfa lahir bisa lebih hangat."
"Kak aku boleh tanya sesuatu?"
Dea tersenyum dan mengangguk.
"Dulu waktu nikah sama kak Deva nggak terhalang restu kayak aku sama Daffa gini?" Tanya Raya penasaran karena ia sudah tahu bagaimana watak orang tua Daffa dan Deva.
Dea tersenyum tipis dan menjawab pertanyaan Raya dengan santai. "Pada awalnya kakak merasa nggak percaya diri bersanding dengan Deva karena kakak cuma karyawan biasa dan dari kalangan biasa pula."
"Tapi Deva bisa yakinin kakak kalau semua akan baik-baik saja, dan benar orang tua Deva bisa terima keadaan kakak yang berada jauh di bawah mereka."
"Kak Dea beruntung ya ...." ucap Raya dengan nada bersedih karena nasibnya tak bisa seberuntung Dea dan Deva.
Dea mengusap bahu Raya lembut agar wanita hamil itu bisa lebih sabar menghadapi beratnya cobaan hidup. "Kamu yang sabar ya Ray, kakak yakin suatu saat nanti papa bakal terima kalian dan cucunya."
"Aku juga takut kalau Papi aku paksa buat gugurin kandungan aku," ucap Raya dengan mata berkaca-kaca.
"Raya kamu nggak boleh ngomong gitu, ini calon cucunya, Papi kamu nggak bakal tega lakuin itu."
"Tapi Papi aku orang yang berbeda kak, dia mau anak yang nggak pernah dia jaga ini selalu hidup sesuai aturannya."
"Sabar ya Ray, Deva akan bantu Daffa buat ngomong ke Papi kamu."
"Makasih kak Dea sama Mas Deva udah selalu bantu kita."
Dea tersenyum dan memeluk Raya yang tengah menangis. "Kita kan keluarga, jadi apapun yang terjadi pada kalian kita selalu ada di belakang kalian."
Setelah Raya bisa lebih tenang keduanya melanjutkan kembali aktivitas memasaknya dengan penuh obrolan seputar kehamilan dan mengurus anak.
Setelah makan pagi bersama, Daffa dan juga Raya langsung bersiap untuk ziarah ke makam Mama Raya.
"Kak kita mau ziarah ke makam Mami Raya dulu." Pamit Daffa sebelum keduanya keluar rumah.
"Iya, kalian yang hati-hati."
Daffa mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedang menuju tempat pemakaman umum yang berada 10 kilo dari rumah Deva.
***