Bab 18

1173 Kata
“Lalu… kalau Abi dan Ummi memaksamu?” “Aku akan lawan mereka,” potong Rasya cepat. “Aku bukan anak kecil lagi, Sayang. Abi dan Ummi memang orangtuaku, aku hormat sama mereka. Tapi kalau mereka salah, aku juga punya hak bilang tidak. Dan sekarang, aku bilang TIDAK.” Tangannya mengusap lembut pipi Naila. “Aku cuma minta kamu percaya sama aku. Kamu lihat sendiri kan aku bahkan sudah nawarin tes DNA. Kalau memang aku salah, aku akan bertanggung jawab. Tapi kalau dia bohong, aku akan lawan dia. Kamu tidak sendiri, Naila.” Naila menggigit bibirnya, menahan air mata yang mengambang. “Aku cuma… aku takut, Mas. Kalau orang-orang makin benci sama aku. Kalau mereka bilang aku penghalang—” “Biar! Biar orang mau bilang apa, biar orang mau nyinyir. Kamu nggak hidup sama mulut mereka. Kamu hidup sama aku. Dan selama aku di sini, kamu nggak akan pernah aku biarin sendirian.” Ia meraih foto USG itu, meremasnya pelan lalu menaruhnya di meja. “Biarin itu di sini. Kita lihat siapa yang benar.” Naila akhirnya mengangguk, meski air matanya jatuh juga. Ia memeluk suaminya erat-erat. “Jangan pernah tinggalkan aku lagi, Mas…” Rasya membalas pelukan itu, mengusap punggung istrinya dengan sabar. “Dulu aku salah, aku ninggalin kamu. Sekarang, walau dunia mau runtuh pun, aku nggak akan kemana-mana lagi.” Keduanya pun akhirnya masuk ke dalam kamar, saat Rasya akan merebahkan tubuhnya, Naila bertanya. “Mas… kenapa nggak nginap di rumah Abi dulu?” Rasya tidak menjawab. Ia mendekat, meraih tangan istrinya lalu menuntunnya duduk di sofa. Nafasnya teratur, tapi suaranya dingin menahan emosi. “Kita harus bicara, Sayang.” Naila menelan ludah. “Tentang apa?” Rasya menatapnya dalam, lalu meraih kedua bahu istrinya. “Besok kita ke rumah Abi sama Ummi. Aku mau bawa kamu dan Ilham tinggal di pesantren.” Naila spontan menggeleng. “Mas… jangan. Mas mau bikin Abi dan Ummi makin benci sama aku? Aku sudah cukup, Mas. Sudah cukup aku dicaci karena masa lalu. Biarlah aku di sini saja.” Rasya mendesah panjang. Ia memegang wajah Naila dengan kedua telapak tangannya. “Sayang… dengerin aku dulu. Aku nggak mau kejadian kemarin terulang. Kamu harus tahu, Aisyah sudah kelewatan. Dia datang ke rumah ini, bawa tespek, bawa foto USG. Kamu pikir itu nggak melukai harga dirimu? Aku nggak bisa lagi membiarkan dia datang seenaknya ke sini.” Naila terdiam, matanya berkaca. “Tapi, Mas… kalau aku ke pesantren, apa kata orang? Abi dan Ummi pasti malu—” “Biarlah orang mau bilang apa,” potong Rasya cepat. Nadanya tegas. “Yang penting kamu istriku. Kamu halal. Kamu ibu dari anakku. Kamu tinggal di rumah suamimu sendiri. Itu hakmu. Aku nggak mau kamu dipandang hina hanya karena kamu masih di kontrakan begini.” Naila menunduk, menahan air mata. “Tapi Aisyah itu orang baik, Mas… kalau memang dia hamil—” Rasya mendecak, suaranya meninggi. “Cukup, Naila! Aku bilang cukup. Aku tahu siapa dia. Kalau dia jujur, dia nggak akan menolak tes DNA. Kalau dia jujur, dia nggak akan nyebar fitnah. Kamu harus percaya sama aku. Kamu itu satu-satunya istriku. Sampai mati pun aku nggak mau mendua!” Naila terisak, perlahan meraih tangan Rasya. “Aku cuma takut, Mas… aku nggak mau kamu kehilangan keluargamu karena aku.” Rasya menatap mata istrinya lekat-lekat, membalas genggaman tangannya. “Kamu dengar baik-baik, Sayang. Aku rela kehilangan siapa pun. Abi, Ummi, pesantren, siapa pun. Tapi aku nggak mau kehilangan kamu. Aku nggak mau Ilham jauh dari ibunya. Kamu adalah rumahku. Kamu harus ikut aku.” Naila hanya bisa menahan air matanya. Di pelukannya, Rasya mendekap kepala istrinya erat-erat. “Aku akan bicara sama Abi dan Ummi besok,” bisik Rasya di telinga Naila. “Kita pergi bersama. Kalau perlu, aku bawa Ilham sekalian. Biar Abi dan Ummi tahu, nggak ada yang bisa misahin kamu dari aku.” Keesokan harinya, sesuai tekadnya, Rasya menggandeng Naila dan Ilham ke pendopo rumah besar orang tuanya. Kehadiran mereka membuat Ali dan Amira terperangah—belum pernah sejak Rasya dewasa, ia bersikeras membawa istri dan anaknya menetap di rumah induk pesantren ini, apalagi dengan kondisi keluarga sedang ribut soal Aisyah. Ali hanya bisa menatap Rasya dengan napas berat. “Jadi benar kamu mau bawa dia tinggal di sini?” Rasya berdiri tegak. “Benar, Abi. Aku sudah bilang. Naila istriku. Ilham putraku. Mereka keluarga sahku. Mereka tinggal di mana pun aku tinggal.” Amira sempat membuka mulut, ingin membantah, tapi pandangan Rasya membuatnya terdiam. Naila yang berdiri di samping Rasya hanya menunduk, menahan getaran di d**a. Ilham berdiri di sisi ibunya, memegang ujung gamis Naila erat-erat. Ali menarik napas panjang. “Baiklah. Kalau itu maumu, Abi tidak bisa menolak. Tapi ingat, Rasya… keputusan ini berat. Nama baik keluarga, pesantren—semua akan jadi taruhannya.” Rasya hanya menjawab dengan anggukan mantap. “Aku tahu, Abi. Tapi aku tidak mau istriku dipermalukan lagi. Tidak di rumahnya sendiri.” Belum sempat mereka duduk makan siang di ruang makan yang sudah terhidang, tiba-tiba suara ribut terdengar dari depan pendopo. Beberapa warga bersama Kyai Basowi, Ning Aisyah, dan kedua orang tuanya datang berombongan. Suasana mendadak kaku. Amira memegang d**a, merasa jantungnya berdebar tak karuan. Aisyah maju ke depan, wajahnya tertunduk namun mulutnya gemetar. “Gus Rasya… mohon maaf kalau Aisyah lancang. Tapi Aisyah datang kemari bersama Abi dan warga untuk menuntut tanggung jawab Gus Rasya.” Ali terbelalak. “Aisyah, maksudmu apa ini?” Kyai Basowi menjawab, suaranya berat. “Anak saya mengandung, Ustad Ali. Dan Gus Rasya harus bertanggung jawab.” Beberapa warga berbisik, menatap Rasya dengan tatapan sinis. Aisyah lalu mengeluarkan surat keterangan dokter, foto USG, dan tespek yang sama. Tangannya gemetar saat menyerahkannya ke Ali. “Ini buktinya, Abi.” Rasya melangkah maju. Ia menatap lurus ke arah Aisyah, suaranya bergetar menahan marah. “Berhenti membuat fitnah, Aisyah. Kita sudah bicara. Aku sudah minta tes DNA. Kalau memang itu anakku, aku akan menikahimu. Tapi kau selalu menolak!” Beberapa warga mulai ribut. “Gus Rasya harus tanggung jawab!” teriak seseorang. Ali menahan nafas. Ia melirik Naila yang pucat. Wanita itu berusaha menahan air mata di balik tudungnya. Amira mendekat ke Rasya, berbisik, “Rasya… hadapi ini dengan kepala dingin.” Rasya menatap ibunya, matanya merah. “Ummi, ini fitnah. Aku bersumpah atas nama Allah. Aku tidak pernah menyentuh dia.” Kyai Basowi membentak. “Kalau begitu buktikan! Nikahi Aisyah sekarang juga di depan warga!” Rasya menggeleng, nadanya tegas. “Tidak akan pernah. Selama dia tidak mau tes DNA, aku tidak mau menikahinya. Bawa kasus ini ke jalur hukum kalau mau. Aku siap!” Kerumunan warga semakin gaduh. Ilham merapat pada kaki Rasya, Naila memeluk anaknya sambil menahan getar di bahu. Ali menatap Kyai Basowi dan Aisyah dengan napas tersengal. “Kita bicarakan ini di dalam. Tidak di depan warga. Ini aib keluarga, jangan diumbar di pelataran!” Aisyah menatap Rasya, matanya penuh air mata palsu. “Kalau begitu… Aisyah hanya minta satu. Kalau tidak mau menikahiku, lepaskan Naila. Dia adalah mantan wanita malam, wanita tersebut tidak pantas berada di pesantren!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN