Bab 17

1053 Kata
Rasya masih memeluk Naila erat ketika tiba-tiba terdengar suara beberapa orang yang berteriak di depan rumahnya. Naila melepas pelukannya perlahan, menatap Rasya penuh tanya. “Siapa, ya, Mas?” bisiknya. Rasya hanya menggeleng pelan, menepuk bahu istrinya. “Aku lihat dulu.” Ia berdiri, merapikan baju koko di dadanya, lalu berjalan ke pintu depan. Begitu pintu dibuka, tampak beberapa warga berdiri di teras sempit kontrakan itu. Pak RT pun ada di sana, bersama tiga orang bapak-bapak pengurus masjid. Wajah mereka tegang, mata mereka tertuju pada Rasya seperti memegang vonis. “Assalamualaikum, Pak RT,” sapa Rasya, menahan diri agar tetap tenang. “Waalaikumsalam, Gus Rasya,” jawab Pak RT, nadanya berat. Ia menarik napas panjang, lalu menatap Rasya lurus. “Maaf, Gus… Kami ke sini bukan mau bikin ribut. Tapi, kami dapat laporan, kas masjid hilang. Uang infak jamaah tidak ada di kotak amal, padahal baru kemarin di hitung.” Rasya mengerutkan dahi. “Hilang? Bagaimana bisa? Bukannya bendahara masjid yang pegang kuncinya?” Seorang bapak di samping Pak RT—Pak Umar, bendahara masjid—langsung maju setengah langkah. “Benar, Gus. Tapi kunci itu saya titipkan ke Gus Rasya kemarin sore. Katanya mau mengecek laporan keuangan yang mau dibawa ke rapat RT.” Rasya menarik napas panjang. Ia teringat, memang benar Pak Umar menitipkan kunci brankas kotak amal kemarin. Tapi dia sama sekali belum sempat membuka kotak itu, karena sibuk mengurus kebutuhan Ilham dan menjaga Naila yang sedang gelisah. “Pak Umar, saya memang pegang kunci itu. Tapi saya belum sempat buka. Silakan cek di rumah, kalau mau,” kata Rasya, berusaha tenang. “Tadi sudah kami cari. Di masjid juga sudah kami periksa. Tapi uangnya nggak ada, Gus,” sela Pak RT, nadanya mulai ketus. “Warga sudah ramai, Gus. Ini masalah uang infak, uang jamaah. Kami mohon, Gus Rasya ikut kami untuk menjelaskan semuanya!" Setelah berpamitan pada sang istri, akhirnya Rasya pun ikut bersama mereka. Tak lama, terdengar ketukan keras di pintu rumahnya. Naila pikir, itu adalah suaminya, wanita itu pun segera membuka pintu rumahnya. Baru saja dia membuka pintu, seorang wanita tiba-tiba masuk sebelum dia mempersilahkannya. Naila menghela napas panjang saat melihat wanita yang ada di depannya. Seolah tak punya sopan santun masuk rumah orang. Aisyah menatap Naila dari atas ke bawah, seolah menilai dan meremehkan. “Aku nggak nyangka, ternyata kamu… begini penampilannya. Lugu sekali, padahal suamimu adalah orang yang cukup terpandang.” Bibirnya melengkung sinis. Naila menatapnya datar. “Kalau mau bicara, bicara yang pantas. Kamu datang ke rumah orang tanpa salam, duduk tanpa izin. Setidaknya, jaga sopan santunmu.” Aisyah mencibir, lalu menyorongkan test pack ke arah Naila. “Lihat baik-baik. Dua garis merah. Ini bukti. Dan ini…” dia menarik amplop putih dan menaruhnya di meja kecil. “USG-nya, janin ini sudah delapan minggu. Anak ini adalah bukti cinta kami. Kamu pikir Gus Rasya cuma milikmu? Kamu terlalu naif.” Naila menghela napas. Jemarinya menyentuh kertas hasil USG itu pelan, seolah memastikan matanya tak salah. Tapi sorot matanya tetap tenang. “Kalau kamu memang hamil, kenapa kamu datang ke sini, bukan ke suamiku?” Aisyah mendengus pelan. “Karena kamu penghalangnya. Selama ada kamu, Rasya nggak akan mau tanggung jawab. Kamu ini siapa, sih? Apa sih kelebihan kamu, sampai-sampai Gus Rasya pilih kamu?” Naila menatap lurus ke mata Aisyah, sorotnya tajam namun suaranya tetap lembut. “Aku ini istrinya. Istri sah di mata Allah, meskipun orang-orang membenciku. Kalau memang benar Rasya yang berbuat, bawa buktimu ke dia, dan suruh dia menikahimu! Kalau dia meminta aku pergi, aku akan pergi. Aku nggak pernah memaksa bertahan dengan orang yang sudah tidak menginginkanku.” Aisyah terbahak kecil, nada tawanya meremehkan. “Percaya diri sekali kamu. Kamu pikir dia akan tetap memilihmu kalau tau aku hamil? Apa kamu mau lihat anakmu hanya dibesarkan di pesantren sementara anakku dan aku hidup mewah di rumah utama?” Naila menarik napas panjang. “Aku sudah pernah ditinggalkan tanpa kata. Aku tahu rasanya dibuang. Jadi kalau harus dibuang lagi, aku siap. Tapi aku nggak akan lari hanya karena kamu datang bawa test pack. Aku tunggu Rasya bicara langsung padaku.” Aisyah mendecak, berdiri sambil merapikan kerudungnya. “Kamu akan menyesal, Naila. Cepat atau lambat, kamu akan ditendang dari rumah ini.” Naila ikut berdiri, menghadap Aisyah dengan tatapan berani meski kedua tangannya gemetar di balik gamisnya. “Kalau itu takdirku, silakan. Tapi aku nggak akan pergi hanya karena kamu mengusirku. Aku cuma dengar kata suamiku. Silakan kamu pergi sekarang. Rumah ini bukan tempat menebar fitnah.” Aisyah mendekat, membisik di telinga Naila, “Kamu nggak tau siapa aku. Kamu akan menyesal!” Dengan langkah angkuh, Aisyah meninggalkan ruang tamu kontrakan itu. Pintu kayu tertutup keras di belakangnya, meninggalkan Naila berdiri sendiri di tengah ruangan, napasnya memburu. Jemarinya meremas jilbab di d**a. Bibirnya bergetar. Ya Allah, kalau ini ujian-Mu, beri aku kekuatan. Beberapa saat kemudian, terdengar suara motor Rasya memasuki halaman. Lelaki itu menatap sang istri yang sedari tadi hanya menunduk, memeluk foto USG itu di pangkuannya. Ia mendekat, duduk di hadapan istrinya, meraih tangannya yang dingin. “Naila, ada apa?" Naila menatap suaminya dengan mata berkaca-kaca. "Katakan padaku, apa ini benar?" Lelaki itu mencium tangan istrinya. "Sayang, dengar aku …” suara Rasya pelan tapi mantap. “Kamu tahu sendiri kan siapa aku. Apa aku lelaki yang semudah itu bermain wanita?” Naila menahan napasnya. Matanya masih menatap kosong ke meja. “Tapi … dia datang ke sini. Dia bilang dia hamil anakmu. Aku … aku takut, Mas. Takut kalau memang … semua ini benar.” Rasya meraih pipi Naila, memaksanya menatap matanya. “Tidak ada wanita yang aku sentuh selain kamu, Sayang. Kalau pun aku ini dulu pernah salah, aku akan ngaku, Sayang. Tapi ini? Ini fitnah. Dan aku nggak akan pernah menyerah sama fitnah murahan kayak begini.” Naila menelan ludah. Rasanya kerongkongannya kering. “Dia … dia bilang dia mau kamu bertanggung jawab. Kalau memang itu benar anakmu, aku nggak akan halangi, Mas. Aku akan pergi—” Rasya langsung merengkuhnya erat, memotong kata-katanya. “Ssst … Kamu nggak akan kemana-mana. Kamu dengar aku, ya? Kalau pun itu benar anakku, meski aku tahu itu mustahil, aku akan tetap memintamu ada di sini. Kamu istriku. Kamu ibu dari anakku. Kamu masa depanku, bukan dia.” Naila menarik napas dalam-dalam, suaranya bergetar. “Lalu… kalau Abi dan Ummi memaksamu?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN