Lokasi Penjagalan Manusia

1371 Kata
Adrian mengesampingkan masalah pribadi, tidak menindaklanjuti ucapan Bell terkait peran sang istri dalam pembunuhan berantai. Dirly menemukan tempat yang diminta oleh identitas tercerdas dalam diri Noi, lokasi penjagalan. Hanya berjarak 500 meter dari markas besar. Tak ada yang mencurigakan dari rumah itu, bangunan dua lantai tampak terawat rapi. Alvin mengamankan tiga pria tua, berusia sekitar enam puluhan. Mereka terlihat ketakutan dengan kedatangan para lelaki muda berbadan atletik. Adrian menatap Dirly yang hanya mengangguk pasti, sangat yakin jika rumah tersebut dipakai untuk membantai manusia. Namun, ada keraguan dalam diri sang polisi, bagaimana kediaman bersih dan terawat dijadikan lokasi aksi pembantaian? Terlebih memiliki pekerja tetap, setiap hari datang untuk membersihkan. “Rumah ini milik Federic Antonio, warga asal Belanda yang sudah lama pulang ke negaranya. Terjual pada salah seorang konglomerat di tahun 2017, tapi hingga sekarang belum balik nama. Dibiarkan dengan hak kepemilikan lama. Namun, orang kaya yang membeli tempat ini adalah pemilik perusahaan raksasa bernama Global. Kamu pasti paham maksudku sampai di sini.” Penjelasan Dirly cukup mendetail, informasi yang didapat sangat mengejutkan karena berhasil melacak sejauh ini terkait hal-hal paling berbahaya. Adrian hanya tertawa pelan, tak sampai berpikir sejauh itu. Pemilik perusahaan yang dimaksud merupakan adik kandung dari sang jenderal, Jaka Permana. Benar-benar satu kebetulan unik, temuan luar biasa. Hanya saja, bagaimana Dirly menemukan lokasi penjagalan? Tak ada yang akan mengira jika dunia hitam memiliki informasi apa pun yang dibutuhkan, menggali tentang kejahatan bukan satu kesulitan penting. Hanya perlu melakukan beberapa pendekatan, menghubungi nama-nama tepat. Akses akan terbuka dengan sendirinya. Seperti saat ini, Dirly hanya meminta beberapa anak buah mencari nama-nama yang sedang diincar oleh kepolisian, mereka dengan serius membantu. Melacak tiga nomor ponsel milik para terduga. Tidak mudah menemukan lokasi kartu yang dinonaktifkan, beruntung masih ada salah satu korban meninggalkan petunjuk. Nomor telepon seluler milik Anggrek Wulandari terdeteksi aktif terakhir kali di lokasi yang tak jauh dari kantor polisi, hal ini tentu saja mencurigakan mengingat wanita muda tersebut telah menjadi korban pembunuhan keji di waktu terlacak. Kesalahan sederhana itu membuat Dirly semakin serius memeriksa titik koordinatnya. Muncul rumah milik orang Belanda. Setelah ditelisik lebih detail, kediaman tak dihuni tersebut milik adik dari sang jenderal. Fakta paling meyakinkan jika di sanalah lokasi penjagalan yang dilakukan oleh Violeta Miea. Wanita itu merupakan putri rahasia Jaka Permana dari salah satu simpanannya. Kemungkinan rumah tersebut telah diwariskan kepada salah satu pelaku pembunuhan. Hanya saja, masih kesulitan menemukan titik mencurigakan dari tempat terawat, tidak tercium aroma apa pun. Ketika pintu rumah terbuka, hanya hamparan ruang tamu nan rapi menyambut para polisi. Begitu pun dengan ruangan-ruangan yang diperiksa, semua bersih. “Kami tidak tahu siapa yang melapor pada kepolisian tentang aktivitas mencurigakan di rumah ini, tetapi di sini tidak ada aksi ilegal, Pak.” Salah seorang dari mereka berucap ketika hampir tiga jam mengubek-ubek seluruh sudut, tetapi belum menemukan titik terang. Benda yang menggiring ke lokasi tersebut juga tak ditemukan, ini sangat aneh. Dirly sendiri sampai merasa kebingungan, apa dia sengaja dijebak dengan penyalaan ponsel supaya mudah disesatkan? Namun, untuk apa menunjukkan semua fakta terkait Violeta yang merupakan keponakan ayah Anggara. Bell yang baru datang bersama Anggriawan tampak menyapu ruang kamar yang terletak di lantai dua, memindai apa pun di sekitarnya. Ia turut kebingungan, bagaimana bisa tidak ada jejak sama sekali? Mustahil ada kejahatan serapi ini, pasti ada hal penting telah terlewatkan. “Siapa yang menjaga rumah ini di malam hari?” Akhirnya Bell buka suara, menatap satu per satu para lelaki tua yang hanya mampu saling pandang. Kebingungan, tetapi tidak ada raut takut. Menandakan mereka benar-benar tak tahu apa pun, jelas sekali hanya pekerja yang dibayar untuk membersihkan rumah. Bell hanya mengangguk-angguk dengan tatap tajam khas yang penuh misteri. “Kami hanya datang di pagi hari, setelah melalukan bersih-bersih pasti pulang. Terkadang sampai sore di rumah ini.” “Benar, Bu. Jika malam, kami tak tahu menahu.” “Sebab, tugas kami hanya di siang hari.” Mereka bersahutan dengan kompak, menimpali perkataan Bell yang ikut bingung. Jika mereka di sini hanya sampai sore hari, artinya akan kosong pada saat malam tiba. Hal tersebut tentu memudahkan aksi para wanita gila tersebut. Memang lokasi ini tepat dijadikan tempat penjagalan, tetapi di mana? Bell bersandar sembari berpikir keras, netranya masih tertuju pada tiga laki-laki tua yang tampak lelah. Tak ada kebohongan, mereka berkata serius. “Apa kalian sering bertemu pemilik rumah ini?” interogasi Bell kembali terdengar, tak ada kata menyerah dalam kamusnya. Para saksi berpikir serentak, tidak segera memberikan jawaban. Tampak saling lirik, kemudian menggeleng kompak. Akan sulit menemukan titik terang jika bersikap manis begini, Bell tak suka. Perlu satu aksi lain. “Baiklah, kalian bisa pergi.” Bell memberikan izin pada tiga laki-laki tua itu untuk meninggalkan rumah besar tersebut, hal ini memicu kerutan serius di kening Adrian. “Sepertinya kami salah, bukan di sini lokasi pembantaian dilakukan.” Wanita itu kembali mengatakan sesuatu dengan penus rasa sesal, dia terlihat menghela napas pula. Raut lega pada wajah ketiganya mendadak lenyap, ada reaksi lain mulai bermunculan. Dari panik hingga ketakutan, mereka ragu untuk beranjak. Jadi, ini tentang penyelidikan terkait penemuan daging-daging manusia di jalan. “Apa maksud Ibu rumah ini dipakai untuk membunuh?” “Pembunuhan gadis-gadis yang bagian tubuhnya dibuang di trotoar?” “Kalian mencurigai Nona Violet?” Pertanyaan ketiga menarik satu garis senyum di wajah Bell, bukan keramahan. Namun, ekspresi puas. Mereka menyebutkan dengan jelas nama pemilik rumah yang sejak awal disembunyikan. “Nona yang Bapak maksud adalah salah satu pelaku dari tiga nama, apa kalian masih akan bungkam tentang rahasia rumah ini?” balas Bell sadis tanpa sedikit pun sorot ramah diberikan, “jika mau membusuk di penjara bersama nona tercinta, silakan terus berbohong tentang hal yang kami tanyakan. Sekali lagi ingat baik-baik, apa rumah ini memiliki ruang rahasia?” Mereka bertiga kembali saling pandang, seolah meminta pendapat satu sama lain. Melempar tatap penuh tuntutan. Namun, tidak ada yang berani bersuara. Terlihat ragu, enggan memberikan keterangan lanjutan. “Apa kami akan bebas jika buka mulut?” tanya salah seorang yang warna sebagian rambutnya sudah putih, memberanikan diri bernegosiasi. “Bukan hanya kebebasan, jaminan perlindungan akan kami berikan.” Adrian menimpali dengan serius, “kami polisi yang bertugas menangkap pelaku pembunuhan, mereka ada tiga orang, dan memutilasi korban di sini. Pasti ada tempat tak tercantum pada cetak biru, kalian sebagai bagian dari rumah ini tentu mengetahui banyak hal.” “Kami tak tahu apa-apa, tetapi memang sepertinya ada tempat rahasia. Namun, bukan di dalam rumah ....” Laki-laki tua lainnya terlihat sambil mencoba mengingat sesuatu, “saya pernah melihat tuan besar muncul di halaman belakang, entah dari mana.” Penjelasan ini cukup, Adrian memberi isyarat agar semua segera bergegas menuju halaman belakang. Memeriksa dengan teliti. Namun, hanya ada hamparan rumput luas dan dikelilingi pagar tembok menjulang. Alvin dan Akbar menyisir sepanjang sudut, bahkan Anggriawan mencari-cari perbedaan di antara rerumputan. Bell melakukan hal serupa, mencoba menemukan petunjuk baru. Tidak ada hal mencolok yang mencurigakan, semua tertata natural. Namun, bukan Bell namanya jika akan percaya pada apa yang terlihat. Ia mendekat pada tembok, meletakkan tangan di sana. Meraba perlahan sembari mengetuk pelan. Pasti ada sesuatu di antara kotak-kotak marmer yang digunakan. Terlalu berlebihan menggunakan bahan material mahal pada pagar. Wanita itu tersenyum, bunyi ketukan berbeda. Satu kotak diperhatikan dengan saksama, meraba perlahan. Satu tombol kecil disamarkan oleh warna cat gelap, ia menekan cepat. Di luar dugaan, tembok di sisi kanan terbelah. Tampak dua kotak ukuran 50 x 50 senti meter terbuka dan menampakkan sistem kunci digital. Adrian tersenyum bangga, kecerdasan dan kejelian yang patut diacungi jempol. Namun, seketika lenyap ketika teringat fakta tentang wanita tersebut. Jelas dia mampu berpikir kritis karena di sisi lain darinya bersembunyi monster mengerikan. Bukan hal tabu jika Bell dan Noi mampu berpikir lebih cepat dari yang lain. Sebab, sosok psikopat dan otak jahat benar-benar hidup dalam dirinya. Apa yang akan Adrian lakukan sekarang? Melindungi otak pelaku pembunuhan berantai tentu bukan hal benar, tetapi menyerahkan Noi pada pihak berwajib juga tidak mungkin dilakukan. Dilema berat. Untuk saat ini, Adrian menepis gundah, ia perlu fokus pada kasus yang ditangani. Bell terlihat melambaikan tangan pada Dirly, sosok baru yang sangat kompeten di bidang teknologi modern. Tampaknya bos besar komunitas ilegal itu mampu membobol kombinasi kode rahasia pada alat tersebut, tinggal menunggu hasilnya untuk mengetahui ke mana ruang tersembunyi rumah ini membawa mereka. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN