Bab 13

1070 Kata
"Assalamualaikum, Mbak Naila! Besok lagi, ya!" Suara riuh ibu-ibu mulai mereda. Setelah melipat karpet yang dia gunakan sebagai alas, Naila pun menutup pintu kontrakannya. Wanita itu akhirnya bisa bernapas lega karena kegiatannya telah selesai. Namun, langkahnya terhenti saat melihat seorang wanita paruh baya berdiri di halaman rumahnya. Wajah wanita itu terlihat teduh tapi tatapannya seolah menusuk tulang. “Assalamualaikum, Ummi…” Naila berusaha menahan degup jantungnya. Tangannya gemetar di balik baju olah raganya. Amira mengangguk pelan. Bibirnya membentuk senyum tipis yang sulit ditebak maknanya. “Waalaikumsalam. Boleh Ummi masuk?” Naila membukakan pintu. Bau harum masakan tercium samar. Tangan Amira menenteng kantong besar dan satu tas kain. Ia duduk di kursi tamu, meletakkan plastik putih di atas meja. “Naila, ini Ummi bawakan lauk sedikit, serundeng daging sama sayur asem. Juga baju dan mukena baru. Pakailah. Ummi rasa, kamu cantik kalau memakainya.” Naila menunduk. Hatinya campur aduk. “Terima kasih, Ummi. Maaf telah merepotkan.” Amira menatap sekeliling kontrakan yang sederhana. Matanya tertumbuk pada kotak make up di sudut, cermin kecil berjejer, dan kertas-kertas panduan senam yang masih tercecer. Dia menarik napas pelan, menahan getir di d**a. “Kamu pintar … bisa mengurus banyak hal di sini. Ummi lihat, ibu-ibu di kampung sini senang mengikuti kursusmu. Rasya pun … dia terluhat bahagia sekali, ya?” Suaranya datar, senyum samar terbit di ujung bibirnya. Naila meremas ujung kerudungnya. “Naila hanya ingin berguna, Ummi. Kalau ada yang salah, maafkan Naila.” Amira mendekat, duduk lebih rapat ke arah Naila. Tangannya meraih jemari Naila yang dingin. “Naila, dengarkan Ummi, ya …” Naila mengangkat wajah, matanya berkaca-kaca. “Ummi tahu, kamu adalah kebahagiaan Rasya. Sejak kamu datang lagi, Rasya seperti hidup kembali. Abi memang keras, tapi bagaimanapun juga Rasya tetap anak Ummi. Ummi mau dia bahagia …” Suara Amira terdengar lembut, hampir seperti bisikan. Naila menahan napas. Tapi di balik kata-kata manis itu, jantungnya terasa diremas. “Tapi Rasya ini seorang Gus, Naila. Dia bukan lelaki biasa. Ada nama pesantren yang harus dia jaga. Ada puluhan santri yang menjadikannya teladan. Nama baiknya penting … sangat penting.” Amira menatap dalam ke mata Naila. “Itulah kenapa Ummi ingin kamu membujuk Rasya. Bukan dengan pergi … tidak, Ummi tidak mau kamu pergi. Ummi tahu Rasya akan hancur kalau kamu pergi.” Naila mengerutkan kening, matanya membesar. “Lalu … apa maksud Ummi?” Amira menarik napas panjang. Ditariknya kantong kain, lalu diletakkan di pangkuan Naila. “Ini hadiah kecil, mukena baru. Pakailah untuk kamu sholat malam …” Ia menatap tajam. Suaranya merendah, tapi nadanya tajam. “Ummi ingin, kamu bujuk Rasya … agar dia menyetujui perjodohan dengan Ning Aisyah. Dia anak yang baik, pintar, lulusan Kairo. Dia akan menutupi masa lalumu. Orang-orang tidak akan lagi mengusik masa lalumu. Rasya tetap di pesantren, Ilham tetap di pondok, kamu tetap di samping Rasya … tapi di balik tirai. Ning Aisyah di depan. Sempurna, bukan?” Deg Naila tercekat. Dadanya sesak. Tangannya gemetar memegang mukena baru itu. “Ummi mohon sama kamu … demi Rasya, demi Ilham. Demi nama baik kita semua. Kalau kamu benar-benar mencintai Rasya … bujuk dia. Ummi mohon …” Tanpa menunggu jawaban, Amira berdiri, merapikan kerudungnya. “Ummi pergi dulu. Jaga dirimu, ya. Ingat pesan Ummi.” *** Malamnya, Naila terduduk di sudut kasur tipisnya. Wanita itu memandangi mukena putih terbuat dari sutera yang ada di pangkuannya. Rasanya dingin sekali saat wanita itu menyentuhnya. Tangannya gemetar meraba sulaman di pinggir kain itu. Matanya menerawang pada kotak rias di sudut. Dia pikir, dengan membuka kelas make up gratis, senam, mengajar ibu-ibu itu bisa membuktikan pada mertuanya bahwa dia bisa berubah. Dan dia juga bisa berguna untuk masyarakat sekitar, meskipun, jalan yang dia lakukan bukan dengan dakwah seperti yang suaminya lakukan. Ya Allah, aku ingin berguna ... Tapi kenapa semua tetap salah di mata orang-orang? Dia mengusap pipinya yang basah. Bibirnya bergetar, menahan isak yang sejak tadi ia paksa diam. Kalau aku pergi, Rasya pasti hancur ... Ilham juga. Tapi ... kalau aku tetap di sini, Ummi tidak akan pernah berhenti menekanku. Dan kalau Rasya harus membagi hati ... apa aku sanggup melihatnya tidur dengan perempuan lain? Bayangan Ning Aisyah terlintas — gadis muda, cantik, lulusan Kairo. Apa aku pantas menandingi dia? Aku ini siapa? Aku bukanlah orang baik di mata Ummi dan Abi. Tangannya menutupi wajah. Sesekali bibirnya berbisik pelan, seolah bicara pada dirinya sendiri. “Ya Allah ... apa aku harus melepas dia lagi? Apa ini caraku menebus masa laluku?” Samar, terdengar suara motor berhenti di depan kontrakan. Suara kunci pintu berderit. Rasya masuk dengan kantong plastik berisi roti kesukaan Naila. Begitu melihat istrinya hanya duduk diam, matanya langsung terisi rasa khawatir. “Sayang?” panggilnya pelan, setengah berbisik. Naila hanya menoleh sekilas. Senyum paksa terbit di wajahnya, tapi matanya bengkak. “Ada apa? Apa benar tadi Ummi ke sini?” Rasya mendekat, meletakkan kantong plastik di meja. Tangannya terulur mengelus pundak Naila. Naila mengangguk. Suaranya parau. “Ummi memang tadi kesini, Mas. Beliau bawa makanan, mukena baru juga ...." Naila tak sanggup meneruskan kalimatnya. Rasya pun menarik sang istri ke dalam pelukan. Dia sudah menduga, kedatangan Ummi-nya kemari pasti membuat sang istri sakit hati. "Memangnya, Ummi tadi bilang apa? Apa beliau menyakitimu?" Naila menggelengkan kepalanya. "Ummi cuma minta aku membujukmu ... agar mau menikah lagi dengan Ning Aisyah.” Rasya terdiam. Napasnya berat. Dia pun mengurai pelukannya. “Lalu, apa yang kamu bilang padanya?” Naila menahan air matanya agar tidak pecah di d**a Rasya. “Aku belum jawab apa-apa ... Aku bingung, Mas. Kalau aku tetap di sini, aku tidak akan bisa tenang. Apalagi, kalau kamu menikah lagi ... aku ... aku nggak tahu apa aku kuat. Apa sebaiknya, aku memang harus pergi?” Suaranya pecah di akhir kalimat. Rasya menghela napas. Tangannya merapikan anak rambut Naila, mengusap pipinya dengan ibu jari. “Sayang, dengar Mas baik-baik. Rasya cuma mau kamu. Cuma kamu. Mau masa lalumu seperti apapun, Rasya nggak peduli. Allah tahu kamu berubah. Kenapa manusia harus lebih kejam dari Allah?” Naila menunduk lagi, matanya memejam rapat. Rasanya d**a Rasya jadi tempat persembunyian paling aman, tapi di sanalah juga terbit luka baru, luka jika harus rela berbagi hati. “Kalau Ummi dan Abi tetap memaksa?” Naila bertanya lirih. Rasya mendekatkan bibirnya ke kening Naila, menempelkan kecupan panjang yang menenangkan. “Biar Mas yang urus, ya? Kamu nggak usah mikir. Kamu cuma perlu satu hal…” “Apa?” bisik Naila parau.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN