Anggara Oktavano, pemuda lajang dengan paras menawan itu menyambut kedatangan Adrian yang menyalami sembari mengamati serius gelagat di depannya. Tak dapat menyembunyikan penasaran, masih ingin memastikan jemari pria muda tersebut. Tato dengan nama Demon, seperti penjelasan Noi.
Tidak menemukan yang dimaksud, bersih tanpa goresan apa pun. Terlihat begitu menakjubkan, terawat. Benar-benar jauh dari dugaan. Kemungkinan halusinasi berat akibat pengaruh gangguan dalam diri atau malah memang sengaja menyesatkan penyelidikan para polisi.
“Kalian juga ingin menyelidiki tentang saudara kembarku seperti polisi lainnya?” tanya Anggara santai, menunggu Adrian dan Jev Indra mengucapkan maksud kedatangan yang hanya diam sambil saling pandang.
Pemuda itu rupanya telah mengalami pemeriksaan dari pihak berwajib, melanjutkan penyelidikan yang dilakukan Adrian dan tim. Hanya mengikuti catatan dalam jurnal miliknya, melakukan pemeriksaan pada sang putra jenderal. Tentu bukan sesuai prosedur, kemungkinan hanya sebagai formalitas.
Semua yang datang memang menanyakan perihal kembaran dirinya, terduga sebagai tersangka pembunuhan berantai. Bagaimana dirinya tahu perihal sesuatu bersinggungan dengan kematian, terlebih hal-hal berbau literasi. Mengaitkan pada nama-nama korban, para penulis wanita.
Bagaskara Oktavano, sosok ilusi yang menurutnya hanya pengalih isu dari ketidakbecusan polisi dalam menangani kasus pembunuhan berantai. Menyangkutpautkan pada dirinya sebagai orang dicurigai, terduga kaki tangan pelaku kejahatan. Seolah bekerja sama dalam melakukan aksi.
Anggara memang tipikal pemuda santai, pembawaan tenang dengan senyum khas manis tanpa ledakan emosi. Menjawab setiap tanya tanpa perlu ada tekanan, seolah memang dirinya tidak tahu menahu terkait pembahasan dua lelaki tersebut. Menunjukkan ketidaktahuan serius.
Adrian hanya mampu mendalami karakter, mempelajari setiap bahasa tubuh. Gara tampak terlatih jika sedang berbohong, pakar. Ia mampu melewati batas seharusnya, kemampuan mumpuni bagi seorang penipu ulung.
Jika benar dugaan Adrian, Gara memang sudah menyiapkan semuanya dari jauh hari. Ia terlatih dalam hal penuh muslihat. Tidak heran, mengingat latar belakang keluarganya. Terlebih pendidikan tinggi yang mumpuni.
“Jadi, kamu tidak tahu menahu tentang keberadaan saudara kembar yang identik sejak kecil?” Jev Indra menekan tanya, tak mau percaya begitu saja.
Berbeda dengan Adrian, ia tak sabaran. Jika harus menunggu kejujuran Gara, hanya akan semakin membuat emosi meningkat. Bersikap lugu ketika Afriz jelas-jelas mengatakan hal mencurigakan.
Memang benar, seorang psikopat jauh lebih ramah dibandingkan manusia normal. Seolah ingin menunjukkan pada dunia hal yang sebenarnya tidak ada dalam dirinya. Berupaya memanipulasi karakter, berharap orang lain percaya jika ia tak licik.
Satu lirikan Adrian berikan, isyarat jika memang percuma berbicara panjang kali lebar dengan Gara. Pemuda tersebut jauh lebih cerdas, memiliki kemampuan menyembunyikan emosi. Tidak terpancing oleh gertakan. Perlu cara lain untuk membuka mulutnya, bukan sekadar grasah-grusuh tanpa perhitungan.
Jev memahami kode yang diberikan, memilih tidak berujar kembali. Ia hanya mematuhi, padahal jauh di dasar hati merasa perlu memberikan satu pelajaran pada sosok sok polos tersebut. Entah kenapa perasaannya lebih memilih tak percaya akan sikap Anggara.
Pemuda itu tersenyum, tetapi mendekati seringai. Meledek dengan jelas di setiap ucapan, seolah tantangan memang diberikan pada dirinya juga Adrian. Jika saja tidak berada dalam pengawasan CCTV tentu ia akan menerkam pemuda tersebut.
“Aku yakin ... dia pelaku pembunuhan berantai. Setiap psikopat selalu berwatak tenang, mampu mengontrol sikap.” Jev Indra masih saja protes, di dalam mobil pun tetap bersikeras tentang feeling kuat dalam diri.
Pemuda itu jelas terlihat begitu percaya diri, kali ini Jev tidak akan salah dalam mengambil kesimpulan. Sebab, dugaan terkait nama Anggara sekaligus tindak-tanduk memang mengarahkan pada kejahatan. Bagaimana seorang tertuduh hanya menyikapi polisi dengan ketenangan yang begitu angkuh, kebenaran apa yang tersembunyi di balik senyum manisnya?
“Walaupun benar demikian, kita harus menemukan bukti kuat. Aku juga tidak memiliki kuasa sekarang, kita tunggu sampai Pak Anggriawan sadar. Sebab, hanya Beliau yang bisa kita percaya.” Adrian merasa memang ada yang tidak beres dengan Anggara, tetapi belajar dari langkah-langkah sebelumnya yang selalu mengalami kebuntuan, dia enggan bertingkah gegabah sekarang.
Adrian hanya mengalihkan keinginan Jev untuk segera meringkus Gara, karena ia merasa ada hal ganjil pada kasus jika dilimpahkan pada putra sang Jenderal. Sebab, menurut Noi ... psikopat berbeda dengan pembunuh berantai. Wanita itu jauh lebih memahami karakter seorang pembunuh dibanding dirinya.
Tak salah jika ada yang mengatakan tentang pembunuh hanya bisa dikenali pemilik karakter serupa, mengingat dalam diri Noi tersembunyi monster pembunuh, pola pikir mereka tentu memiliki kesamaan. Jika benar demikian, tandanya si pembunuh berantai bukanlah psikopat. Namun, memang memiliki hasrat untuk menghabisi nyawa orang.
Rasa haus akan darah akan terus menguar, memancing keinginan untuk melenyapkan nyawa orang lain. Menganggap target sebagai hal paling layak mati, begitulah cara berpikir mereka. Selalu merasa benar akan pandangan hidup.
“Apa kamu ragu denganku?”
Adrian menggeleng pelan, menimbang sebelum menjawab. Ia tak mungkin mengatakan perihal pemberitahuan Noi tentang perbedaan psikopat dan pembunuh berantai, cukup dirinya yang mengerti pola pikir aneh sang wanita. Sudah cukup mengurung di ruang isolasi, tanpa bisa dikunjungi siapa pun.
Polisi muda tersebut berada dalam situasi kalut, antara gelisah dan dilema luar biasa. Membiarkan Noi sebagai tawanan yang diduga sebagai otak pelaku pembunuhan atau mempercayai wanita tersebut sebagai sosok tak terlibat, keduanya memiliki pertimbangan berat. Sulit menentukan dengan pikiran jernih.
Hanya saja, untuk membiarkan berkeliaran, ia merasa cemas. Bagaimana jika wanita itu memang terhubung pada penjahat kejam yang sangat gemar membunuh? Pasti sangat memukul jiwa, membuat pria tersebut merasa semakin bingung.
“Siapa yang sebenarnya kamu cintai?” Pertanyaan inilah sesungguhnya yang membuat Adrian gundah, merasa galau tanpa alasan jelas. “Jika benar itu cinta ... tentu tak akan masalah jika wanitamu ternyata seorang pembunuh.”
Adrian mengacak kasar rambutnya, ingin berteriak kencang. Namun, ia tahan. Tak mungkin bertingkah aneh di depan Jev, tetap dia adalah sosok asing yang baru dikenal. Hanya bekerja sama demi tercapainya satu tujuan. Bukan untuk saling bertukar problematik hidup.
Bagaimana mungkin dirinya berkata tentang perasaan saat ini, tak perlu ada penjabaran khusus ketika perih dan nestapa membingkai kondisi jiwa. Hal terburuk sepanjang perjalanan hidup ialah ketika seseorang tercinta diperlakukan tidak adil. Seakan sebagian napas menghilang, ia kesulitan dalam setiap tarikan.
Masih dalam diam, merapal doa pada Tuhan. Meminta sedikit belas kasihan, Adrian menginginkan bentuk keajaiban lain pada kasus kali ini. Berharap semua hasil penyelidikan tidak mengarah pada hal lebih buruk.
Mendapati kenyataan terkait Noi di balik semua kematian tragis sudah cukup membuat dunianya rata oleh kecewa, tidak mau jika sampai ada hal menyakitkan lainnya. Adrian ingin semua tetap stabil. Masih dalam dugaan, bukan berupa kenyataan.
Siapa pun sosok yang ia cintai, wanita dalam hati dan pikiran tetap satu ... pemilik mata bola pingpong. Bukan Bell dengan pesona gagahnya atau si periang bernama Noi, tidak pula kelicikan Nirmala atau keluguan Daisy. Adrian belum mampu memilah sikap berbeda mereka, tetapi dalam satu tubuh itu ada daya tarik tak kasat mata untuk sang polisi.
Adrian berharap semua segera membaik, ia perlu melanjutkan pengobatan pada sang kekasih hati. Memperbaiki keadaan dengan mengambil alih sepenuhnya wanita tersebut sebagai tambatan hati, tidak lagi menjadi suami cadangan. Akan segera diresmikan sebagai suami sah di masa depan. Semoga badai ini segera berlalu, menempatkan setiap posisi ke tempat semula. Hanya itu yang ditunggu, kehidupan membaik bersama kisah manis.
***