Bab 23

1038 Kata
"Apa dia tahu ya kalau kita ngikutin dia? Kenapa dia harus lewat jalan kecil-kecil kayak gini?" gumam Jek saat mobilnya memasuki gang kecil. "Jek, cepat, lampunya udah kuning!" Jek pun menambah kecepatannya. Namun sayang, mobil Rasya lolos duluam sementara mobilnya terjebak di lampu merah. Jek dan Plontos menepuk setir mobil tuanya hampir bersamaan. Mereka hanya bisa menggertakkan gigi, melihat mobil Rasya menghilang di tikungan jauh di depan. “Sialan! Kenapa lampu merahnya pas banget begini?” maki Jek sambil memukul setir. Plontos, yang duduk di sampingnya, menepuk dahinya sendiri. “Sabar, Jek! Kan masih bisa nyusul. Kita lurus aja. Siapa tahu mereka belok ke arah pasar malam.” Jek mendesis, menatap detik penunjuk lampu merah seolah bisa melelehkan angka-angka itu. “Cepet banget hilangnya! Padahal, udah mau dapet alamatnya. Mami bakal ngamuk kalau kita pulang dengan tangan kosong!” Plontos menepuk bahu Jek, berusaha menenangkan. “Ya udah, sabar dulu. Kalau kita panik, makin kacau. Abis lampu hijau, kita ke arah pasar. Kalau nggak ketemu, kita muter ke jalan komplek dekat masjid. Siapa tahu mereka ke sana.” Jek membenahi kaca spion, napasnya masih berat. “Nggak gampang, Plon! Dia sekarang bukan Naila yang dulu. Sekarang ada seorang Gus di sampungnya. Gimana cara nyulik dia kalau dia dijaga ketat?” Plontos nyengir kecil. “Nyulik mah gampang, Jek. Nggak harus siang bolong. Bisa pas dia lagi sendirian. Lagian, kalau Mami tahu posisi dia, Mami sendiri yang bakal urus. Kita cuma dapat bagian duitnya.” Lampu pun berubah hijau. Jek langsung tancap gas, roda mobil tua mereka melaju kencang membelah perempatan. Namun, di persimpangan berikutnya, mobil Rasya sudah tak terlihat, jalan pun terlihat lengang. “Gimana, Jek? Lurus terus?” tanya Plontos, kepalanya menoleh kiri-kanan, mencari tanda-tanda keberadaan mobil Rasya. “Lurus! Jangan sampe nyerah. Gue nggak mau pulang dengan tangan kosong. Kalau Mami murka, bisa-bisa kita yang disate hidup-hidup!” geram Jek. Mobil tua itu melaju dengan suara knalpot berisik, membelah jalan kota yang mulai sepi. Sesekali Plontos menajamkan pandangannya ke deretan lampu kendaraan yang berlalu-lalang, berharap bisa melihat siluet Naila di kursi penumpang. Namun, hasilnya nihil. Setelah berkeliling hampir setengah jam, mereka berhenti di pinggir jalan dekat pertigaan pasar malam. Jek mematikan mesin, memukuli setir dengan kesal. “Gak ada! Mereka udah kabur entah kemana!” umpat Jek, napasnya memburu. Plontos membuka botol air mineral dari dashboard, meneguknya cepat. “Udah, Jek. Nggak usah ngamuk. Besok pagi kita cari lagi. Kita cari pesantren di sekitar sini. Kalau perlu, kita tanya penduduk sekitar.” Jek memelototi Plontos. “Ya ... kalau dia bawa Naila ke pondoknya? Pasti ketat pengamanannya!” Plontos tertawa kecil, menepuk d**a Jek. “Makanya besok kita bawa anak buah lebih banyak. Kalau perlu, kita sogok orang dalam pondok. Dulu juga kita bisa masuk ke mana aja, kan? Masa sekarang nyerah.” Jek terdiam. Ia menyalakan rokok, menghembuskan asapnya pelan. “Iya. Besok kita main cantik. Mami Racel pasti mau bayar gede asal Naila balik lagi ke dia.” Plontos ikut mengangguk. “Yang penting, besok kita dapet jejaknya lagi. Sekarang kita pulang dulu. Biar Mami nggak curiga, bilang aja kita lagi mantau lokasi.” Jek mendecih, membuang rokoknya ke jalan. “Besok, Nai. Kamu nggak bakal lolos lagi.” Mereka pun menyalakan mesin mobil, berbalik arah menuju markas Mami Racel. *** Sementara itu, saat pulang dari alum n-alun, Rasya menatap sekilas kaca spion, melihat dua pasang lampu depan mobil lain yang terus menempel di belakangnya. Ia menarik napas panjang, menahan emosi yang mulai memanas di dadanya. “Kenapa kalian ngikutin gue? Siapa kalian?” gumam Rasya, suaranya nyaris tak terdengar, tertelan suara deru mesin mobil yang melaju cepat. Ia melirik ke sebelah kiri. Di sana, Naila tertidur pulas, kepalanya sedikit miring ke jendela, wajahnya terlihat tenang. Rasya menghela napas. “Tidurlah, Sayang ... Biarkan Abi yang urus ini semua,” bisiknya, lebih pada dirinya sendiri. Tangannya sigap memutar setir ke arah gang kecil yang ia hapal betul jalurnya. Jalan tikus ini sering ia lalui saat pulang dari masjid ke rumah kontrakan. Gelap, sempit, dan hanya muat untuk satu mobil. Rasya mematikan lampu jauh, menyisakan lampu redup agar tak terlalu mencolok. Namun, di kaca spion, bayangan lampu mobil penguntit masih menempel. Rasya mengetukkan jarinya ke setir. “Keukeuh banget, ya? Mau apa sih kalian…” gumamnya lagi. Ia menekan pedal gas lebih dalam. Mesin mobil meraung pelan tapi stabil. Di ujung gang, Rasya melihat lampu lalu lintas besar. Lampu kuning mulai berkedip, tanda hijau akan segera berganti merah. “Pas banget!” Rasya menajamkan mata, meremas setir erat kemudian melajukan mobilnya secepat kilat. Saat lampu kuning tinggal satu detik, mobil Rasya melesat. Naila bergeser sedikit di kursinya, menggumam pelan tapi tak terbangun. Rasya menoleh, memastikan sabuk pengaman istrinya terpasang dengan baik. Begitu ia menoleh ke spion lagi, mobil penguntitnya terjebak di balik lampu merah. Rasya tertawa kecil. “Rasakan itu, nyali kalian ternyata nggak segede gaya kalian,” ejeknya, masih pada dirinya sendiri. Ia memperlambat laju mobil. Jalanan di depannya lebih lengang. Ia sempat menengok ke arah Naila, lalu membetulkan letak kerudung sang istri yang sedikit turun menutupi pipinya. “Tidur aja, Sayang. Abi nggak akan biarkan mereka ganggu kamu lagi,” bisiknya, lembut. Tangannya meraih ponsel yang ia letakkan di konsol tengah. Sambil tetap memegang setir dengan satu tangan, Rasya membuka kontak Rahmat, santri senior kepercayaannya. “Rahmat …” desisnya. Ia menunggu nada sambung. Setelah terhubung, suara Rahmat terdengar pelan dan mengantuk. “Assalamualaikum, Gus…” “Waalaikumsalam, Mat. Maaf ganggu. Aku butuh kamu pasang orang di sekitar pesantren. Ada mobil aneh ngikutin aku sama Naila barusan. Aku nggak tahu siapa mereka, tapi feelingku bukan orang baik.” Rahmat terdiam sesaat, lalu menjawab sigap. “Baik, Gus. Saya gerakkan anak-anak malam ini juga. Kalau boleh tahu, plat nomornya dapat dilihat nggak, Gus?” Rasya melirik spion lagi, tapi mobil penguntit sudah tak terlihat. “Sayangnya enggak. Tapi kalau mereka muncul lagi, aku kabari. Tolong, Mat. Jangan sampai Naila kenapa-kenapa. Aku nggak mau bikin dia takut.” “Siap, Gus. Serahkan sama saya.” Rasya memutus sambungan. Ia menarik napas lega. Perlahan, ia mengusap pelan pipi Naila, memastikan sang istri masih terlelap. “Tenang, Sayang. Kali ini, Abi nggak akan bodoh lagi. Aku akan jaga kamu dan Ilham… bahkan dengan nyawa sekalipun,” gumamnya,
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN