Target Sebenarnya

1258 Kata
“Desi Afriani,” panggil Demon datar pada Desi yang segera berdiri, membiarkan Violeta tetap tergeletak di lantai. Peremuan cantik itu belum sadarkan diri sejak dipukul keras oleh pria bermasker tersebut, pipa dengan diameter 10 senti meter mendarat manis di tengkorak belakang ketika keduanya mengendap-endap untuk memberikan minum pada Nisamey. Jelas jika tidak dibutuhkan nurani di dekatnya, siapa pun yang melakukan hal manusiawi harus diberi pelajaran. Sebab, aturan Demon bukan demikian, dia tidak menyukai belas kasihan. Desi merasakan ngilu di pelipis, sesuatu mengalir dari sumber rasa sakit. Namun, diabaikan, dan memilih patuh. Sebab, enggan berakhir tanpa nyawa jika melakukan hal yang dibenci oleh Demon. Perempuan itu erdiri dengan tatap nanar, pandangan terganggu. Wanita itu masih ingin hidup, tidak mau menyusul yang lain. Lebih baik bersikap manis, tunduk pada sang Predator. Siapa yang menginginkan kematian? Dia masih sangat betah tinggal di dunia, tetapi kenapa harus mengenal Demon? Desi merasakan sedikit penyesalan dalam diri, dia mencoba untuk menguatkan diri agar tetap mampu menunjukkan sikap tenang. Sebab, laki-laki sadis tersebut bukan manusia waras yang bisa diajak berbicara, dia hanya titisan iblis yang sangat membenci kasih sayang. Jangan berani menunjukkan sisi manusiawi di depannya, Demon akan memburu dengan kejam. Desi sudah sangat sering melihat kebrutalan sosok mengerikan tersebut. “Maaf ....” Desi hanya mampu mengucap satu kata ini, bergetar hebat antara menahan sakit sekaligus ketakutan. Tak ada tanggapan, hanya tatap lurus pada tubuh yang tergeletak tanpa daya di lantai. Bercak darah tampak menodai lantai, di dekat wajah Violeta. Pandangannya beralih pada pipa di tangan kiri, terdapat cairan kental serupa. Demon menimbang sesuatu, mengangkat benda di tangannya. Mengelus perlahan, kemudian kembali memandang tubuh tak berdaya di lantai. Berpindah pada sosok yang tertunduk ketakutan. Detik berikutnya, melempar pipa ke arah Desi. Mengenai paha Desi, wanita itu geming. Tak memberikan reaksi, tetapi segera meraih pipa ketika Demon memberikan perintah. Masih dengan tangan gemetar, mengangkat benda panjang yang cukup berat. “Hancurkan kepalanya!” Desi benar-benar tak memiliki tenaga lagi, pipa terlepas begitu saja. Getaran di tangan semakin cepat, tetapi ia tidak memiliki pilihan. Ada perasaan berkecamuk, tentu saja takut mendominasi suasana hati. “Atau ... ingin merasakan lebih dulu?” Desi tak memiliki alternatif lain, kembali mengambil pipa, dan sekuat tenaga memegangnya. Air mata meleleh begitu saja, haruskah ia melakukan perintah? Melirik Demon yang hanya menunggu dengan tatap dingin. Ia menyeret langkah, tetapi tubuh masih di tempat. Begitu berat untuk digerakkan, gemetar akut menandakan situasi memburuk. Namun, harus dilakukan. Menggeret pipa hingga menimbulkan bunyi berisik. Gerakan kepala Violeta menahan diri Desi, wanita itu sadarkan diri. Ada perasaan lega, tetapi rasa cemas membelit. Bagaimana jika dirinya dijadikan target untuk dihabisi? “Jangan, Desi.” Violeta memohon ketika menyadari situasi, berusaha bangkit dengan darah yang masih mengalir dari pelipis. Satu hantaman kuat membuat ambruk seketika, luka cukup parah ditahan demi keselamatan. Namun, kembali harus merasakan pukulan kuat dari rekan yang selama ini selalu bersama, Desi mengkhianati dirinya. Jika tidak, kematian pun akan segera tiba tanpa bisa dihentikan oleh siapa pun. Tatap lemah Violeta beralih pada Demon, tak ada reaksi ramah. Sorot dingin yang mengerikan. Kembali ia menggerakkan pandangan pada Desi, tetapi sang rekan justru bersiap mengayunkan pipa. “Jangan bunuh aku!” jeritnya dengan sisa tenaga yang ada, bergerak cepat ke arah Demon. Violeta memeluk kaki sang Predator, berharap masih ada belas kasihan. Namun, satu tendangan melempar dirinya kembali. Tersungkur dengan darah masih mengucur, tetapi dia abaikan karena enggan merasakan kesakitan yang lebih menyiksa. Pria itu menggerakkan tangan, memberikan isyarat pada Desi untuk melakukan tugas dengan baik. Anggukan pelan diberikan, perempuan itu kembali melangkah. Menguatkan hati dan memantapkan tekad, menghantam kepala Violeta. “Aku tahu di mana Alira berada!” Kalimat ini mampu menghentikan niat Demon menghabisinya, ia mengangkat tangan sebagai tanda cukup. Tubuh Desi terjatuh di lantai, lega. Tak perlu menjadi manusia kejam terhadap sahabatnya, dia bersyukur berkali-kali dalam hati. Semoga saja Violeta tidak sedang membual, mereka bisa mati serentak jika sampai kata yang dikeluarkan hanya penundaan dari kemunculan Malaikat Maut. Demon mendekat, jongkok di depan Violeta. Mengangkat wajah berlumuran darah, menatap lurus pada perempuan yang masih ketakutan. Memeriksa kebenaran dari ucapan terlontar, tidak ada kebohongan. “Di mana Jalang itu berada?” tanyanya dengan suara bariton yang khas, berat dan bergetar pelan. Tak segera menjawab, menoleh pada Desi dengan anggukan cepat. Mendukung apa pun yang akan dikatakan sang sahabat, berharap masih memiliki kesempatan hidup. Tatapannya beralih pada pria bermasker, menguatkan diri untuk membuka mulut. “Dia kembali, seminggu lalu. Menyamar menjadi orang lain.” Kilatan mata Demon menyala lebih liar, ada rona bahagia tak terdefinisikan. Target terakhir kembali, wanita incaran sebagai pelengkap ke-15 korban. Tumbal untuk sang maha penguasa kegelapan, hal mutlak yang harus diberikan oleh penyeru setan. Alira merupakan nama terakhir yang disembunyikan, disamarkan sebagai nama Noi oleh Debora. Puncak pengecoh para polisi, informasi sesat guna mencegah Adrian sampai pada titik paling fatal. Mempermainkan hukum merupakan tujuan menyenangkan, memacu sangat lebih menggebu. Pria itu mengambil pipa kembali, menggeret hingga timbul bunyi bising tak nyaman. Hal ini segera dimanfaatkan oleh Desi untuk mendekat pada Violeta, mendekap wanita yang masih terlihat kesakitan. Perasaan takut keduanya membentuk tatap saling menguatkan, keduanya berpelukan dengan penuh kelegaan. “Syukurlah, kita masih memiliki waktu untuk menyelamatkan diri.” Desi meratap di sela isak tangis yang pecah, perasaan lega benar-benar mulai terasa. “Tidak akan ada yang selamat dari Predator gila itu, maut hanya sedang mempermainkan kita.” Tak ada tanggapan, mereka hanya saling memeluk. Berharap pada satu keajaiban, menunggu belas kasih Tuhan. Benar, hanya kekuatan Maha Dahsyat yang mampu menyelamatkan keduanya dari jerat Demon. Pria itu tidak akan melepas mangsa sekali mencengkeramnya. Violeta hanya memejamkan mata, berharap penglihatannya tak salah. Wanita yang menghilang sejak tahun lalu terlihat di salah satu pusat perbelanjaan, Alira. Penulis dengan kemampuan rendah, tetapi melejit cepat karena menjiplak judul tulisan Noi. Dialah pemilik dosa paling tak termaafkan. Demon menargetkannya sebagai tumbal terakhir, tentu akan ada kejutan paling mematikan. Jika sayatan simetris menjadi ciri khas kekejamannya, kemungkinan kematian paling akhir akan menyisakan rasa ngeri paling mencekam. Sebab, pria itu memburu Alira dengan serius. Dibanding yang lain, Alira lebih menyadari mara bahaya sekitar. Ia menghilang sejak kematian pertama, diduga menyadari jika namanya termasuk salah datu dari deretan yang diincar. Violeta merasa aneh, tetapi diam saja. Bagaimana jika dirinya bekerja sama dengan korban terakhir dan menyerang Demon? Ada berbagai macam bisikan, tetapi keberanian semakin menciut. Nyali kerdilnya menandakan ketakutan mengakar kuat. Siapa yang berani melawan Demon? Violeta menyaksikannya, keberingasan serta kebrutalan pria itu, menghabisi nyawa orang lain seolah sedang membasmi hama tanaman. Tidak ada sedikit pun sorot kasihan. Jika dirinya memilih melarikan diri, apa kematian yang datang menjemput akan lebih baik atau malah sebaliknya? Hingga detik ini, polisi belum juga mampu melacak keberadaan pembunuh berdarah Iblis tersebut. Menandakan kemampuan Demon lebih di atas para penegak hukum. “Kita tak memiliki pilihan selain membunuh, kecuali ingin mati mengenaskan.” Violeta menyeka air mata, mengabaikan sakit sebelum berdiri. Dia harus bergegas, menemukan Alira. Korban terakhir harus segera diatasi. “Di mana kamu melihatnya?” Desi turut melakukan gerakan serupa, mengikuti jejak langkah Violeta yang masih terhuyung. “Aku sudah mengirim orang untuk mengawasi perempuan sialan itu, malam ini kita akan menemui target terakhir.” Desi hanya bungkam, ia menekan pelan pelipis kanan. Rasa sakit mulai tak tertahankan, tetapi memilih tidak mengeluarkan keluhan. Jika sampai terdengar Demon, akan ada tambahan rasa sakit yang lebih menyiksa. Tak mau lagi terluka. Lebih baik sepakat dengan Violeta, menjadi jahat hingga akhir. Memilih membunuh daripada dibunuh, nyawa jauh lebih berharga dibanding rasa kasihan. Mengabdi pada Demon akan menyelamatkan diri, karena polisi pun belum bisa dipercaya. Terlalu lemah dalam melacak dan menuntaskan masalah pembunuhan berantai. ***        
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN