Bab 15

1010 Kata
"Ummi, kita ke rumah Rasya sekarang! Rasanya, Abi tidak tenang sebelum mendengar penjelasan dari anak itu!" kata Ali yang langsung diangguki oleh Amira. Saat ini, Ali sudah berdiri di ambang pintu ruang tamu rumah Rasya, napasnya masih berat. Amira berdiri di sampingnya, memeluk tas selempangnya erat-erat. Tak dapat dia pungkiri, hatinya gelisah. "Assalamualaikum!" Rasya menutup mushafnya perlahan saat mendengar ucapan salam dari sang ayah. “Waalaikumsalam. Abi, Ummi, tumben malam-malam kemari? Apa ada yang penting?" Ali yang sudah tidak sabar langsung berdiri di hadapan sang putra. "Katakan! Apa benar, kamu menghamili Aisyah?" Wajah Rasya mendadak pucat mendengar tuduhan ayahnya. Namun, meski begitu, dia berusaha untuk tetap tenang. "Silakan duduk dulu, Abi, Ummi. Kita bicarakan ini baik-baik.” Ali menatap anak sulungnya itu, kemudian menarik napas panjang sebelum menjatuhkan diri di kursi rotan panjang. Amira masih berdiri, menatap Rasya seolah ingin membelah d**a putranya untuk mencari kebenaran di dalamnya. “Jadi, kamu benar-benar tidak pernah berduaan dengan Aisyah?” tanya Amira, suaranya bergetar di ujung. Rasya menggeleng mantap. “Rasya hanya bertemu Aisyah sekali, Ummi. Itu pun di mall, kebetulan kami sama-sama belanja. Saya sama Ilham, dia sendiri. Setelah itu, saya pulang sama Ilham. Tidak ada cerita saya mengantar dia pulang. Kalau Abi tidak percaya, Ilham saksinya.” Ali menunduk. Perlahan tangannya mengusap janggutnya yang memutih. Ada rona lega di sorot matanya, seolah beban di pundaknya terangkat sebagian. “Tapi Aisyah bilang kalian menginap di hotel karena banjir,” potong Amira, suara tingginya menggantung di langit-langit rumah. “Dia tunjukkan foto kalian di mall, buktinya dia pegang!” Rasya tertawa kecil, getir, “Foto saya sama Ilham, Ummi. Lalu apa? Di mall banyak orang. Apa buktinya saya tidur sekamar dengannya? Wallahi, Rasya bersumpah demi Allah, tidak ada yang seperti itu. Rasya hanya pulang bersama Ilham.” Ali menatap istrinya. Tatapannya tegas, “Ami, sudah. Rasya tidak mungkin bohong. Kamu kenal dia.” Amira menggigit bibirnya. Ada rasa malu merayap di hatinya, meski gengsi masih menahannya untuk meminta maaf. “Lalu kenapa Aisyah sampai berani bawa tespek? Mau menjatuhkan kamu?” Rasya mengangguk pelan. Matanya menatap lurus ke arah ayahnya. “Kalau dia mau menjatuhkan Rasya, silakan. Kalau benar anak itu darah daging Rasya, Rasya akan tanggung jawab. Tapi kalau bohong, biar Allah yang membalas.” Ali bangkit. Tangannya menepuk pundak putranya pelan, menyalurkan ketegasan sekaligus kasih seorang ayah. “Baiklah. Abi percaya padamu, Nak. Kalau dia betul-betul hamil, bawa dia tes DNA. Abi akan minta Kyai Basowi menyetujuinya.” Amira masih berdiri, kedua matanya sedikit berkaca-kaca. Ada rasa tidak rela mengganjal di hatinya, melihat putranya berdiri seteguh karang membela Naila. Ia ingin protes, tapi kata-katanya patah di tenggorokan. “Ummi...” Rasya memanggil lembut. “Jangan cemas. Rasya nggak akan bikin Ummi malu. Rasya hanya ingin Ummi dan Abi terima Naila apa adanya. Dia sudah banyak berubah. Dia istri Rasya, ibu Ilham.” Amira terdiam. Perlahan, ia menunduk. “Ummi hanya ingin yang terbaik, Nak...” suaranya lirih, nyaris tak terdengar. Ali menarik tangan istrinya, menepuk punggungnya lembut. “Sudah Ami, sudah. Sekarang pulang dulu. Kita lihat, benar atau tidak tuduhan itu.” Keesokannya, Amira yang tidak bisa tidur semalaman langsung menuju ke rumah Aisyah. Wanita itu ingin mengajak Aisyah untuk periksa ke dokter. Apa memang benar, wanita itu hamil, atau hanya tipuan saja. Amira duduk di sudut ruang tamu rumah Aisyah, menatap sekeliling yang tampak rapi dan wangi. Namun tatapannya tak lepas dari sosok Ning Aisyah yang duduk manis di depannya sambil memainkan ujung jilbabnya. “Aisyah,” suara Amira pelan tapi tegas, “Ummi mau kamu ikut Ummi periksa ke dokter kandungan langganan Ummi. Dokter Wina, dia yang dulu menangani Alia.” Aisyah tersenyum kecil, anggun sekali seolah tak ada beban di wajahnya. Dia menunduk sebentar, lalu mengangkat kepalanya pelan-pelan sambil mengeluarkan sebuah map putih dari tasnya. “Ummi, tidak perlu repot-repot,” kata Aisyah, suaranya merdu, “Aisyah sudah periksa, kok. Ini hasilnya.” Dia menggeser map itu ke arah Amira. Tangan Amira yang penuh keriput meraihnya, menarik lembaran hasil USG yang masih terlihat baru. Ada nama klinik dan nama dokter tertera di pojok kanan. Amira menajamkan matanya. “Kenapa kamu nggak bilang dari kemarin? Harusnya kamu mengajak Rasya dan Ummi juga.” Aisyah merunduk, suaranya manja. “Aisyah takut Gus Rasya marah. Kan beliau masih belum tahu kalau Aisyah sedang hamil. Lagipula, Aisyah nggak mau membebani Gus Rasya dulu …” Amira mendengus pelan. Ia merasakan ada sesuatu yang ganjil. Cara Aisyah merespons terlalu tenang, tidak seperti wanita hamil yang begitu senang mengandung anak kekasihnya. Tangannya meremas kertas hasil USG, menatap Aisyah tanpa berkedip. “Kamu yakin ini hasilnya bener, Sayang?” tanyanya pelan. “Aisyah nggak mau Ummi dampingi? Kan Ummi sama Abi juga oengen tahu gimana keadaan cucu Ummi.” Aisyah tersenyum kecil, tetapi matanya berkilat sesaat, “Aisyah sudah nyaman sama dokter Aisyah sendiri, Ummi. Nggak enak kalau ganti dokter, nanti banyak pertanyaan lagi. Lagipula, Aisyah sehat kok, lihat …” Dia meraih perutnya, menepuk pelan seolah meyakinkan. “Calon cucu Ummi sehat di sini.” Amira berusaha menyembunyikan kekesalannya. Ia tahu betul gelagat Aisyah, mulutnya manis, tapi hatinya sekeras baja. Ia harus memutar cara. “Ya sudah, kalau kamu nggak mau sekarang, lain kali aja, ya? Ummi cuma pengin kamu sehat, cucu Ummi sehat. Nanti Ummi bawakan vitamin.” Aisyah mengangguk patuh. “Terima kasih, Ummi …” bibirnya melengkung tipis. Namun sorot matanya masih menusuk, seolah berkata ‘jangan ganggu permainanku’. Amira pun berdiri, merapikan kerudungnya sambil menarik napas panjang. Dalam hati, ia bertekad tidak akan membiarkan Aisyah membohongi Rasya selamanya. Kalau perlu, dia akan mendatangi dokter sendiri. “Baik, Aisyah. Kalau begitu, jaga kesehatan. Ummi pulang dulu. Assalamualaikum.” “Waalaikumsalam, Ummi…” Aisyah berdiri, membungkuk hormat mengantar Amira sampai pintu pagar. Senyumnya manis, tapi di balik punggungnya, dia mengepalkan tangan. Dia tak akan membiarkan orang tua Rasya membuyarkan rencananya. Bagaimanapun caranya, dia harus menjadi istri sah Gus Rasya — walaupun hanya atas dasar kebohongan. Sementara itu, langkah Amira semakin cepat menuju mobilnya. Dalam hati, ia berbisik lirih, “Kita lihat, Aisyah … kita lihat siapa yang bertahan di akhir.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN