Usai pengakuan Fin yang mencengangkan, hati Jade seolah mati rasa. Otaknya tak dapat berpikir jernih. Tubuhnya pasrah mengikuti langkah sang bos mafia dengan pengawalan ketat dari dua anak buah di sisi kanan dan kiri.
Walaupun mungkin kematian telah menantinya, Jade tak peduli karena sedari kecil ia memang sudah bergulat dengan kejamnya dunia sendirian.
Sang assasin merupakan seorang yatim piatu. Lingkungan yang kejam telah mengantarkan Jade sampai sejauh ini, menjadi seorang pembunuh bayaran profesional.
Hanya satu hal Jade pikirkan saat ini yaitu sang sahabat seperjuangan, Bee. Wanita itu berharap Bee bisa menjalani hidup dengan normal dan bahagia suatu hari nanti meskipun tanpanya.
"Masuk!" Salah satu anak buah Kai mendorong Jade. Saking larut dalam lamunan, Jade tak sadar bahwa dirinya telah sampai sebuah ruangan lain.
"Tinggalkan kami!" titah Kai kepada dua buah anak buahnya. Mereka pun patuh dan segera pergi sembari menutup pintu ruangan tersebut.
Sekarang, hanya Jade dan Kai di sana. Kedua netra puan itu lantas mulai mengedar ke setiap sudut ruangan. Ruangan yang di tempati saat ini terlihat sama persis dengan ruang periksa pasien yang lazim ditemui di rumah sakit. Sebuah brankar lengkap dengan meja konsultasi dokter terlihat di sana, yang membedakan hanya etalase dari kaca pipih memanjang-terpajang di salah satu tembok yang berisikan alat perkakas seperti palu, gergaji, dan barang serupa lainnya, alat-alat yang sangat tidak lazim untuk ukuran sebuah klinik kesehatan.
"Ck! Kau benar-benar tak akan membiarkanku mati dengan mudah, ya?" sinis Jade yang berasumsi bahwa Kai akan menyiksanya bak seorang psycopath sebelum ia dibunuh.
Namun, Kai masih bergeming. Pria itu malah mengacuhkan Jade—mengambil ponsel di sakunya, lalu menelepon seseorang.
"Cepatlah! Aku sudah siap dengan kematianku," tantang Jade mencemooh sedangkan Kai masih mengabaikan karena sibuk melakukan panggilan.
"Tanggalkan pakaianmu!" titah Kai beberapa saat setelah panggilan yang dilakukan tak berbalas.
Ujaran sang pria sontak membuat Jade meradang. Pasalnya, dia lebih baik mati tersiksa dengan luka parah daripada mendapat tindak asusila.
"Dasar biad*b! Aku lebih baik mati daripada kau meniduriku," geram Jade seraya memasang pose kuda-kuda dengan maksud menantang Kai berduel.
Namun, Kai tak menggubris perkataan Jade. Sebaliknya, snag bos mafia malah memangkas jarak seraya menyeringai licik.
"Hey! Sudah kubilang aku tidak—"
"Bahumu akan infeksi jika tak segera diobati. Kau hanya perlu membuka sedikit saja di bagian sana." Kai menunjuk sobekan kecil bagian pundak kanan Jade. Benar saja, di sana terdapat luka yang cukup menganga lebar disertai aliran darah segar.
"Apa?"
Jade terkesiap untuk sesaat seraya menilik pundaknya. Di saat bersamaan, puan itu kebingungan dengan perlakuan Kai yang berubah drastis. Dalam hatinya, sesal juga mulai menjelma karena telah menuduh Kai akan berbuat asusila padanya.
Beberapa saat kemudian, dengan kelihaian bersilat lidah Kai berhasil menurunkan ego Jade, mengobati luka di pundak. Gadis itu dengan canggung menurunkan sedikit outfit-nya sehingga pundak milik Jade terekspos.
Segaris luka menganga cukup besar lengkap dengan darah yang masih mengalir terukir jelas di kulit putih milik Jade. Warna kulit yang sangat kontras dengan outfit hitam yang dikenakannya.
Dengan lembut, Kai membersihkan cairan merah itu menggunakan kapas yang telah diberi alkohol.
"Bukankah aku tahanannya? Apa maksudnya mengobatiku?" Jade membatin keheranan seraya menahan canggung cukup hebat.
Sang assasin mendapat luka sayatan karena sempat berduel dengan anak buah Kai ketika melakukan penyusupan tadi.
"Kau pikir aku akan berbuat asusila lalu menyiksamu, huh?" Suara khas Kai terdengar sangat dekat di sisi kanan telinga Jade. Hembusan napasnya bahkan mengenai area tengkuk Jade. Hal tersebut sungguh membuat puan bernetra bulat itu semakin canggung.
"Jangan salahkan logikaku, Tuan Mafia. Duniamu terkenal kejam."
"Memangnya kelompok assasin sepertimu suci, huh?" Kai berhasil menyinggung balik perihal profesi Jade. Alhasil, wanita itu terbungkam sesaat.
"Lalu ... untuk apa kau mengobatiku?" tanya Jade sinis.
Gerakan kapas yang sedang ditepuk ke pundaknya tiba-tiba terhenti. Kai terlihat memutar otak agar bisa menjawab pertanyaan puan di hadapannya.
"Aku—"
"Sudah kubilang tunggu beberapa menit saja. Kau malah menggantikan posisiku sebagai dokter di sini." Tiba-tiba saja, seorang wanita menggerutu kesal seraya masuk ke dalam ruang klinik.
"Kau terlalu lama, Trish." Kai memutar bola mata dengan malas kepada sosok bernama Trish Evelyn.
Tak berselang lama, suasana keakraban pun terasa kala wanita berprofesi sebagai dokter bernama Trish dan Kai berinteraksi. Tidak seperti anak buah Kai yang sangat menyegani sang bos, Trish begitu santai menghadapi Kai. Bahkan, sesekali Trish berkelakar dan melontarkan ledekan untuk bosnya.
Siapa wanita ini? Dia terlihat tidak takut pada Kai, batin Jade terheran-heran akan situasi di hadapannya.
"Wow! Siapa Nona ini?" Netra Trish seketika berbinar menyadari sosok Jade di sana.
"Dia yang harus kau obati."
"Pantas saja kau bilang ini darurat. Kau tidak ingin melewati mengobati Nona secantik dia, ya?" Trish mengulas senyum nakal dengan maksud menggoda Kai.
"Dia seorang tahanan, Trish. Aku ingin dia sehat ketika menjalani hukuman," kelit Kai.
"Ta-hanan?" tanya Trish terperangah tak percaya.
"Cepatlah kau obati dan segera bawa ke ruanganku." Kai melengos pergi meninggalkan Trish dan Jade.
"Argh!" Jade sedikit meringis karena luka yang masih menganga tadi.
"Jangan banyak bergerak, biar aku obati lukamu dulu." Trish dengan sigap mulai mengobati pundak Jade.
"Dia pikir siapa dia? mengatakan aku tahanannya, tapi malah diobati," rutuk Jade.
Hmm, sepertinya wanita ini telah mengalihkan perhatian Kai.
"Kau tau, tidak semua bos mafia itu kejam. Kai memang terkesan sadis. Tapi percayalah, dia pria yang sangat menghormati wanita." Trish membuka obrolan sembari menjahit luka Jade.
"Pfft!" Jade terkekeh spontan.
"Maaf, bukan maksud mencemooh opinimu. Tapi aku menyaksikan sendiri perempuan bernama Yasmina ingin mengulang malam panasnya dengan bosmu. Itu bukti bahwa Kai senang mempermainkan wanita." Mendengar ucapan Jade, Trish turut merespon dengan sunggingan ramah.
"Kau benar. Tapi Kai tak pernah mendatangi Yasmina atau perempuan manapun. Mereka datang padanya secara sukarela. Kai tidak pernah memaksa ataupun mengekploitasi wanita di sini. Sayangnya, gara-gara sisi lembut itu, Celine memanfaatkan—" Tiba-tiba saja Trish menghentikan ucapannya. Mimik wanita itu seketika pucat. Dirinya seolah menyesal karena sudah mengatakan hal yang seharusnya tak boleh terucap.
Siapa Celine?
Trish cepat-cepat mengalihkan pembicaraan ke topik lain sampai tak terasa akhirnya Jade selesai diobati.
"Ada lagi yang ingin kau diskusikan tentang keluhan lukamu?" tanya Trish tanpa mengalihkan topik pembicaraan.
"Kenapa aku merasa Kai ramah padamu?" celetuk Jade yang penasaran akan interaksi Kai dan Trish sebelumnya.
Trish mengeluarkan tawa lepasnya sebelum mengatakan, "Maaf, tapi aku tidak dalam kapasitas menjelaskan itu. Tapi ... jika penasaran, kau bisa bertanya langsung pada Kai." Trish mengedipkan sebelah mata dengan maksud menggoda Jade.
Sejujurnya, Jade sedikit kecewa karena tak mendapat jawaban. Namun, dirinya lega karena ditengah kejamnya dunia mafia dan assasin, sosok Trish begitu hangat padanya.