“Bunda, Ilham berangkat ya,” kata bocah itu sambil merapikan tali tas ranselnya yang sedikit miring. Ada sesak di dadanya saat akan meninggalkan wanita yang paling dia cintai ini.
Naila meraih pipi Ilham, mengecup keningnya lama. “Hati-hati di pondok ya, Nak. Dengerin kata Abi, dengerin ustaz-ustaz di sana. Jangan bandel.”
Ilham mengangguk cepat. Tangannya melambai, memamerkan senyum sumringah. “Nanti Ilham pulang lagi, Bun. Bunda jangan sedih ya?”
Naila hanya mengangguk, memaksa senyum padahal matanya terasa panas. Di belakang mereka, Rasya berdiri dengan tasbih di tangan. Matanya penuh kebanggaan, pada putra yang begitu mirip dengannya itu.
“Sudah, ayo berangkat, Nak. Abi antar ke asrama.” Rasya menepuk bahu putranya. Ilham pun berlari kecil ke arah motor yang terparkir di depan kontrakan.
Saat Ilham pergi, Naila masih berdiri di teras, memeluk kedua lengannya sendiri. Rumah kontrakan itu tiba-tiba terasa lebih sepi dan sunyi.
---
Sore harinya, Rasya kembali, menenteng kantong berisi belanjaan. Di dalam rumah, Naila tampak sedang melipat mukena, matanya masih sembab.
“Bunda sedih?” tanya Rasya pelan sambil meletakkan kantong belanja di atas meja.
Naila mendongak, berusaha tertawa. “Gimana nggak sedih, Mas. Aku nggak pernah jauh dari Ilham sedikitpun.”
Rasya menarik kursi, duduk di depannya. Jemarinya meraih tangan Naila, menggenggam erat. “Kenapa kamu nggak tinggal di rumah aku aja?”
Naila hanya menggeleng, menunduk menatap sambungan ubin lantai. “Nggak, Mas. Aku belum siap. Kita pelan-pelan dulu.”
Rasya menghela napas, menatapnya penuh sayang. “Baiklah. Kalau begitu aku sering nginep sini aja. Temenin kamu. Aku bisa tidur di kamar Ilham. Tapi … kalau kamu ingin tidur sambil dipeluk suami, aku nggak akan nolak.”
Naila mencubit pelan punggung tangannya. “Jangan mulai deh, Mas. Tidur di kamar Ilham aja dulu.”
Rasya terkekeh, lalu menarik istrinya ke dalam pelukan. "Kamu adalah duniaku, Nai. Aku nggak akan pernah lepasin kamu lagi, apapun alasannya."
Setelah makan malam sederhana tapi sangat nikmat itu, Rasya mengajak Naila berjalan ke rumah Pak RT. Sebelumnya, dia sudah menemui pemuka agama yang dulu menikahkan mereka untuk meminta surat keterangan.
Sesampainya di rumah pak RT, pintu terbuka setelah Rasya mengetuknya perlahan.
“Gus Rasya … Naila. Ada apa malam-malam begini?”
Rasya merogoh map bening dari tas selempangnya. Disodorkannya selembar kertas putih ke Pak RT. “Ini Pak, surat keterangan nikah saya sama Naila. Kami dulu nikah di masjid di kota K, ini salinan suratnya. Mohon disimpan di arsip RT, supaya kalau ada yang ngomong aneh-aneh, Bapak bisa bantu meluruskan.”
Pak RT menerima kertas itu, menatap tulisan tangan di atasnya. Matanya bergerak pelan membaca nama Rasya dan Naila, lengkap dengan tanda tangan saksi. “Alhamdulillah … kalau begini, kan tenang. Biar warga nggak banyak menebarkan gosip. Tapi … maaf sebelumnya ya, Gus… kenapa nggak tinggal bareng aja? Kenapa Naila di kontrakan sini?”
Rasya menarik napas, menatap Naila sekilas. “Ada alasan pribadi, Pak. Yang penting, dia istri saya. Kalau ada apa-apa, Bapak jangan ragu kabari saya.”
Pak RT mengangguk, senyumnya tulus meski jelas rasa ingin tahunya menumpuk di kepala. “Baiklah, Gus. Amanah dari Gus Rasya, saya pegang. Kalau ada warga macam-macam, biar saya yang hadapi.”
Rasya berdiri, menepuk bahu Pak RT. “Terima kasih, Pak. Saya nggak mau ada gosip sampai Naila dipandang jelek.”
Begitu keluar dari rumah Pak RT, Rasya menoleh ke arah Naila yang berdiri di sampingnya, masih menunduk.
“Sekarang, tak ada lagi yang akan mengganggu kehidupan kita."
Naila hanya menghela napas, menatap Rasya lama. “Makasih, Mas.”
***
Seminggu berada di pesantren membuat Ilham merindukan ibunya. Bocah kecil itu bahkan sampai menangis karena saking rindunya sama Naila. Rasya pun akhirnya meminta izin pada kepala kamar agar Ilham bisa keluar sejenak menemui ibunya.
Setelah mendapat izin, Rasya pun membawa Ilham keluar dan mengajaknya pergi berlibur bersama.
“Bunda, siap?” Rasya tersenyum di depan pintu kontrakan sambil menggendong tas ransel berisi bekal dan minuman.
Ilham sudah meloncat-loncat di sampingnya, memakai topi biru kebesaran milik Rasya.
Naila yang baru keluar dari kamar menunduk malu. “Mas … aku beneran harus ikut?”
Rasya mendekat, merapikan hijab Naila yang sedikit miring. “Iya, sayang. Ini liburan pertama keluarga kecil kita. Jangan bikin Abi sedih dong.”
Naila tertawa kecil, pipinya merona. Rasya terus saja memanggil dirinya sayang, membuat jantungnya bergetar setiap kali mendengarnya.
---
Perjalanan ke Dufan penuh canda tawa. Rasya menyetir sendiri, Ilham di kursi belakang sibuk bernyanyi-nyanyi lagu islami yang baru ia hafal. Sepanjang perjalanan, Rasya menggenggam tangan Naila sesekali menciuminya.
“Mas… pegang stir yang bener, aku takut …” bisik Naila pelan.
Rasya malah tertawa. “Aku pegang dua-duanya, hati-hati, Bunda. Yang satu stir, yang satu hati Bunda.”
Naila mencubit pelan lengannya, membuat Ilham tergelak. “Abi gombal!” teriak bocah itu.
“Abi kan lagi bahagia!” balas Rasya cepat, sambil melirik Naila penuh makna.
---
Di Dufan, Ilham nyaris tak bisa diam. Rasya memegangi pundaknya erat setiap melewati kerumunan. Sementara Naila hanya berjalan di sisi Rasya, tak bisa menjauh karena lelaki itu terus saja menggenggam tangannya.
"Mas, lepasin. Aku bisa jalan sendiri!"
“Mas takut kamu hilang, Mas bisa gila kalau sampai itu terjadi,” bisik Rasya di telinga Naila.
Naila merona lagi. Rasya, dengan suara lembutnya, selalu berhasil merobohkan tembok hati yang susah payah ia bangun.
Ilham merengek minta naik Bianglala. Rasya menggendong Ilham sambil menggandeng tangan Naila. “Ayo naik. Kita lihat laut dari atas. Biar Bunda nggak takut ketinggian.”
Di dalam kabin Bianglala, Rasya merangkul pundak Naila pelan. Ilham menempel di pangkuannya sambil menunjuk laut biru di kejauhan.
“Bagus, ya, Bun…” gumam Ilham.
Naila hanya mengangguk, menahan degup jantungnya yang menggila sedari tadi.
Rasya menoleh, menatapnya lekat.
“Terima kasih mau ikut, Nai … Aku cuma mau Bunda dan Ilham bahagia. Nggak perlu mikir apa kata orang.”
Naila menunduk. “Kalau begini terus, aku takut terbiasa, Mas …”
Rasya menghela napas, meraih jemari Naila. “Aku mau kamu terbiasa, Nai. Kamu, dan Ilham … kalian adalah rumahku.”
---
Keluar dari Bianglala, Rasya membelikan Ilham es krim. Naila memprotes, “Mas, Ilham itu gampang batuk, jangan diberi es—”
Rasya meraih cup es krim dari tangan Ilham, menyuapkan ke mulut Naila. “Bunda dulu. Biar Abi lihat, Bunda batuk apa nggak.”
Naila mau tak mau membuka mulut, membuat Ilham cekikikan. “Abi jahil!”
Rasya hanya menatap Naila. "Tuh lihat, Bunda nggak batuk, berarti aman untuk Ilham."
Naila hanya bisa memutar bola matanya malas. Namun, melihat wajah bahagia putranya, membuat Naila tak ingin merusaknya. "Biarlah sesekali dia makan es krim."
Sore hari, mereka pulang setelah membeli banyak sekali kaos untuk Ilham dan juga teman sekamarnya.
"Sini, biar aku yang bawa!" kata Rasya sambil menyambar paper bag yang akan dibawa oleh Naila.
"Biar aku bantuin, Mas."
Rasya menggelengkan kepalanya. "Bunda cukup bawa hati Abi saja."
Naila kembali tersenyum dan memberikan semua bawaannya pada Rasya. Wanita itu bergelayut manja di lengan Rasya sambil menggandeng Ilham.
"Mas, bisakah kita seperti ini selamanya?"