"Assalamualaikum!" ucap Rasya saat dia sampai di depan rumah Kyai Basowi. Kedatangannya kemari ingin meluruskan masalah kehamilan Aisyah.
Seorang santri muda mempersilakan Rasya masuk ke ruang tamu luas bergaya Jawa klasik. Kyai Basowi duduk bersila di kursi ukiran. Sorot matanya tajam di balik peci hitamnya. Di sampingnya, Aisyah tampak duduk menunduk manis, tangannya mengusap-usap perutnya, seolah membenarkan kebohongan besar yang ia tumpahkan.
Rasya berdiri di hadapan mereka, menundukkan kepala sekilas, “Assalamualaikum, Kyai, Ning…”
“Waalaikumsalam,” jawab Kyai Basowi datar. Suaranya berat, menggetarkan ruangan. “Duduk, Gus Rasya. Kita selesaikan semua di sini.”
Rasya duduk di kursi seberang, membetulkan posisi pecinya. Ia menatap lurus ke arah Kyai Basowi tanpa gentar, lalu menghela napas. “Saya ke sini mau meluruskan fitnah ini, Kyai. Demi Allah, saya bersumpah di hadapan Kyai dan di hadapan Aisyah sendiri, saya tidak pernah melakukan hal itu pada Aisyah. Tidak pernah!”
Aisyah menunduk makin dalam, pura-pura terisak kecil. Kyai Basowi mendengus, tangannya mengepal di lutut. “Lalu, dari mana janin di rahim Aisyah kalau bukan dari kamu? Kalian kepergok jalan bersama. Ada saksi. Aisyah tidak akan berani memalukan keluarganya kalau tidak terjadi apa-apa diantara kalian!”
Rasya menghela napas lagi. Suaranya tetap tenang meski rahangnya menegang. “Gambar di foto itu memang benar. Kami memang bertemu, tapi, itu hanya kebetulan, Kyai. Kami bertemu tidak sengaja di toko buku. Setelah itu saya pulang. Demi Allah, saya tidak pernah menginap di hotel seperti yang Aisyah ceritakan pada Abi saya. Semua itu bohong!”
Kyai Basowi menggebrak meja kayu di depannya, suaranya menggema. “Kyai tidak mau dengar pembelaanmu! Kalau kamu lelaki bertanggung jawab, nikahi Aisyah. Kalau tidak, Kyai bawa kasus ini ke jalur hukum. Biar pengadilan yang memutuskan!”
Rasya mengatupkan kedua tangannya, menekan lututnya kuat-kuat. Sementara Aisyah mengangkat wajahnya, matanya sembab pura-pura, menatap Rasya seolah merayu agar luluh.
Namun Rasya hanya menatap Aisyah dingin. “Silakan, Kyai. Kalau Kyai mau bawa masalah ini ke jalur hukum, saya siap. Tapi satu hal yang pasti. Saya sudah punya istri. Status pernikahan saya sah di mata agama. Jadi tidak mungkin saya melakukan perbuatan hina itu dengan wanita lain. Kalau Aisyah betul-betul hamil, saya akan minta tes DNA. Kalau hasilnya bukan anak saya, saya tuntut balik kalian dengan kasus pencemaran nama baik.”
Aisyah terkejut, jemarinya mencubit kain rok panjangnya. Kyai Basowi mendesis. “Kamu berani menuduh anak Kyai bohong?”
“Saya tidak menuduh, Kyai. Saya minta keadilan. Saya hanya menjaga nama baik saya, istri saya, dan pesantren saya. Saya tidak akan diam kalau nama saya dijatuhkan dengan fitnah begini.”
Hening memenuhi ruangan. Ketegangan menyelimuti suasana siang itu. Rasya meremas map surat nikahnya semakin erat, menatap Kyai Basowi lurus-lurus, sama sekali tak gentar.
“Baik, Gus Rasya,” suara Kyai Basowi akhirnya terdengar pelan tapi tajam, “kalau itu maumu, Kyai tunggu hasilnya. Tapi ingat, kalau semua ini benar, kamu tak bisa lari.”
Rasya bangkit, menunduk sopan. “Saya tidak akan pernah lari, Kyai. Assalamualaikum.”
Setelah pulang dari rumah Kyai Basowi, Rasya menuju ke rumah kontrakan istrinya. Untuk saat ini, dia butuh belaian manja dari sang istri.
Rasya mampir di penjual sate kambing dan membelikan naila seporsi sate dan gulai kambing. Sesampainya di rumah, senyum di bibir lelaki itu mengembang saat mendengar istrinya tengah menghapal potongan ayat Al-Quran.
"Assalamualaikum!"
Mendengar suara suaminya, Naila langsung menghentikan hapalannya kemudian berdiri dan mencium tangan sang suami.
"Sudah dapat berapa ayat, Sayang?" goda Rasya.
Naila mencebik kesal. "Issh, jangan samakan aku dengan mereka yang pandai. Kemampuanku menghapal masih cetek. Bahkan satu ayat saja sangat sulit aku hapal dalam sehari."
Rasya tersenyum. "Tidak apa, Sayang. Yang penting, kamu ada niatan untuk menghapal. Itu sudah cukup. Lainnya, serahkan saja sama Allah."
Gus Rasya menarik tubuh sang istri ke dalam pelukannya. "KIta makan, yuk. Abi bawakan sate sama gule kambing kesukaan kamu."
Mata Naila pun berbinar mendengarnya. Dia hendak mengambil piring tapi Rasya melarangnya. "Tuan Puteri disini saja. Sekali-kali, gantian, Abi yang melayani istri."
Naila hanya bisa menahan senyum melihat tingkah sang suami yang begitu memanjakannya. Pipinya bersemu merah ketika Rasya benar-benar menyuapkan nasi ke bibirnya. Hangatnya nasi, gurihnya lauk, dan manisnya perlakuan suaminya membuat hatinya kembali tenang, meski di kepalanya masih terngiang kata-kata Ummi Amira.
“Pelan-pelan, Abi. Aku bisa makan sendiri kok,” kata Naila lirih, mencoba menahan tangan Rasya yang masih setia menyuapkan sendok demi sendok.
“Abi yang mau suapin. Biar kamu fokus sama hapalan kamu, nggak usah mikirin dapur, cucian, atau apa pun. Biar Abi yang urus semua.”
Naila tertawa pelan, jemarinya membetulkan kerah baju Rasya yang miring karena terlalu sibuk membungkuk di hadapannya. “Nggak capek, Bi? Sudah mengajar, ngurusin santri, sekarang malah repot-repot begini.”
Rasya hanya menatapnya lekat. “Capek itu kalau kamu nggak mau makan, kalau kamu sakit. Kalau kamu sehat, Abi malah semangat.”
Naila menunduk. Hatinya bergetar mendengar tutur lembut suaminya. “Abi … aku ini wanita yang nggak sempurna. Masih banyak aib masa lalu yang menempel di aku. Kamu nggak malu, kalau seandainya orang lain tahu tentang masa lalu aku?”
Rasya meraih dagu Naila, mengangkatnya pelan, hingga tatapan mata mereka bertemu. “Dengar ya, Nai. Kamu satu-satunya wanita yang Abi mau. Nggak ada yang lain. Masa lalu kamu itu udah Allah tutup. Kenapa kita harus membukanya lagi? Kalau orang mau ngomongin, biar saja. Tugas kita cuma menutup telinga, jaga hati, jaga rumah tangga kita, dan jaga Ilham.”
Naila meremas jemari Rasya. Ada air bening yang sempat menetes di sudut matanya, segera dia seka. “Tapi… kalau Ummi dan Abi kekeh menikahkan Abi dengan Aisyah-”
Belum sempat Naila melanjutkan, Rasya segera menempelkan telunjuknya ke bibir Naila. “Nggak usah bahas dia. Abi tahu apa yang harus Abi lakukan. Kamu cukup di sini, sama Ilham. Fokus ibadah, ngaji, dan hapalan.”
Naila mengangguk pelan. Rasa sesak di dadanya sedikit mereda. Dalam hatinya, dia ingin mempercayai Rasya sepenuhnya, tapi, luka di masa lalu kadang masih membisikkan keraguan kecil.
“Udah, sekarang lanjut makan ya.” Rasya meraih sendok lagi, menyuapkan potongan sate ke mulut istrinya.
Naila menatap wajah suaminya yang penuh kasih sayang itu. “Kalau Abi nggak ada, aku harus gimana? Aku takut sendirian menghadapi mereka.”
Rasya mengusap rambut Naila lembut. “Abi nggak akan kemana-mana. Abi di sini. Kalau Abi nggak bisa jagain kamu langsung, Allah pasti jagain kamu.”
Naila menggenggam tangannya erat. “Abi, makasih ya. Udah mau kembali sama aku. Padahal, aku kemari hanya ingin menitipkan Ilham saja. Tapi ...”
Rasya menggeleng kecil, menempelkan keningnya di kening Naila. “Kalau saja aku tahu, ada Rasya kecil di rahim kamu, aku tidak akan pernah menuruti keinginan Abi untuk meninggalkanmu. Meskipun, aku akan di-cap sebagai anak dur-"
Belum sempat Rasya meneruskan kalimatnya, Naila sudah melumat bibir suaminya. Dia tak ingin, sang suami benar-benar menjadi anak yang durhaka bagi kedua orang tuanya.
Rasya pun membalas ciuman sang istri tak kalah liar. Namun, belum sempat mereka meneruskan kegiatannya, suara gaduh terdengar dari luar.
"Gus Rasya! Keluar kamu!"