Adrian tidak begitu saja percaya, ia tetap memperhatikan setiap gerak-gerik sang adik. Untuk saat ini, bukan saatnya lengah. Tetap saja, aneh! Bagaimana bisa Dirga kembali sehat tanpa ingatan? Melupakan pernikahan yang begitu diinginkan.
Jika sebelumnya merasa begitu memusuhi Noi, sekarang bertingkah seolah sama sekali tak kenal. Bersikap layaknya remaja, bermanja pada sang ibu tanpa sungkan. Benar-benar kondisi tidak sehat.
Kenapa semua orang di sekitarnya mengalami kepribadian ajaib? Dimulai dari Noi yang memiliki empat kepribadian berbeda, dari paling lugu hingga mengerikan. Saat memikirkan sang istri, ia kembali teringat pada perkataan Gara.
“Kami tak saling kenal, tapi saya merasa begitu dekat dengan istri Anda. Mungkin kami terikat takdir kuat di masa lalu.” Basa-basi yang sangat tidak lucu, Adrian tak menanggapi. Selain begitu panik dan cemas pada kondisi sang istri, ia memang merasa enggan bercengkerama dengan anak sang jenderal.
Namun, ketenangan yang Anggara tunjukkan justru semakin mencurigakan. Dia begitu santai, menyikapi kedatangan dirinya tanpa panik. Gelagat tersebut justru menjadi sangat tidak wajar dalam pandangan sang polisi.
“Kakak sedang apa?” tanya Noi yang melegakan Adrian, rasa cemas berlebihan mulai berkurang.
Setidaknya sang wanita muncul dengan kepribadian dominan, bukan sosok-sosok susah terdefinisikan. Adrian kapok jika harus bertemu Nirmala, karakter aneh itu sulit ditebak. Sesekali tampak dingin, detik berikutnya menjadi begitu kekanakan.
“Kamu sudah bangun?” balasnya sambil tersenyum, wanita itu hanya mengangguk.
Namun, segera mengerutkan kening melihat sosok di halaman samping, Dirga sedang berenang seorang diri. Tampak sangat menikmati suasana sore.
“Jangan kaget atau khawatir, suamimu amnesia. Dia kembali menjadi bocah ABG, tak mengenal istrinya. Hanya tahu jika kita sepasang suami-istri.” Penjelasan yang susah dipahami secara rasional, benarkah demikian?
Noi hanya mengamati, dia melihat sang suami tidak menunjukkan gejala yang Adrian sebutkan. Namun, kondisi Dirga memang sulit diprediksi, terlihat biasa saja. Jelas senyum yang ditunjukkan bukan sesuatu yang dibuat-buat.
Apa dia memang tengah mengalami tekanan yang sangat berat sehingga bersembunyi di balik ingatan manis saja? Noi masih menyipitkan mata guna menemukan kejanggalan, tetapi Dirga tampak tidak mencurigakan. Barulah setelah dirasa cukup, ia duduk di sisi kanan sang suami cadangan, memerhatikan laki-laki yang resmi sebagai kekasih halal.
“Kakak yakin dia tak sedang mengecoh kita?” tanya Noi serius, dia masih trauma jika langsung percaya begitu saja terhadap hal-hal aneh di depan mata.
Noi langsung berpikir keras, kemunculan Dirga membuatnya melupakan alasan pingsan. Namun, detik selanjutnya terlihat raut muka berubah tanpa Adrian sadari. Wanita tersebut tampak tertegun.
Benar, ia baru saja terbangun. Tidak sedang tidur, ada alasan lain. Noi pingsan, sebelumnya sempat memiliki satu kesimpulan terkait Gara. Wanita itu kembali terdiam, ingatan kembali utuh. Pertemuan tak terduga dengan sang putra jenderal.
Noi memeriksa detak jantung dengan rabaan, normal. Melirik Adrian yang terlihat serius mengamati Dirga, tampaknya ucapan sang wanita mempengaruhi rasa curiga. Sekali lagi, perempuan tersebut meletakkan tangan di tubuh bagian depan, masih stabil.
Tidak ada gejala aneh seperti sebelumnya, seperti ketika bertemu Gara. Detak tak teratur, tetapi terasa nyaman. Menarik satu kesimpulan terkait perbedaan debaran, mungkinkah salah satu kepribadian memang memiliki hubungan khusus dengan Gara?
Kembali mata bola pingpong itu membulat sempurna, teringat pada huruf-huruf di jemari Gara. Demon! Noi mengingatnya, perlukah membahas hal tersebut dengan Adrian? Namun, kemunculan Dirga memaksa untuk menahan diri tak mengungkit perihal Gara. Memilih diam untuk membuktikan hilangnya ingatan sang suami.
“Halo, Kakak Ipar. Aku akan bermalam di sini, boleh?” sapa Dirga ringan, tanpa nada dibuat-buat memaksa mulut Noi terbuka lebar.
Laki-laki yang menikahinya tiga bulan lalu bersikap seolah orang asing yang hanya sebatas ipar, benar-benar drama kehidupan nyata. Noi hanya mengangguk sambil melirik Adrian yang menahan tawa, merasa lucu dengan tingkah keduanya. Namun, di sisi lain merasa munafik, mencurangi adik kandung demi rasa yang begitu menguasai diri. Apa sudah benar?
Dirga pamit untuk mengganti pakaian, tak ada gelagat mencurigakan. Artinya benar-benar dalam kondisi tidak mengingat masa lalu bersama Noi. Apa yang terjadi pada sang adik? Adrian justru curiga jika semua yang menimpa sang saudara kandung merupakan ulah Jaya Angsama, ayah mereka!
Kondisi Dirga sebelumnya parah, tidak mungkin akan pulih dalam waktu dekat. Namun, kenyataan mengantar pada satu fakta terbaru, sang adik terbebas dari kondisi brutal. Hanya saja, berubah bocah.
“Siapa yang membuatnya begitu?” Noi seolah mampu membaca pikiran Adrian, laki-laki tersebut hanya angkat bahu. Menghindari obrolan serius dengan wanita yang baru siuman, bukan hal bijaksana. Ia perlu mengondisikan setiap pembahasan.
“Kenapa pingsan?”
Noi tidak segera menjawab, menimbang sesuatu yang dipendam sejak beberapa saat. Tepatkah jika dibahas sekarang? Jika tidak, kapan lagi?
“Aku berdebar kencang saat Gara memelukku.”
“Kalian berpelukan?” ulang Adrian tampak kesal, meledakkan tawa Noi yang langsung menyikut lengan sang kekasih. Menggoda dengan tatap nakal, pria itu tentu saja gemas. Menarik hidung sang wanita.
“Berhenti bercanda,” ujar Noi memasang wajah serius, “ada yang harus aku katakan tentang Gara.”
Kedua alis Adrian tertaut, apa lagi yang Noi ketahui? Masih seputar Gara, benarkah suatu fakta atau sekadar dugaan? Susah meyakini putra sang jenderal sebagai penjahat. Terlalu protagonis, sulit menemukan celah buruk.
“Kamu masih beranggapan dia adalah Tato?”
“Tentu saja, bahkan aku melihat tulisan DEMON di tangannya.” Penjelasan ini disertai penekanan kuat, menandakan jika Noi sangat yakin akan ucapan tersebut. Namun, tanggapan Adrian hanya senyum datar, mengelus lembut rambut sang wanita yang justru merasa heran. Bukankah satu fakta menarik, kenapa ditanggapi biasa saja?
“Tidak ada tato serupa itu, aku sudah mengamati setiap inci tubuh Anggara. Kedua tangannya mulus, tanpa tato seperti yang kamu sebutkan.” Jawaban ini justru membuat Noi memasang wajah penuh protes, kenapa Adrian menyangkal pernyataan dirinya?
Jelas sekali jika ada tato Demon, tak mungkin salah lagi. Semua begitu nyata, setiap huruf di masing-masing punggung jari. Lalu, apa yang Adrian katakan? Dia hanya berhalusinasi. Keterlaluan!
“Terserah Kakak sajalah!” Noi terlihat gusar, memilih menjauh. Meninggalkan Adrian yang hanya menggaruk-garuk kepala.
Tak ada apa pun di tangan Gara, tidak seperti penjelasan Noi. Sangat berbeda. Bisa saja semua yang dikatakan terkait sang putra jenderal hanya imajinasi semata, gangguan kepribadian tentu akan mempengaruhi ingatan. Bagaimana jika wanita itu hanya ingin percaya pada apa pun yang diyakini?
Bagaimana jika sebenarnya Noi hanya sedang berfantasi mengenai Gara? Kepribadian lain yang diduga memiliki kedekatan dengan sang putra jenderal pun pasti sedang berfantasi, semua penjelasan Anggriawan terkait ciri-ciri Anggara berbeda. Salah total!
Selain itu, jika memang ada tato di tangan Gara, Adrian akan dengan sangat mudah menyadari. Ia memerhatikan begitu detail sang putra jenderal, dari ujung rambut hingga kaki. Detail wajah pun tak luput dari pindaian pengamatan. Jika ada yang berbeda atau mencolok, akan sangat mudah ditemukan.
Kerumitan terkait Gara semakin menyudutkan sang polisi, Noi sampai marah besar. Namun, ia tetap bersikap profesional. Tidak akan memercayai penjelasan dari informan yang tingkat kesadaran masih dipertanyakan.
Ia belum mengetahui secara pasti penyebab pingsannya sang istri. Menurut penjelasan Gara, terpeleset dan kaget bersamaan. Ketika ditangkap pun kondisi Noi berada pada level kesadaran lemah, tidak bisa dianggap sepenuhnya sadar.
Adrian meremas kasar rambut miliknya, ada rasa bersalah. Tidak percaya pada Noi. Dilema. Antara profesi dan hati, berbanding terbalik. Apa yang harus dia lakukan? Mengejar sang wanita dan minta maaf, lalu berpura-pura percaya? Bertentangan dengan nurani.
Sebab, menjadi polisi bukan berdasarkan rasa tak nyaman ketika menyimpulkan suatu kasus, harus sesuai dengan bukti dan hal rasional pendukung lainnya. Jika tidak berkaitan, untuk apa dipercaya? Satu langkah berani perlu dicoba, sekali saja mengabaikan ucapan Noi.
Kali ini tentu salah, penilaian tentang sosok Gara bukan suatu kebenaran. Tidak sesuai dengan apa yang dijabarkan. Meskipun terduga sebagai sosok paling bertanggung jawab atas setiap kematian berantai, tetap saja ada keraguan dalam diri Adrian. Semoga kali ini Noi benar-benar salah mengambil kesimpulan.
***