Bab 11

1105 Kata
“Mas…” panggilnya pelan. Rasya menoleh, senyum hangatnya langsung tercetak. “Iya, Sayang? Sudah selesai ngajinya?” tanyanya, sambil merapikan letak peci yang sedari tadi bertengger miring di kepalanya. Naila mendekat, menata duduknya persis di samping Rasya. Tangannya memainkan ujung kerudungnya dengan gugup. “Mas… aku mau ngomong sesuatu…” Rasya menatap wajah sang istri, mencondongkan tubuhnya, jemarinya terulur mengusap punggung tangan Naila. “Ngomong apa, sayang? Kenapa wajahnya serius banget?” Naila menunduk. Hatinya masih kerap digelayuti rasa rendah diri, tapi di sisi lain, ada dorongan kecil di dadanya. Dia ingin berguna bagi masyarakat sekitar sini. Tidak hanya untuk Rasya atau Ilham saja. “Aku mikir, Mas…” katanya pelan. “Kalau cuma diem di rumah, nunggu Ilham pulang pondok, rasanya … bosen. Aku kepikiran mau buka kelas make up kecil, sama ngajarin senam ringan buat ibu-ibu di sekitar sini. Gratis, Mas. Aku cuma mau mereka senang. Aku punya kegiatan, biar nggak jenuh di rumah.” Rasya terdiam. Namun, matanya menatap sang istri tanpa ragu sedikit pun. Lelaki itu kemudian tersenyum tipis. Namun, sebelum dia membuka mulutnya, Naila kembali bersuara. “Kalau Mas nggak setuju, nggak apa-apa … Aku cuma—” Belum sempat Naila merampungkan kalimatnya, Rasya sudah menarik tangan sang istri, lalu menggenggamnya erat. Bibirnya mengembang dengan senyum bangga. “Kenapa nggak dari dulu kamu kepikiran seperti itu, Nai?” gumam Rasya lembut. “Kamu itu kan hebat. Ilmu make up kamu bagus, kamu ngerti cara bikin orang percaya diri. Terus senam? Itu kan bagus buat kesehatan ibu-ibu sini. Aku malah seneng, kamu mau manfaatin waktumu buat hal berguna.” Naila mengerjap, matanya berkaca-kaca mendengar pujian Rasya. “Tapi, Mas … kan orang-orang masih suka ngomongin aku …” Rasya mengusap pipi istrinya pelan. “Justru itu, Nai. Biar mereka lihat. Seandainya masa lalu kamu terbongkar, kamu tidak perlu lagi merasa rendah diri. Karena kamu sekarang sudah berubah. Kamu wanita yang bisa membawa kebaikan untuk semua orang. Nantinya, semua omongan buruk tentang kamu akan hilang dengan sendirinya.” Naila terisak kecil, rasa sesak di dadanya perlahan mencair jadi hangat. Rasya memang selalu jadi rumah ternyaman untuknya. “Tapi, satu syarat,” sambung Rasya sambil mengusap ujung hidung Naila iseng. “Apa?” tanya Naila, bingung. “Sebelum kamu mengajarkan senam untuk ibu-ibu, lebih baik, kamu praktekkan dulu manfaat senam itu pada suami kamu. Berkhasiat, nggak?" Rasya menaik turunkan alisnya. "Ihh, Mas ini. Bawaannya m***m aja!" Rasya pun menggendong istrinya ke dalam kamar tanpa peduli dengan protes sang istri. "Nah, sekarang, kamu prektekkin tuh, gimana caranya bikin suami seneng!" Naila pun tersenyum malu-malu. Meski dia adalah mantan wanita malam, Rasya tak pernah memperlakukan dia dengan buruk. Lelaki itu justru begitu menghargai dan menyayanginya dengan tulus. Naila pun akhirnya menanggalkan satu per satu pakaiannya hingga membuat Rasya meneguk ludahnya. Dan pagi itu, Rasya dan Naila untuk pertama kalinya mengarungi indahnya surga dunia setelah mereka bertemu kembali. Setelah menyelesaikan pergulatan panasnya, Rasya memeluk tubuh istrinya yang penuh dengan keringat. "Besok, kamu izin sama Pak RT dulu. Biar beliau nggak kaget lihat teras kontrakan kita rame ibu-ibu. Nanti kalau Pak RT setuju, Abi bantu cariin karpet sama cermin kecil biar belajar make up-nya enak.” Naila tertawa kecil di sela air mata haru. “Terima kasih, Mas.” Rasya meraih ubun-ubun Naila, mengecupnya lembut. “Aku yang terima kasih. Karena kamu mau jadi cahaya di tempat gelap ini.” *** Keesokannya, selepas Rasya berangkat ke pesantren untuk mengajar, Naila memberanikan diri berjalan kaki menuju rumah Pak RT yang hanya berjarak tiga gang dari kontrakannya. Di tangan kirinya, ia membawa sekotak bolu pandan buatannya sendiri. Sedikit cara untuk berbasa-basi, malu jika datang berkunjung dengan tangan kosong. Jantung Naila berdetak kencang ketika dia sudah berada di depan rumah Pak RT. Dari depan pagar, Naila bisa mendengar suara Bu RT tertawa cekikikan bersama dua tetangga yang sedang menjemur pakaian. Naila menarik napas panjang, lalu mengetuk pagar perlahan. “Permisi, Pak RT … Bu RT …” Dari dalam, suara Pak RT terdengar duluan. “Oh, Bu Naila. Sini, sini, masuk.” Lelaki berkumis itu berdiri di teras, memakai peci putih dan sarung batik. Naila menunduk sopan. “Pak RT, saya mau sedikit bicara, kalau tidak merepotkan.” Bu RT yang sedari tadi memandang nyinyir Naila langsung tersenyum lebar saat melihat kotak kue yang dibawa oleh Naila. “Ayo, Bu Naila, masuk dulu. Bawa kue ya? Wah, rezeki, Pak, pagi-pagi udah ada bolu pandan!” Mereka duduk di ruang tamu. Naila meletakkan kotak bolu di meja, tangannya masih gemetar. Pak RT membuka pembicaraan. “Ada apa, Bu Naila? Suaminya baik-baik saja?” Naila tersenyum kikuk. “Alhamdulillah, Pak. Gus Rasya titip salam untuk Pak RT dan Bu RT.” Pak RT mengangguk, menatap bolu di depannya lalu menatap Naila lagi. “Terus, ada perlu apa?” Naila meremas jemari di pangkuannya. “Sebenarnya, saya mau minta izin, Pak RT … Saya berniat buka kelas make up kecil-kecilan di teras kontrakan. Gratis, khusus untuk ibu-ibu di kampung kita. Sama saya mau ajarin senam ringan juga. Supaya ibu-ibu punya kegiatan positif.” Pak RT mendengus pelan, wajahnya agak kaku. “Bu Naila, saya paham niatnya baik. Tapi Bu Naila juga tahu kan, disini ini warganya masih kolot semua. Tidak mungkin suka dengan hal yang begituan. Tidak seperti Bu Naila yang orang kota.” Pipi Naila memerah menahan malu, tapi ia buru-buru merunduk. “Saya paham, Pak. Saya hanya ingin membantu saja. Jika memang, ibu-ibu disini tidak berkenan, ya tidak apa.” Pak RT hendak menjawab, tapi Bu RT yang sedari tadi diam malah menepuk bahu suaminya. “Pak, sudahlah. Bu Naila niatnya bagus kok. Wong gratis. Ibu-ibu sini banyak yang pengen belajar dandan, saya juga. Dari dulu saya pengen bisa bikin alis sama pasang bulu mata sendiri.” Pak RT menatap istrinya, mendecak. “Lha, Bu, ini bukan perkara bulu mata doang. Kalau ada fitnah, nama Pak RT juga kebawa.” Bu RT malah mendorong bolu pandan ke arah suaminya. “Ya nggak apa-apa, Pak. Justru kalau Bu Naila bikin kegiatan begini, tetangga-tetangga jadi sibuk, nggak sempat gosip. Lagian kalau saya bisa dandan, Bapak juga seneng kan? Heh?” Pak RT terdiam. Dia memandangi bolu pandan, lalu mendesah panjang. Akhirnya, ia menatap Naila. “Ya sudah, Bu Naila. Kalau Bu RT setuju, saya juga nggak bisa apa-apa. Tapi tolong jaga ketertiban. Jangan sampai bikin jalanan macet. Paham ya?” Naila mengangguk cepat, matanya berkaca-kaca karena lega. “Makasih banyak, Pak RT, Bu RT. Insya Allah saya akan jaga semuanya baik-baik.” Bu RT meraih tangan Naila sambil tersenyum jahil. “Besok saya ada di kursi depan ya, Bu Naila. Ajari saya bikin alis dulu. Kalau bisa sekalian lipstik anti luntur.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN