Bab 24

939 Kata
"Gus, beberapa hari lalu, banyak lelaki tak dikenal yang mulai bertanya-tanya pada warga!" Rasya berdiri di teras rumahnya dengan wajah tegang. Lelaki itu menatap Rahmat—anak buah kepercayaannya yang berdiri sambil memainkan peci hitam di tangannya. “Lalu, mereka bilang apa lagi, Mat?” tanya Rasya pelan, suaranya menekan, nyaris tanpa intonasi. Rahmat menunduk hormat. “Mereka sempat pura-pura nanya alamat rumah orang, Gus. Tapi warga kita paham maksudnya. Jadi mereka jawab ngelantur aja. Alhamdulillah nggak ada yang bocor.” Rasya menarik napas dalam, lalu mengangguk perlahan. “Bagus, Mat. Terima kasih. Kamu dan anak-anak lain, tetap jaga gerbang utama. Kalau perlu, ganti shift jaga jadi dua kali lipat. Aku nggak mau ada orang asing bisa masuk sini tanpa izin.” Rahmat menatap Gus Rasya dengan pandangan mantap. “Siap, Gus. InsyaAllah. Warga juga sudah saya briefing lagi sore tadi. Kalau ada yang nanya Nyonya, mereka jawab nggak tahu. Orang-orang juga sudah mulai curiga sama gerak-gerik orang-orang itu.” Rasya terdiam. Hatinya berkecamuk. Sudah cukup masalah yang datang bertubi-tubi. Sekarang, orang-orang dari masa lalu Naila muncul lagi, ingin merusak damai yang baru saja ia bangun untuk keluarganya. “Mat,” kata Rasya lagi, suaranya menurun, “Untuk sementara, aku mau kamu atur, biar Naila nggak keluar rumah dulu. Kamu bilang juga sama warga, kalau liat Nyonya mau keluar sendirian, langsung tahan. Biar dia tetap aman di sini.” Rahmat menahan senyum kecil, menunduk sopan. “Baik, Gus. Tapi… apa Nyonya mau, Gus? Soalnya beliau orangnya keras. Takutnya malah salah paham sama kita.” Rasya menghela napas, menatap ke halaman yang remang. Cahaya lampu taman menyorot pohon mangga yang daun-daunnya bergoyang. “Biar aku yang ngomong sama Naila. Aku yakin dia bakal ngerti. Aku nggak mau ada yang ganggu dia lagi. Sekali pun.” Rahmat menepuk d**a kanannya. “Aman, Gus. Kami di luar siap jaga sampai kapan pun.” Rasya menepuk pundak Rahmat, lalu menatapnya dalam-dalam. “Kalau mereka masih nekat, kamu kabari aku dulu. Jangan main hakim sendiri. Kita orang pesantren, Mat. Jangan bikin gaduh. Tapi kalau udah keterlaluan, kamu tau harus bagaimana.” Rahmat mengangguk cepat. “Siap, Gus. InsyaAllah. Saya pamit, Gus.” “Ya. Assalamualaikum.” “Waalaikumsalam, Gus.” Rahmat berjalan cepat menuruni anak tangga teras, meninggalkan Rasya yang masih tertegun di tempatnya. Lelaki itu menatap lampu teras yang berayun pelan ditiup angin. Kepalanya penuh dengan kemungkinan terburuk yang bisa terjadi jika orang-orang itu nekat. Dia menarik napas, membulatkan tekad. Malam ini juga, dia harus bicara pada Naila. Dia tak mau istrinya terluka lagi—tak oleh masa lalu, apalagi oleh orang-orang yang menganggap Naila bisa diperlakukan semaunya. Setelah Rahmat hilang di gerbang, Rasya menutup pintu rumah. Dia melangkah masuk, mencari sosok Naila di ruang tengah. Ditemukannya wanita itu duduk bersila di atas karpet, mushaf terbuka di pangkuannya. Perlahan Rasya mendekat, menatap wajah tenang sang istri. "Aku akan terus menjagamu, Sayang!" Rasya duduk di ruang tengah rumahnya, matanya menatap kosong ke arah pintu yang tertutup rapat. Suara Rahmat yang baru datang membuat lamunannya buyar. “Gus,” panggil Rahmat pelan sambil menunduk hormat. Rasya segera menoleh, matanya menajam. “Bagaimana, Mat? Dapat kabarnya?” Rahmat menarik napas, kemudian duduk di depannya. Lelaki itu meraih ponsel di saku jaketnya, memperlihatkan sebuah foto pada Rasya. Foto itu menampilkan seorang wanita berdandan menor, rambutnya dicat pirang terang. “Namanya Racel, Gus. Dia g***o di rumah bordir paling besar di sudut kota. Dia punya banyak anak buah. Dan—“ Rahmat mendekat, menurunkan suaranya. “—dulu istri Gus adalah primadonanya di sana. Jadi, dia pasti nggak rela kehilangan sumber uangnya.” Rasya menatap tajam foto di layar ponsel itu. Rahangnya mengeras. “Berarti benar dugaanku. Mereka mau Naila kembali ke lingkaran itu. Tidak akan aku biarkan!” Rahmat mengangguk mantap. “Betul, Gus. Tadi saya sempat ngobrol sama salah satu anak buahnya yang kebetulan orang kampung juga. Katanya, Racel lagi susah cari pelanggan sejak Nyonya hilang. Jadi sekarang dia mau cari Nyonya lagi. Dengan cara apa pun.” Rasya mendengus, lalu mengusap wajahnya dengan kedua tangan. “Lalu, apa yang harus kita lakukan, Mat? Kalau kita lawan pakai kekerasan, kita sama saja dengan mereka. Kalau kita lapor polisi, takutnya mereka licin.” Rahmat mencondongkan tubuhnya, berbisik pelan di telinga Rasya. Sambil bicara, matanya sesekali menatap pintu, memastikan tak ada yang mendengar. “Begini, Gus… saya punya orang di kantor pajak. Bisik-bisiknya, usaha Racel itu nggak pernah lapor pajak dengan benar. Ada juga bisnis ilegal lain di belakangnya. Kalau kita kerjasama sama orang pajak, sama polisi, kita bisa bongkar semua usahanya dari dalam. Biar dia sibuk urus urus pajak, nggak sempat lagi ganggu Nyonya.” Rasya mendengar dengan seksama. Perlahan senyum tipis muncul di sudut bibirnya. “Bagus, Mat. Bagus sekali. Kita lawan dengan cara yang bersih. Aku nggak mau nama Naila kotor lagi karena hal seperti ini.” Rahmat tertawa kecil. “Siap, Gus. Biar saya urus. Tapi saya butuh tanda tangan Gus juga nanti, kalau mau lapor ke pihak berwenang.” Rasya menepuk pundak Rahmat. “Apa pun yang kamu butuh, bilang. Aku akan tandatangani. Asal Naila aman, aku rela lakukan apa pun.” Rahmat berdiri, membetulkan pecinya. “Kalau begitu, saya gerak sekarang, Gus. Kalau lancar, Racel nggak akan sempat lagi kirim anak buahnya ke sini.” Rasya bangkit, menatap Rahmat dengan mata mantap. “Terima kasih, Mat. Kamu memang sahabat sekaligus orang kepercayaanku yang paling setia. Hati-hati. Jaga anak-anak juga. Kalau perlu tambah penjagaan di perbatasan kampung.” Rahmat menepuk d**a kanannya. “Siap, Gus. Assalamualaikum.” “Waalaikumsalam.” Setelah Rahmat pergi, Rasya berdiri memandangi foto Racel di ponsel. Tangannya mengepal. Dalam hati dia bersumpah: Tak akan kubiarkan kau sentuh Naila lagi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN