DID

1090 Kata
“Kepribadian ganda?” ulang Akbar yang terlihat menggaruk-garukkan kepala, sedikit membingungkan sekaligus enggan percaya dengan apa yang baru saja terdengar. “Maksudnya, Noi dan Bell itu satu orang, tapi tidak sama?” Lagi-lagi kalimat kurang yakin dilontarkan sehingga Adrian harus mengangguk-angguk, dia sangat ingin merahasiakan kebenaran yang ada. Namun, Bell sangat tidak bisa menjaga sikap dan rahasia sehingga semua trebongkar begitu saja. “Seperti karakter dalam film Hyde, Jekyll, and Me?” Masih tentang sesuatu yang dianggap hanya ada dalam film, imajinasi liar yang dianggap mustahil terjadi di depan mereka. “Seriuslah, ini bukan serial TV!” Alvin masih enggan percaya dengan menganggap Adrian sedang bercanda, mana mungkin satu orang memiliki karakter aneh sehingga terlihat seperti orang lain. Anggriawan sekalipun merasa sedang dibodohi, tak percaya begitu saja. Hal tersebut memaksa Adrian lebih bersabar lagi menjelaskan. Memberitahukan kebenaran tentang sosok yang kini telah menyulut rokok. “Benar, dia bukan kakak ipar.” Alvin berucap lirih, terlihat lemas mengetahui kenyataan tentang wanita yang dikagumi. Bagaimana bisa satu wajah dengan kepribadian berbeda? Menyeramkan lagi, sangat mirip orang kesurupan kalau masyarakat menyebutnya. Sebab, di kalangan awam, situasi seperti itu akan dianggap gangguan makhluk halus. Gangguan kepribadian ganda yang kini lebih sering disebut dissociative identity disorder (DID). Perubahan nama ini merefleksikan pemahaman bahwa bukan hanya kepribadian yang berubah. Ingatan, kelakuan, kebiasaan, dan umur identitas semuanya sangat mungkin berbeda. Ingatan acak dalam diri wanita tersebut merupakan kenangan paling ingin dilupakan, memori terkait pelecehan yang dialami saat kanak-kanak tanpa pengetahuan siapa pun membentuk mekanisme pertahanan diri. Lahirlah Bell, Daisy, dan Nirmala. Mereka satu orang, tetapi merasa bukan bagian dari yang lain. Bagaimana Adrian bisa menjelaskan pada mereka, ia hanya mampu mengatakan tentang dua sosok berbeda dalam diri Noi. Tak mungkin mengatakan perihal nasib buruk masa lalu pada semua orang, perlu berhati-hati dalam mengambil keputusan. Setidaknya, hari ini ... Bell diperkenalkan pada orang lain. “Kali ini Bell, itu namaku. Kalian jangan kaget saat kami bermunculan secara acak.” Tiba-tiba wanita itu berbicara datar, “hingga saat ini, kami berempat. Meskipun kemungkinan akan ada nama-nama lain yang bisa muncul, tetapi Daisy dan Nirmala adalah nama-nama wajib diingat. Mereka mungkin akan datang menggantikanku.” Dirly bangkit dengan wajah takjub, mendekat untuk memastikan setiap ucapan Adrian. Benar saja, wanita ini yang ia kenal. Berbeda dengan sosok terakhir kali, sedikit lebih anggun dan serius. Sangar. “Jadi, kamu Bell yang aku kenal?” tanya Dirly memastikan, wanita itu mengangguk membenarkan. Sebab, dirinya memang pernah membantu pria itu ketika sedang menghadapi beberapa geng lawan. Benar-benar sulit dipercaya, tetapi nyata. Karakter yang biasanya ramah dan lemah, sanggup melakukan gerakan bela diri yang begitu luar biasa. Jika karakter Noi begitu ramah dan menyenangkan untuk semua orang, bahkan begitu pengertian sehingga sangat mampu memberikan rasa nyaman. Tidak demikian dengan Bell yang terkesan berantakan, tetapi tingkat kecerdasan mumpuni untuk hal-hal rumit di sekitar. Untuk kapasitas otak, memang bisa diacungi jempol. “Lalu, siapa yang datang padaku?” tanya Anggriawan turut melibatkan diri, “mengatakan jika Jenderal Oktavano memiliki putra yang lain.” Bell menghentikan gerakan, urung menyelipkan batang rokok di kedua bibir. Melempar puntung begitu saja, tampak tertarik pada perkataan laki-laki tua tersebut. Membahas Anggara merupakan hal besar yang ingin dia sampaikan pada Adrian. “Aku datang padamu dan mengatakan apa?” tanyanya dengan tatap penuh selidik, pasti hal besar sedang tersembunyi di balik nama Anggara. Sosok tampan itu memang terkesan manis, begitu memukau hingga akan menjauhkan kecurigaan berbagai pihak. Jika mereka sampai menyadari keterlibatan dalam kasus pembunuhan berantai, tentu terjadi kesalahan fatal terhadap tindakan sang pemuda. Bagaimana Noi bisa menemukan cela tersebut? Terkadang Bell harus mengakui kebenarannya, mengenai kemampuan berpikir Noi yang luar biasa. Dia menjadi sangat pintar setiap kali tersudut, lalu menemukan banyak sekali jawaban tersembunyi. Namun, setiap kali merasa tertekan atau ketakutan, perempuan tersebut akan melarikan diri. Membiarkan kekosongan diri diisi oleh jiwa lain, sosok-sosok yang dianggap lebih sanggup menghadapi kenyataan di sekitar. Meskipun tidak sopan, Anggriawan menjawab pertanyaan tersebut. Menjelaskan ulang terkait ucapan sosok lain yang menemui dirinya, tentang putra lain dari Oktavano. Artinya, Gara memiliki saudara. Namun, kenapa tak ada seorang pun yang tahu? Sosok yang dia anggap sebagai Noi mengatakan tentang fakta tersebut, menyebutkan dengan penuh percaya diri. Naming, Anggriawan mengabaikan karena dianggap omong kosong, tetapi sekarang justru begitu dibutuhkan. Seharusnya sebagai polisi, ia lebih bisa menggali informasi dari informan yang ada. Bell terdiam, mengingat-ingat kembali penjelasan Dirga. Pria itu pun mengatakan hal aneh tentang Gara. Ketika ia memperlihatkan gambar, adik kandung Adrian menjawab dengan penjelasan cukup rumit. “Benar, dia terlihat seperti orang ini. Namun, berbeda. Tatapannya seram, tak ada senyuman di wajah. Setiap kali bernapas, dia akan menyakiti. Juga, tak ada tato di sini!” Dirga menunjuk jari-jari Gara yang memang terlihat jelas, hal ini awalnya sedikit rumit. Namun, ketika dikaitkan dengan penjelasan Anggriawan, kepingan puzzle mulai terbaca. Benarkan ada sosok lain di balik nama Demon? Jika memang benar demikian, apa Anggara terlibat atau hanya dijadikan kambing hitam? “Aku rasa, Anggara bukan Demon. Ada sosok lain di rumah itu, monster mengerikan yang sengaja dipelihara dan dibiarkan bertindak buas. Putra lain dari jenderal k*****t itu harus kita temukan, dialah pelaku semua perbuatan terkutuk.” Nada ini datar, tapi cukup jelas. Satu kesimpulan yang mencengangkan, terkait kebenaran mengenai putra seorang jenderal yang tentu akan sangat sulit diselidiki. Terlebih dengan minimnya informasi, apalagi selama ini catatan Anggara begitu bersih. Dia hanya asisten pelukis, tidak ada yang menonjol. Kecuali, fakta seorang putra tunggal Jenderal Polisi. “Bagaimana kita bisa menyentuh keluarga jenderal?” Alvin tentu saja panik, merasa hal tak masuk akal sedang berlangsung. Bell tak menanggapi, tetapi menatap tajam ke arah Anggriawan. Laki-laki paruh baya tersebut menelan ludah, merasa paham maksud dari tatapan tersebut. Namun, tetap saja tidak memiliki keberanian. “Ini bukan hanya tentang keadilan para korban di luaran sana, tetapi balasan bagi bandot tua yang merenggut kehormatan putri Anda.” Kalimat luar biasa ini benar-benar keluar dari mulut Bell, dia mengetahui hal besar yang sama sekali belum pernah dibahas siapa pun. Dari mana semua informasi tersebut diketahui? Anggriawan membeku, terlihat kehabisan akal. Mendadak linglung. Satu pemicu paling ampuh, kasus yang ditutup sebagai bunuh diri tiga tahun lalu merupakan pancingan jitu. Laki-laki itu sudah mengepal, amarah muncul ke permukaan. “Serahkan padaku!” Anggriawan terprovokasi, merasa perkataan Bell benar. Kejahatan harus dibalas dengan hukuman setimpal, tak peduli seberapa berpengaruh pelakunya. Tetap harus ditegakkan. Bell tersenyum puas, mengerlingkan netra pada Adrian yang hanya memegang kepala. Merasa tidak pantas melakukan hal tersebut pada orang tua, wanita itu keterlaluan. Memanfaatkan perasaan dendam seorang ayah. Namun, hanya diam karena kelicikan Bell kali ini tentu akan bisa menciptakan satu jalan mneuju kebenaran. ***  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN