“Bunda! Bundaaa! Lihat, aku punya tas baru!” serunya riang, membuat Naila yang saat itu tengah menghapal surat Al Baqarah terpaksa menutup mushafnya.
Rasya muncul di belakang bocah itu, menenteng beberapa kantong kertas berwarna pastel.
“Masya Allah, beli berapa banyak ini?” tanya Naila setengah protes, matanya membidik kantong belanjaan di tangan Rasya.
Ilham langsung memamerkan tasnya di hadapan ibunya. “Tadi Ilham juga ketemu Tante cantik, Bun! Namanya Ning Aisyah. Baik banget, bantu Ilham pilih buku gambar.”
Naila sontak menatap tajam ke arah Rasya, seolah Ilham baru saja menjatuhkan bom di hadapannya. “Ning Aisyah?” ulangnya, nada suaranya pelan tapi penuh penekanan.
Rasya mengusap tengkuknya, salah tingkah. “Sayang, dengarin Mas dulu—”
Belum sempat Rasya menjelaskan, Naila sudah menatapnya tajam, kedua alisnya bertaut rapat. “Kamu sengaja janjian sama wanita lain, Mas?” tuduhnya tanpa basa-basi.
“Sayang …” Rasya mendekat, meletakkan kantong belanjaan di atas meja kecil. “Bukan begitu, sumpah demi Allah. Tadi itu cuma kebetulan banget. Aku lagi bayar di kasir, dia tiba-tiba nyapa dari belakang.”
Naila mendengus pelan. “Iya, kebetulan. Kebetulan banget. Dunia ini sempit, ya, Gus Rasya.”
Ilham menatap ayah ibunya bergantian, wajahnya bingung. “Bunda marah, ya? Apa Ilham salah cerita?”
Rasya meraih kepala Ilham, mengacak rambutnya lembut. “Enggak, Nak. Kamu nggak salah apa-apa. Bunda aja yang lagi ngambek sama Abi.”
“Aku nggak marah!” sergah Naila cepat, membuat Rasya nyengir kecil.
Tanpa bicara, Rasya mengambil dua kantong belanjaan, menariknya mendekat ke pangkuan Naila. “Udah, daripada marah terus, lihat dulu nih. Abi beliin ini buat kamu.”
Naila melirik kantong itu, menarik ujung pita kertasnya. Di dalamnya, lipatan gamis pastel lembut, jilbab motif polos, sampai cardigan hangat berwarna nude. Semuanya tampak cantik dan rapi.
“Apa ini?” gumam Naila pelan.
Rasya duduk di depannya, menahan senyum. “Baju baru. Ganti semua baju kamu, Sayang. Istri Gus Rasya harus cantik, modis, dan bikin Abi Ali sama Ummi nggak bisa nyinyir lagi.”
Naila menatapnya, mulutnya setengah terbuka. “Kamu nyogok aku, Mas? Karena ketahuan ketemuan sama wanita lain?”
Rasya terkekeh, meraih ujung kerudung Naila lalu membetulkan posisinya di kepala sang istri. “Sayang, aku nggak ada niat nyogok kamu. Dari awal, aku memang berniat mengganti semua bajimu dengan baju baru. Masa iya, istri Gus Rasya yang cantik ini, bajunya kucel. Abi harap, tak akan ada lagi yang merendahkan kamu saat kamu berjalan di sisi Abi."
Naila memalingkan wajah, pura-pura menatap Ilham yang tiba-tiba saja sudah tertidur di ruang tamu sambil memeluk tas barunya erat-erat. “Aku masih nggak yakin, Mas …”
Rasya mendekat, suaranya merendah. “Kalau kamu nggak yakin sama orang lain, nggak apa-apa. Tapi tolong, yakin sama aku. Sama cinta kita. Kamu adalah hidupku, Nai. Semenjak aku meninggalkanmu, hidupku terasa hampa. Maafkan aku, yang tidak bisa tegas pada Abi saat itu, hingga harus pergi darimu tanpa kata."
Naila mengusap rambut suaminya yang kini berbaring di pangkuannya. "Apa Mas benar-benar menyesal? Apa Mas mau berkorban untukku jika suatu saat, Abi Ali menyuruh Mas memilih antara aku, atau Abi?"
Rasya menghela napas panjang. Lelaki itu kemudian bangkit dab memegang kepala sang istri. "Apapun yang terjadi, mulai saat ini, aku akan selalu ada di sisimu, Nai."
***
Di pendopo utama, Ali duduk di kursi kayu panjang, punggungnya bersandar, jemari kurusnya meraba-raba ujung tasbih yang sudah puluhan tahun menemaninya berdzikir.
Di depannya, Amira duduk bersila di atas permadani, wajahnya masam, sorot matanya tajam. Sesekali tangannya membetulkan letak kerudungnya yang sedikit miring.
“Abi…” panggil Amira pelan, memecah keheningan. “Gimana ini, Abi? Rasya tetap keras kepala. Dia terus ke kontrakan itu. Ummi tadi lihat dengan mata kepala Ummi sendiri, dia bawa makanan, dia cium kepala Naila seolah dia nggak peduli sama omongan orang.”
Ali menghela napas berat, tangannya meraih cangkir teh yang sudah dingin di sampingnya. Ia menatap sang istri, matanya redup tapi ada bara kecil yang perlahan menyala. “Rasya itu anak yang keras kepala. Kalau sudah mencintai, dia akan membela mati-matian. Persis seperti aku dulu.”
Amira mendengus pelan, seulas senyum sinis menghiasi bibirnya. “Tapi Abi dulu nggak sebodoh Rasya. Abi tetap bisa bedain mana perempuan yang bener mana perempuan yang bisa bikin nama keluarga kita rusak.”
Ali terdiam, jemarinya mengetuk bibir cangkir. Di kepalanya, potongan wajah Rasya terus berkelebat. Anak itu adalah kebanggaannya. Anak yang paling pandai diantara ketiga saudaranya. Ali berharap, Rasya bisa menjadi penerus pesantren.
“Abi, gimana caranya misahin Naila dan Rasya tanpa melibatkan Ilham? Ummi suka sama Ilham, dia itu satu-satunya cucu laki-laki Abi yang paling Abi harapkan. Tapi Ummi nggak suka sama ibunya.”
Ali menunduk, tasbihnya terkulai di pangkuan. Matanya memejam sesaat, seolah sedang menimbang ribuan kemungkinan yang berkecamuk di kepalanya. Perlahan, jemarinya mengetuk-ngetuk permukaan kursi.
“Tenang, Ami. Abi juga nggak mau nyakitin Rasya. Dia anak kita. Tapi kalau diteruskan, ini bisa jadi aib besar. Kita harus hati-hati,” gumamnya pelan.
Amira menegakkan tubuhnya, wajahnya menegang. “Abi punya cara?”
Ali membuka mata. Ada kilat keyakinan di sana. Bibirnya tertarik membentuk senyum tipis. “Kita tunggu Ilham mondok dulu. Begitu Ilham tinggal di pesantren, dia di bawah tanggung jawab Abi. Rasya akan sibuk dengan santri, pengajian, jadwal ceramah. Naila? Biarkan dia sendirian di kontrakan. Lama-lama dia akan capek sendiri. Dia akan pergi dengan sukarela.”
Amira mendekat, lututnya merapat ke kaki Ali. “Tapi kalau dia nggak pergi, Abi?”
Ali mengusap janggutnya, tawanya kecil, pahit. “Kalau dia nggak pergi, kita punya cara lain. Kita buat orang-orang percaya bahwa dia bukan istri sah Rasya. Kita sebarkan gosip kalau dia adalah wanita malam. Warga pasti akan mengusirnya Rasya tidak akan berpikir jika itu ulah kita.”
Amira terdiam, matanya berkaca-kaca. “Ami percaya sama Abi. Ami nggak mau keluarga ini jatuh cuma karena satu perempuan dengan masa lalu yang kelam.”
Ali menepuk tangan istrinya. “Tenang, Ami. Ilham tetap akan kita jaga. Cucu kita akan tumbuh di sini, di pesantren ini, di rumah kita. Dia yang akan nerusin nama keluarga ini, tapi bukan Naila yang menjadi ibunya.”