“Gus Rasya!”
Ilham yang tadinya sibuk mengintip tas barunya pun menoleh. Rasya menegakkan tubuhnya perlahan, memutar badannya. Sosok Ning Aisyah berdiri di sana mengenakan gamis biru langit dan jilbab senada. Tangan kanannya memegang tas belanja kertas bermerek, senyum manis mengembang di wajah putih bersihnya.
“Assalamualaikum, Ning,” sapa Rasya cepat-cepat, menangkupkan telapak tangannya di d**a, mencoba menjaga sopan santun di tengah rasa kikuk yang tiba-tiba menghantam.
“Waalaikumsalam, Gus.” Mata Aisyah bergerak cepat, menatap Ilham di samping Rasya. Pandangannya jelas terpaku pada wajah bocah kecil yang berdiri setengah bersembunyi di balik tubuh ayahnya. Dahi Aisyah berkerut samar. “Sama siapa, Gus? Ke mall bawa anak kecil … ponakan ya?”
Rasya menelan ludah. Ilham menatapnya bingung. Rasya menghela napas, tangannya terulur ke punggung putranya, menepuk pelan seolah menenangkan.
“Dia…” Rasya menoleh pada Ilham, lalu kembali pada Aisyah. “Dia putraku, Ning.”
Mata Ning Aisyah membulat. Senyum tipis di bibirnya sedikit surut, tapi ia cepat menguasai ekspresinya. “Putra Gus?” tanyanya pelan, nada suaranya berusaha tetap datar meski sorot matanya jelas menyimpan banyak tanya. “Saya… saya baru tahu, Gus sudah punya anak.”
Ilham menatap Aisyah polos. “Abi, siapa ini?” bisik Ilham pelan sambil menarik lengan ayahnya.
Rasya membungkuk, menepuk pundak Ilham. “Ini Ning Aisyah. Teman Abi.”
Aisyah tersenyum pada Ilham, menurunkan tubuhnya sedikit agar sejajar dengan tinggi bocah itu. “Namanya siapa, Nak?”
“Ilham,” jawab Ilham cepat. “Aku mau mondok di pesantren Abi!”
Mata Aisyah menoleh pada Rasya, senyum di bibirnya sedikit kaku. “Mondok di pesantren? Pesantren Abi Ali?”
Rasya mengangguk singkat. “Iya. Bulan depan Ilham mulai mondok.”
Sejenak hening. Rasya tak menyukai situasi ini. Dia takut jika nantinya Ilham bercerita pada Naila kalau dia bertemu dengan Ning Aisyah, maka istrinya itu akan marah dan cemburu.
Rasya memperhatikan Ning Aisyah dari ujung kepala hingga ujung kaki. Wanita yang dipilihkan oleh orang tuanya ini memang sangat cantik. Namun, meski demikian, dia tidak merasakan getaran apapun pada Naila.
Aisyah berdiri tegak lagi, menata nada suaranya tetap tenang. “Saya ikut senang kalau Gus Rasya bahagia. Kalau … saya nggak mengganggu belanja kalian, boleh saya ikut? Saya juga mau beli buku buat ponakan.”
Rasya hendak menjawab, tapi Ilham lebih dulu menatap Aisyah polos. “Ayo aja, Tante. Abi mau beliin aku buku gambar!”
Rasya menatap Ilham, menghela napas tipis. Aisyah hanya tertawa pelan, menatap Rasya seolah membaca isi pikirannya.
“Tenang, Gus. Saya cuma nemenin Ilham cari buku. Biar sekalian kenalan.”
Suasana toko buku di lantai dua mall itu tak begitu ramai. Ilham tampak bersemangat memilih rak buku yang penuh dengan buku mewarnai, buku Iqro’ bergambar, sampai pensil warna aneka merek. Di sampingnya, Rasya membetulkan pecinya yang miring, sambil sesekali mencuri pandang ke arah Ning Aisyah yang berdiri tak jauh darinya, menatap rak buku anak-anak sambil berpura-pura memilih.
Sebenarnya Rasya ingin cepat-cepat pulang. Ada yang terasa sesak di dadanya melihat Aisyah berdiri di samping Ilham, yang seharusnya hanya Naila yang mendampinginya.
“Abi … aku mau yang ini …” Ilham mengangkat buku bergambar Ka’bah. Senyum kecilnya sumringah.
Rasya mengangguk, meraih buku itu. “Bagus. Nanti kalau di pondok, Ilham harus rajin baca ini ya, biar cepat bisa jadi imam besar.”
Ilham tertawa kecil, memperlihatkan gigi depannya yang ompong sebelah. “Iya, Abi.”
Ning Aisyah mendekat. Wangi parfum mawar samar tercium saat ia berdiri di sisi Rasya. Tangannya menunjuk buku mewarnai di rak atas. “Kalau ini juga bagus, Gus. Anak-anak biasanya senang mewarnai gambar masjid dan huruf hijaiyah.”
Ilham menatap Aisyah, mengangguk sopan. “Makasih Tante …”
Aisyah tersenyum, matanya sempat menatap Rasya, seolah bicara tanpa suara. Lihat kan? Aku bisa akrab sama anakmu.
Rasya terbatuk kecil, meraih buku itu juga. “Baiklah, kita ambil juga.”
Tak lama kemudian, Ilham sibuk melihat-lihat kotak pensil di rak lain. Rasya berjalan sedikit menjauh untuk membayar buku-buku itu ke kasir, sementara Ilham tetap berdiri dekat Aisyah. Melihat kesempatan, Ilham mengeluarkan ponsel kecilnya, hadiah dari Rasya beberapa waktu lalu. Kemudian menekan tombol panggil.
“Tuuut… tuuut… Halo Bunda…” gumam Ilham, suaranya pelan tapi cukup jelas untuk terdengar Aisyah.
Aisyah menunduk, menatap Ilham. “Kamu nelpon siapa, Ilham?”
Ilham menoleh, senyum polos. “Nelpon Bunda. Biar nanti Bunda masak mie goreng sama telur ceplok.”
Aisyah membeku sesaat, senyum di wajahnya menipis. Ia berjongkok, sejajar dengan Ilham. “Bunda? Ibumu tinggal di mana?”
Ilham tanpa ragu menjawab, “Di dekat pondok Abi. Bunda nggak mau tinggal sama Abi, soalnya Bunda suka ngaji. Bunda juga lagi mau hafalin Qur’an.”
Aisyah menelan ludah. Tangannya mengusap pelan rambut Ilham, mencoba menutupi gelisah di wajahnya dengan senyum. “Bunda kamu cantik, ya?”
Ilham mengangguk mantap. “Cantik. Kata Abi, Bunda paling cantik dari wanita yang pernah Abi temui.”
Rasya yang baru kembali dari kasir, menatap Ilham dan Aisyah yang masih berjongkok di sudut rak. Ia merasa jantungnya berdegup lebih cepat. Dilihatnya Aisyah berdiri, menatapnya lurus. Wanita itu hanya membalas senyum getir setelah mendengar ucapan Ilham tadi.
“Putramu … lucu ya, Gus,” ucap Aisyah pelan, suaranya tenang tapi matanya menuntut jawaban yang lebih.
Rasya mendekat, menepuk bahu Ilham, “Ilham, ayo, udah selesai belanja. Kita pulang.”
Aisyah menatap Rasya. “Gus, boleh saya tanya… Ibunya Ilham… tinggal dekat pondok?”
Rasya menarik napas dalam. “Iya, Ning. Dia … dia istri saya.”
Aisyah terdiam. Beberapa detik hening, hanya suara musik instrumental mall yang mengalun samar. Matanya menatap Rasya, lalu beralih pada Ilham yang memeluk buku barunya.
“Kalau begitu …” Aisyah menarik napas, merapikan jilbabnya. “Semoga bahagia ya, Gus Rasya.”
Rasya hendak menjawab, tapi Ilham keburu menarik tangan ayahnya. “Abi, ayo pulang. Aku lapar…”
Keduanya pun pergi meninggalkan mall setelah berpamitan.
Aisyah menatap kepergian kedua orang itu dengan hati berantakan. Pertemuan dengan Gus Rasya hari ini, tak membuat dia menyerah mengejar Gus Rasya. Lelaki tampan itu adalah cinta pertamanya. Mereka bertemu saat sama-sama kuliah di Mesir. Dan sekarang, dia memiliki kesempatan untuk menjadi istri Rasya dari perjodohan keluarga besar mereka.
"Tak mengapa aku menjadi istri kedua, yang penting, aku bisa memilikimu, Rasya. Bila perlu, aku akan menyingkirkan istri pertamamu, supaya hanya akulah satu-satunya ratu di hati dan juga rumahmu!"