"Apa?"
“Jangan tinggalkan Mas lagi. Jangan pernah.”
Air mata Naila akhirnya tumpah. Di sela isaknya, bibirnya bergetar menelan janjinya pada Ummi Amira yang menggantung di ujung lidah. Tapi sanggupkah dia berbagi?
Keesokannya, Rasya mendatangi rumah kedua orang tuanya. Malam, itu, pendopo sudah sunyi. Daat Rasya masuk ke dalam, Ali dan Amira duduk berdampingan di kursi panjang. Keduanya memang sudah menunggu kedatangan sang putra. Sorot mata keduanya tajam menatap Rasya yang baru saja mengucapkan salam.
“Duduk, Rasya,” kata Ali, suaranya berat tapi penuh penekanan.
Rasya tidak langsung duduk. Dia berdiri tegak di hadapan kedua orang tuanya dengan tangan mengepal di samping jubahnya. Sorot matanya dingin, napasnya tersengal menahan amarah yang sudah siap meledak.
“Kenapa Ummi datang ke rumah Naila?” tanyanya datar.
Amira membenarkan letak kerudungnya. “Ummi hanya bicara baik-baik. Tidak lebih. Ummi hanya ingin kamu mempertimbangkan jalan terbaik, Nak.”
“Jalan terbaik?” Rasya menahan tawa kecil, getir. “Jalan terbaik untuk siapa, Ummi? Untuk Ummi? Untuk Abi? Atau untuk orang-orang di luar sana yang tidak pernah tahu bagaimana hidupku? Bagaimana kehidupan Naila?”
Ali memotong pendek. “Rasya! Jaga bicaramu. Abi dan Ummi hanya ingin kebaikan untukmu. Untuk nama baik pesantren ini!”
Rasya menghela napas, menunduk sebentar, lalu mendongak lagi dengan tatapan yang menantang. “Baik, Abi. Kalau bicara kebaikan, izinkan aku bertanya satu hal.”
Ali mendengus. “Apa lagi?”
Rasya menatap lurus ke mata ayahnya. “Bagaimana kalau keadaan dibalik? Bagaimana kalau Kakek Jaffar dulu memaksa Abi meninggalkan Ummi hanya karena Ummi adalah anak seorang pemabuk dan penjudi? Atau memerintah Abi menikah lagi, padahal Abi tahu betul Ummi lah satu-satunya wanita yang Abi cintai? Apa Abi mau?”
Suasana mendadak sunyi. Amira menoleh ke Ali, menahan napas. Ali terdiam, matanya sekilas goyah, tapi cepat tertutup lagi oleh lapisan gengsi dan harga diri.
“Rasya, ini berbeda—”
“Berbeda? Dimana bedanya, Abi?” Rasya mendekat selangkah, nadanya naik, tapi suaranya tetap tertahan demi menjaga sopan santunnya pada kedua orang tuanya. “Abi selalu bilang, cinta Ummi lah yang menguatkan Abi sampai sekarang. Lalu kenapa cinta saya harus dipecah dua? Kenapa cinta saya tidak boleh utuh hanya untuk Naila?”
Amira berusaha menenangkan. “Nak, Ummi hanya—”
Rasya mengangkat tangan, menahan kata-kata Ummi. Senyum getir terbit di sudut bibirnya. “Ah, saya lupa … Abi kan istrinya banyak. Jadi kalau disuruh nikah lagi, pasti mau. Karena memang dalam hati Abi, Ummi tidak pernah menjadi ratu satu-satunya!"
Ali terdiam. Matanya menatap lantai, menahan gelombang marah yang mulai beradu dengan sedikit rasa malu. Tapi gengsi lebih keras menampar dadanya.
“Rasya! Jangan bawa-bawa urusan Abi dalam masalah ini,” sahut Ali pelan, tapi tajam. “Kamu itu anak kami, seharusnya kamu hormat pada orang tua. Dengarkan. Abi sudah putuskan—”
Rasya menggeleng. Senyumnya pahit, hampir seperti mengejek dirinya sendiri. “Rasya tidak peduli apapun keputusan Abi. Rasya sudah cukup berdosa meninggalkan Naila dulu. Rasya tidak akan mengulanginya. Rasya hanya akan punya satu istri, yaitu dia. Mau Abi suka atau tidak.”
Langkah Rasya mundur. Dia menatap keduanya sekali lagi — ayahnya yang diam, bundanya yang memejam menahan kecewa.
“Kalau Abi dan Ummi masih mau saya di sini sebagai putra kalian, saya mohon, hargai keputusan saya. Kalau tidak … saya akan tetap pergi bersama istri dan anak saya. Kuharap, Ummi dan Abi berkaca pada diri sendiri, kalian tentu tahu, bagaimana sakitnya memiliki anak tapi tidak bisa mengasihinya.”
Setelah kepergian Rasya, Ali dan Amira saling pandang kemudian menghela napas panjang bersamaan. "Apa kita terlalu keras padanya, Abi? Sehingga Rasya harus mengungkit apa yang kita alami dulu."
Ali mengedikkan bahunya. Namun, jauh di lubuk hatinya, dia membenarkan apa kata sang putra. "Baiklah, Ummi. Besok, kita akan menemui Kyai Basowi, kita akan membatalkan perjodohan rasya dan Aisyah.
Malam itu, pendopo Kyai Basowi diterangi lampu temaram.
Ali dan Amira duduk berseberangan dengan Kyai Basowi, salah satu ulama sepuh yang wajahnya selalu tenang, jenggot putihnya tergerai rapi. Aisyah berdiri di samping ayahnya, menunduk sopan, kedua tangannya menggenggam ujung kerudungnya erat-erat.
Ali menarik napas panjang, menatap Basowi dengan tatapan ragu tapi penuh keyakinan. “Kyai, izinkan saya dan istri mohon maaf. Mengenai niat perjodohan Rasya dengan Ning Aisyah ... sepertinya kami ingin membatalkannya. Kyai tahu sendiri, kalau Rasya sudah punya istri dan anak. Rasya belum ingin berpoligami, dan kami ... kami tidak bisa memaksanya.”
Amira mengangguk pelan di samping suaminya. “Mohon maaf sebesar-besarnya, Kyai. Kami sadar, saat ini, Rasya hanya ingin memiliki satu istri, dan itu adalah Naila ...”
Kyai Basowi menatap pasangan suami istri itu dengan tatapan teduh, tapi alisnya sedikit berkerut. “Hmm... membatalkan perjodohan sepihak bukan perkara ringan, Ali. Kabar sudah tersebar ke mana-mana. Bagaimana penjelasan kalian ke warga? Ke santri?”
Ali menunduk. Gengsi yang selama ini jadi tamengnya, kini runtuh sedikit demi sedikit. “Saya yang akan tanggung jawab menjelaskan pada semuanya, Kyai. Kami mohon, maafkan keluarga kami.”
Belum sempat Basowi menjawab, Aisyah mendongak. Tatapannya menusuk tajam ke arah Amira. Suaranya pelan, nyaris berbisik tapi jelas terdengar. “Abi... Ummi... Kyai...”
Dia merogoh tas kecil di pinggangnya. Tangannya gemetar. Perlahan dia mengangkat sesuatu, sebatang tespek putih dengan dua garis merah tipis di ujungnya.
“Kalian ... kalian tidak bisa membatal perjodohan ini. Saat ini, saya ... saya hamil anak Gus Rasya.”
Ruangan mendadak hening seketika. Nafas Amira tercekat. Tubuh Ali mematung. Kyai Basowi meremas tasbih di tangannya, suaranya parau, “Aisyah ... kamu bilang apa?”
Aisyah menelan ludah, pura-pura menunduk menahan tangis. “Saya tidak berani bohong sama Kyai ... sama Abi Ali, sama Nyai Amira ... Ini memang anak Gus Rasya. Sore itu ... sepulang kami membeli peralatan untuk Ilham mondok, hujan deras di jalan. Mobil kami mogok. Kami terpaksa menginap di hotel karena banjir ... semuanya terjadi begitu saja.”
Amira menutup mulutnya, nyaris terisak. “Ya Allah, Aisyah ...”
Ali menatap tajam ke arah Aisyah. “Kenapa kamu tidak bilang dari kemarin-kemarin? Kenapa baru sekarang?” tanya Ali penuh curiga karena dia yakin, putranya tidak mungkin berbuat hal itu.
Aisyah menggigit bibirnya. “Saya takut, Abi. Saya tidak mau dianggap sebagai w************n yang rela mengobral tubuhnya. Saya pikir, perjodohan ini akan terus berlanjut, maka dari itu, saya diam. Tapi karena kalain ingin membatalkan perjodohan ini, saya tidak bisa menyembunyikannya lagi.”
Kyai Basowi menghela napas, kepalanya menunduk berat, jenggot putihnya berguncang. “Ali... Amira... bagaimana ini? Kalau benar Aisyah hamil, Gus Rasya wajib tanggung jawab. Anak ini, cucu kalian juga.”
Ali terdiam. Dadanya panas, pikirannya berputar cepat. Di satu sisi, dia baru saja pasrah membiarkan Rasya bersama Naila. Di sisi lain, Aisyah kini hamil cucunya.
Amira menggenggam tangan Ali erat-erat di bawah meja. “Abi... gimana ini?” bisiknya, nyaris bergetar.
Ali mendesah. Suaranya serak. “Kita harus konfirmasi pada Rasya terlebih dahulu. Kita harus pastikan ... benar atau tidaknya.”
Sementara Aisyah menunduk. Dalam hatinya, bibirnya melengkung tipis. "Gus Rasya, sebentar lagi, kamu akan menjadi milikku. Dan setelah ini, akan aku buat wanita itu pergi dari hidupmu!"