Bab 19

1052 Kata
“Kalau begitu … Aisyah hanya minta satu. Kalau Gus Rasya tidak mau menikahiku, lepaskan Naila. Dia adalah mantan wanita malam, wanita tersebut tidak pantas berada di pesantren!" Suasana pendopo mendadak panas. Mereka baru tahu jika Naila adalah mantan wanita malam. Warga pun mulai berdesakan, beberapa ibu-ibu berbisik menatap Naila yang berdiri di samping Rasya. Di depan mereka, Aisyah berdiri angkuh, sambil mengacungkan amplop berisi fotokopi artikel berita lama yang merupakan berita masa lalu Naila. “Aku cuma mau semua orang di sini tahu, siapa sebenarnya perempuan yang kalian bela!” seru Aisyah lantang, menunjuk Naila. Beberapa warga saling menatap Naila gelisah. Ali dan Amira saling lirik, wajah mereka pucat. “Naila ini dulu adalah wanita malam di lokalisasi! Gus Rasya menodai pesantren ini dengan memelihara perempuan najis seperti dia!” suara Aisyah bergetar. Entah benar-benar marah atau sengaja memprovokasi. Naila menunduk. Wajahnya memucat. Rasya langsung menggenggam tangan istrinya, menariknya ke belakang punggungnya, seolah melindungi. Suaranya bergetar tapi tegas. “Berhenti, Ning Aisyah. Semua orang di sini memang berhak tahu, tapi kalian juga harus dengar dari saya.” Pak RT maju, menatap Rasya. “Gus, apa benar? Kenapa ini disembunyikan?” Rasya menatap satu per satu warga. Suaranya membelah riuh rendah gumaman. “Saya tidak pernah menyembunyikan apapun. Saya menikahi Naila dengan secara sah. Saya tidak pernah menodai pesantren ini dengan melakukan perbuatan zina. Saya yang paling tahu seperti apa masa lalu Naila. Saya yang menjadi saksi dia bertobat di depan Allah, di depan saya. Dan kalian semua tahu, Allah itu Maha Pemaaf.” Aisyah tertawa sinis. “Tapi Gus, wanita ini memalukan! Nama baik pesantren ini bisa hancur!” Rasya menggeleng, menatap warga yang mulai berisik. “Kalian semua di sini umat Allah. Siapa yang berani bilang kalian suci tanpa dosa? Saya tanya ... siapa?” Hening. Tak ada yang berani menjawab. “Kalian tahu apa yang dia lakukan? Dia ajari ibu-ibu berdandan, menjaga suami, memperbaiki rumah tangga kalian. Dia mengajarkan yang baik, bukan dosa. Kalau kalian mau usir dia, usir saya juga!” suara Rasya makin keras. Tiba-tiba seorang ibu maju. seorang wanita yang memakai baju sederhana bernama Andin. Dia adalah istri seorang aparat negara. Dengan suara gemetar tapi lantang. “Saya saksi, Gus. Kalau bukan karena Bu Naila, suami saya mungkin sudah mencari wanita lain. Karena Bu Naila, suami saya kini selalu pulang cepat, bahkan, sekarang dia jadi lebih sayang sama saya!” Beberapa ibu-ibu lain manggut-manggut, mulai terdengar riuh setuju. Pak RT menepuk bahu Rasya. “Saya dukung Gus Rasya. Saya RT di sini, saya tahu Bu Naila nggak pernah bikin masalah.” Aisyah mendesis. “Tapi dia—” “Cukup! Kamu tidak berhak menghakimi orang, Aisyah. Baik buruknya seseorang di mata Alaah itu semua tergantung agamanya, bukan masa lalunya.” potong Rasya tajam. Dia menatap Aisyah dengan mata dingin. “Dan kamu! Kalau kamu benar-benar hamil anak saya, ayo tes DNA sekarang. Jangan hanya menebar fitnah tanpa ada bukti yang pasti!” Warga mulai berbisik, menatap Aisyah curiga. Aisyah menoleh ke orang tuanya, gemetar, suaranya tercekat. Naila memeluk lengan Rasya. Pelan tapi mantap, dia berbisik di telinga suaminya. “Terima kasih sudah membela aku, Mas…” Rasya memegang wajah Naila, menatap matanya penuh keyakinan. “Kamu istri sahku. Sampai matpun, aku yang akan menjaga kamu. Biar dunia yang menghukumku kalau memang aku berdusta.” Suasana di pendopo masih panas. Beberapa warga menunggu jawaban, Pak RT berdiri di samping Rasya, seolah jadi saksi. Rasya menatap tajam ke arah Aisyah yang kini mulai mundur setengah langkah. “Aisyah …” Rasya menarik napas panjang. Tangannya meraih ponsel di saku jubahnya. “Kalau kamu memang yakin janin itu anak saya, ayo sekarang kita tes DNA di dokter langganan keluarga saya. Dokter pribadi kakak saya. Tidak akan ada yang bisa memanipulasi.” Wajah Aisyah berubah pucat. Tangannya mencengkeram surat hasil USG yang tadi ia pamerkan. Dia berusaha menelan ludah, tapi suaranya tercekat. “Gus … saya … saya takut … kalau tes DNA sekarang, janinnya bisa keguguran.” Rasya mendecak pelan, sorot matanya dingin tapi tetap tenang. “Aisyah, sekarang zaman sudah maju. Tes DNA janin itu aman, tidak akan menggugurkan kandungan. Dokter kakak saya sudah menangani banyak kasus seperti ini.” Amira, yang berdiri di belakang Rasya, menatap tajam Aisyah. “Aisyah, kalau memang kamu jujur, kenapa harus takut? Apa yang kamu sembunyikan, Nak?” Kyai Basowi, ayah Aisyah, tampak gelisah. “Aisyah, jawab Abi, kenapa kamu tidak mau? Kalau benar, Rasya tidak akan lari dari tanggung jawabnya.” Aisyah mundur lagi setapak, kakinya gemetar. Matanya sibuk mencari celah, tapi semua warga menatapnya, menunggu jawaban. Naila berdiri di belakang Rasya, menahan napas, menatap tajam wanita yang mencoba merusak rumah tangganya. Rasya mengambil ponselnya, kemudian menempelkannya ke telinga. Suaranya tenang tapi menusuk. “Assalamualaikum, Dok. Ini Rasya … Dok, saya mau minta tolong. Saya mau bawa seorang wanita yang mengaku hamil anak saya. Tolong siapkan tes DNA secepatnya, ya? Besok pagi kami datang. Tes DNA janin ini aman kan, Dok?” Terdengar dengan jelas penjabaran dari dokter wanita itu tentang tes dna janin yang aman. Aisyah langsung gelagapan. Matanya membulat. “Enggak … enggak perlu, Gus. Saya … saya baru ingat, saya harus menemui dokter saya. Saya permisi dulu.” Aisyah buru-buru memungut tasnya, berbalik hendak lari, tapi Kyai Basowi menarik tangannya. “Aisyah! Jelaskan dulu ke Abi! Apa maksudmu ini semua, hah?!” Namun Aisyah melepaskan pegangan ayahnya. “Abi, nanti Aisyah jelaskan! Sekarang Aisyah harus pergi dulu!” Suaranya gemetar, wajahnya sudah memerah, napasnya memburu. Rasya menatapnya dingin. “Kamu mau kabur? Silakan! Tapi ingat, kalau besok kamu tidak muncul, saya sendiri yang akan membongkar kebohonganmu di depan warga!” Aisyah tidak menjawab. Dia menunduk, menghindari tatapan semua orang, lalu berlari ke luar pendopo, diikuti tatapan terkejut warga. Pak RT menghela napas panjang. “Gusti, jadi … anak itu … bohong?” Rasya menatap semua warga yang masih ragu. “Allah Maha Tahu, Pak RT. Saya tidak pernah menodai wanita manapun selain istri saya yang sah.” Dia menoleh ke arah Naila, menatapnya lembut. “Dan dia satu-satunya wanita yang saya cintai.” Naila menahan air mata. Tangannya meremas lengan Rasya, membisikkan kata lirih, “Terima kasih, Mas … sudah membela aku lagi.” Ali dan Amira hanya menunduk — gengsi mereka runtuh perlahan. Sementara Kyai Basowi terduduk di kursi, menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan karena malu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN