Sudah hampir sepekan sejak liburan mereka di Dufan. Rasya yang makin sering pulang pergi ke kontrakan Naila membuat warga mulai menurunkan nada nyinyirnya — apalagi setelah Pak RT membenarkan status Naila sebagai istri sah Gus Rasya.
Meski begitu, Naila tetap merasa harus melakukan sesuatu. Ia ingin orang-orang di sekitar tak hanya menilai masa lalunya, tapi juga manfaat keberadaannya.
Maka siang itu, di teras kontrakannya yang sempit, Naila duduk lesehan bersama tujuh ibu-ibu tetangga. Di depannya berjejer cermin kecil, bedak tabur, pensil alis, dan lipstik dengan warna-warna lembut.
“Bunda-bunda… kita mulai, ya,” ucap Naila sambil tersenyum.
Ibu-ibu yang rata-rata pakai daster langsung semangat, saling bisik-bisik geli.
“Duh, Bu Naila… saya ini udah punya cucu tiga, apa perlu dandan-dandan begini?” goda Bu RT, wanita paruh baya bertubuh tambun yang paling bawel.
Naila tertawa kecil. “Justru itu, Bu. Biar Pak RT betah di rumah. Kan sayang kalau udah cape-cape masak, ngepel, tapi suami lihatnya ke luar. Kalau kita cantik di rumah, insya Allah, Pak RT makin sayang.”
Ibu-ibu tertawa bareng. Beberapa mulai mencoba memulas alis, meski bergetar tangannya.
“Bu Naila ini belajar dandan di mana, sih? Kok pinter banget?” tanya Bu Murni, tetangga samping kontrakan yang sering bantu Naila beres-beres.
Naila tersenyum samar. “Dulu saya pernah kerja di salon, Bu. Sambil ngajar senam juga. Tapi itu dulu… sebelum saya ketemu Gus Rasya, saya diajarin banyak hal yang lebih baik.”
Ia tak ingin menjelaskan lebih jauh — biarlah masa lalu buruknya mati di hatinya sendiri.
Setelah make up sederhana selesai, Naila berdiri sambil merapikan kerudungnya. “Nah, sekarang kita senam ringan. Tapi bukan senam biasa… ini senam Kegel.”
Beberapa ibu melongo, tak paham. “Senam apaan tuh, Bu?” tanya Bu RT, bingung.
Naila tertawa kecil, menunduk malu-malu. “Senam Kegel itu… supaya otot rahim, pinggul, sama sekitar situ tetap kenceng. Jadi kalau pas bersama Pak Suami… ya… Pak Suami makin betah.”
Ibu-ibu langsung heboh menutup mulut. Beberapa tertawa cekikikan, ada yang malu-malu.
“Kalau gitu, ajari pelan-pelan ya Bu Naila. Biar Pak RT makin nempel!” seru Bu RT, disambut riuh rendah tawa.
---
Di sela-sela gerakan senam kecil itu, beberapa ibu iseng bertanya, “Bu Naila kok pinter banget begini? Punya banyak pengalaman ya?”
Naila menatap mereka satu per satu, senyumnya tulus tapi matanya agak redup. “Iya, Bu… dulu saya belajar dari banyak tempat. Tapi sekarang, saya hanya mau berbagi yang baik-baik aja. Kita kan sama-sama istri, sama-sama ingin dicintai suami sampai tua. Iya kan, Bu?”
“Iyaaaaa!” seru para ibu kompak.
---
Dari kejauhan, Rasya berdiri di pagar, diam-diam mengamati istrinya. Hatinya hangat. Yang dulunya dicemooh, kini justru bikin kampung kecil ini hidup dengan tawa perempuan-perempuan yang lebih percaya diri.
Dalam hati Rasya berdoa, “Lihat, Abi… Ummi… Naila bukan aib. Dia berkah.
***
Keesokannya, teras kontrakan Naila mendadak ramai. Karpet tipis digelar di lantai semen, deretan cermin kecil berjejer di atas meja lipat. Bau bedak tabur dan concealer bersaing dengan aroma gorengan panas yang dibawa Bu RT untuk cemilan para peserta.
Di antara ibu-ibu yang asik belajar blending foundation dan menggambar alis, suara gelak tawa sesekali meledak. Naila, dengan sabar, mendekati satu-satu, membetulkan cara mereka memakai concealer atau merapikan hijab agar makin manis.
Di sudut, Bu RT paling bersemangat. “Ibu-ibu, ibu-ibu! Mau saya kasih testimoni?” katanya keras, membuat semua kepala menoleh. Bu RT berdiri sambil berkacak pinggang, wajahnya merona bahagia.
“Kata suami saya, tadi malam, goyangan saya makin mantap setelah senam Kegel sama Mbak Naila!” serunya, setengah menahan tawa sendiri. Ibu-ibu langsung terpingkal, menutup mulut sambil saling dorong bahu.
“Makanya, ayo, jangan gengsi. Kita harus cantik, harus lentur. Pak suami biar nggak jajan di luar. Ikut kursus gratis di tempat istri Gus Rasya. Mbak Naila ini top markotop!”
Naila tersipu malu, pipinya memerah, tapi hatinya hangat. Suara sorak sorai para ibu menggema. Berita ini pun cepat menyebar dari satu mulut ke mulut yang lain. Siang itu, yang datang bukan cuma tetangga dekat, tapi juga ibu-ibu dari RT sebelah. Bahkan ada yang sampai antri di depan pagar kecil.
---
Tapi kabar heboh ini tidak hanya berhenti di kampung kecil mereka.
Sore harinya, di pendopo utama Pesantren Al-Muyyiz, Amira , Ummi Rasya duduk bersila di samping suaminya. Di pangkuannya tergeletak ponsel yang bergetar tak henti menampilkan pesan masuk.
“Abi, lihat ini…” katanya, nada suaranya dingin. “Lihat video ini, ibu-ibu kampung pada senam goyang-goyang bareng Naila. Apa kata orang? Istri Gus Rasya bikin aurat diumbar, bikin kegaduhan!”
Abi Ali menatap layar ponsel, napasnya memburu. Tangannya mengepal. “Dia … makin kurang ajar! Padahal sudah kuberi kesempatan dia menjadi istri putraku. Sekarang malah bikin rusak kampung ini!”
Amira menimpali, “Abi harus ambil tindakan. Kalau dia makin punya pengaruh, Rasya akan makin susah dilepas dari dia.”
Abi Ali berdiri, meraih sorban di bahu. “Aku mau bicara sama Pak RT sekarang juga. Kegiatan itu, harus dibubarkan!”
---
Sesampainya di rumah Pak RT, lelaki berambut putih itu sedang duduk di teras sambil menyesap kopi panas ketika Abi Ali, diiringi dua santri pendamping, mengetuk pagar.
“Assalamualaikum, Pak RT.”
Pak RT terkejut, buru-buru berdiri. “Waalaikumsalam, Ustad. Silakan masuk. Ada gerangan apa Ustad datang kemari? Ustad tinggal bilang saja, nanti saya yang akan datang ke pendopo, Ustad tidak perlu repot-repot kesini.
Abi Ali duduk tanpa basa-basi. Suaranya tegas, dingin. “Pak RT, saya mau minta tolong. Hentikan kegiatan istri Gus Rasya itu. Membuat keributan, membuat perempuan kampung ini jadi bahan gunjingan. Ini tidak baik untuk nama pesantren.”
Pak RT terdiam sejenak, menatap wajah Abi Ali lalu menghela napas. Ia menaruh cangkir kopinya di meja kayu.
“Maaf, Ustad … saya justru nggak melihat ini sebagai masalah. Wong istri saya sekarang jadi makin cantik. Senam Kegel sama Mbak Naila, katanya, bikin saya makin betah di rumah. Malah bagus, bikin bapak-bapak nggak keluyuran malam.”
Abi Ali mengernyit. “Pak RT … ini bukan soal istri Anda. Ini soal syariat! Dia memamerkan tubuh, mengajarkan hal yang tidak pantas!”
Pak RT tertawa kecil, tapi senyumnya tegas. “Lah, Ustad … yang diajari kan senam untuk kesehatan, belajr make up, juga bikin istri saya makin percaya diri. Mbak Naila ngajarin cara nutup aurat, bukan buka aurat. Wong saya lihat sendiri, semuanya rapat, nggak ada joget aneh-aneh. Jadi, maaf … saya nggak bisa bubarkan.”
Abi Ali menatap tajam, giginya bergemeletuk. Pak RT tetap tenang, menambahkan, “Malah Ustad harus bangga. Istri Gus Rasya bikin ibu-ibu kampung sibuk, nggak punya waktu bergosip, nggak punya waktu ngomongin masa lalu orang. Kan bagus?”
Abi Ali berdiri, jubahnya berkibar. “Pak RT, kalau Anda tidak bisa menertibkan warga Anda, saya sendiri yang akan turun tangan!”