Bab 7

1035 Kata
“Abi … Ummi … Rasya mohon maaf. Rasya nggak akan mau menerima perjodohan ini. Sampai kapanpun, Rasya nggak akan berubah pikiran. Cukup sekali Rasya bersalah karena meninggalkan Naila dan Ilham dulu. Sekarang, Rasya nggak akan mengulangi kesalahan itu lagi.” Suaranya pecah di ujung kata, tapi sorot matanya justru makin tajam. Ia menunduk pelan, mencium punggung tangan ayahnya, lalu berpindah ke tangan ibunya. “Rasya pamit.” *** Keesokannya, Rasya datang ke rumah Naila. Lelaki itu ingin mengajak Ilham berbelanja keperluan di pondok. Saat dia masuk ke dalam, aroma kopi hitam kesukaan Rasya memenuhi ruangan. Di sudut ruang tamu, Ilham sudah melonjak-lonjak di kursi, memakai kaus oblong bergambar masjid dengan celana pendeknya yang sudah mulai kekecilan. Rasya berdiri di depan cermin kecil dekat pintu, merapikan peci putih di kepalanya. Matanya sesekali melirik putra kecilnya yang begitu bersemangat. “Kita mau beli apa aja, Abi?” tanya Ilham, matanya berbinar seperti anak kecil yang diberi balon. Rasya tersenyum, menepuk pundak putranya. “Baju koko, sarung baru, sepatu, tas, sama buku-buku buat mondok. Kamu kan mau jadi santri Abi, harus rapi, harus siap.” Ilham mengangguk cepat. “Mau baju yang warnanya putih, Abi! Kayak Abi kalo ngaji sama santri-santri gede.” Suara bocah itu membuat d**a Rasya menghangat. Ia melirik ke arah sudut ruang tamu, di mana Naila masih duduk bersila di lantai, mukena putih menutupi tubuhnya, mushaf di pangkuan, bibirnya bergerak pelan melafalkan hafalan. Rasya mendekat, duduk di samping Naila, menepuk bahu istrinya pelan. “Nai, kita mau berangkat sekarang. Kamu ikut ya.” Naila menoleh, menutup mushafnya dengan hati-hati. Senyumnya tipis, sedikit dipaksakan. “Nggak usah, Mas. Kalian aja yang pergi.” Rasya mengernyitkan dahi, suaranya merendah. “Kenapa? Biar rame. Ilham pasti seneng kalau bundanya ikut. Sekalian kamu pilih baju buat Ilham.” Naila menarik napas dalam-dalam, jemarinya merapikan helaian mukena di pundaknya. “Aku mau selesaikan hafalan dulu. Minggu depan jadwal setoran ke Ustazah Diah. Kalau belum selesai, aku malu sama Ilham.” Rasya menatap wajah Naila lama-lama. Matanya membaca gelisah yang disembunyikan rapat di balik senyum kecil itu. Ia tahu, Naila masih ragu berjalan berdampingan dengannya di luar sana. Bukan karena takut, tapi karena masih menganggap dirinya tak pantas berdiri di sisinya. Rasya meraih tangan Naila, menggenggamnya hangat. “Nai … aku mau kamu ikut. Biar orang-orang lihat. Biar orang tahu, kamu istriku. Ibu dari Ilham. Kamu nggak perlu sembunyi, berdirilah di samping aku tanpa harus menundukkan kepala.” Naila menarik tangannya pelan, menunduk. “Mas, jangan paksa aku. Bukan aku nggak mau. Tapi aku masih ... aku masih belajar berdamai sama diri sendiri. Kamu ngerti kan?” Suaranya pelan, tapi menohok. Rasya menarik nafas, menahan kata-kata yang mengganjal di dadanya. Di belakang mereka, Ilham mendekat sambil menarik lengan ayahnya. “Abi, ayo, aku mau beli sepatu! Biar bisa lari cepet pas main bola sama santri lain!” Rasya menoleh, membelai rambut Ilham. “Iya, Sayang. Bunda nggak mau ikut?” Naila menggeleng sambil mengusap pipi Ilham. “Hati-hati ya. Jangan lari-lari di mall. Dengerin kata Abi.” Ilham cemberut. “Tapi aku mau Bunda ikut …” Naila tersenyum, menepuk pipi putranya. “Bunda di sini dulu. Nanti pulang, Bunda buatin mie goreng sama telur ceplok ya?” Rasya bangkit perlahan, menatap Naila sebelum benar-benar berbalik. “Kalau gitu, doain kita pulang bawa berkah ya, Nai.” Naila menunduk, mengangguk pelan. Di ambang pintu, Rasya memeluk Ilham erat, menggandeng tangan kecil itu keluar rumah, sementara di balik pintu kayu tipis itu, Naila menatap punggung keduanya — berusaha menguatkan hati, bahwa dia masih punya tempat di samping lelaki itu … *** Sesampainya di mall. “Abi, banyak sekali bajunya…” gumam Ilham heran, menatap kantong belanja yang sudah menggembung. Rasya menahan tawa, menepuk bahu putranya. “Ya biar Ilham nyaman. Gamis ini buat jamaah di masjid. Kalau sekolah kan udah ada seragamnya, Sayang. Nanti kalau ada acara pondok juga enak, bajunya ganti-ganti, nggak itu-itu aja.” Ilham mengangguk kecil meski alisnya masih bertaut bingung. Tangannya meraih sudut kantong belanja, menariknya sedikit, seolah mau memastikan isinya betul-betul sebanyak itu. “Abi, kalau bajuku banyak, nanti Bunda nyuci capek nggak?” Pertanyaan polos itu membuat Rasya tertawa kecil, mengusap ubun-ubun Ilham dengan sayang. “Nggak apa-apa. Abi juga bantuin Bunda. Nanti Abi beliin mesin cuci biar Bunda nggak repot.” Mereka melanjutkan langkah ke deretan toko tas. Di sebuah etalase kaca, Ilham berhenti mendadak. Matanya membulat, menatap satu tas ransel berwarna biru dongker dengan logo orang bermain golf di bagian depan. “Abi…” Ilham menunjuk tas itu dengan jari telunjuk mungilnya. “Itu bagus banget.” Rasya ikut menatap, lalu melirik putranya sambil menahan senyum. “Kamu mau tas kayak gitu?” Ilham cepat-cepat mengangguk, matanya berkilau. “Biar kalau di pondok aku kayak santri gede, Abi. Tasnya mirip sama tas Mas Fadil waktu aku main ke masjid.” “Hmm…” Rasya pura-pura berpikir, tangannya mengusap dagunya. “Tapi kayaknya mahal, deh. Kamu yakin mau yang itu?” Ilham mendekat ke etalase, tangannya meraba kaca beningnya seolah bisa menyentuh ransel di baliknya. “Mau, Abi. Boleh ya? Nanti Ilham rajin ngaji, rajin sholat jamaah, nggak bandel. Beneran.” Rasya tertawa pelan. Janji polos Ilham membuat dadanya menghangat. Ia meraih pundak putranya, mencondongkan badan agar sejajar dengan tinggi bocah kecil itu. “Kalau Abi beliin tas itu, Ilham janji nggak bikin Bunda sedih lagi?” Ilham cepat mengangguk. “Janji, Abi. Ilham nggak mau bikin Bunda nangis lagi.” Rasya merasakan ada desir hangat mengalir di d**a. Tanpa banyak bicara, Rasya menggenggam tangan Ilham, menariknya masuk ke toko. Seorang pramuniaga muda langsung menyambut dengan senyum manis. “Selamat siang, Pak. Ada yang bisa saya bantu?” Rasya menunjuk tas di etalase. “Mbak, minta tolong ambil tas ransel biru dongker itu. Yang logo golf, ukuran anak-anak.” Pramuniaga itu cepat mengambilnya, membungkusnya dengan hati-hati. Sementara Ilham berdiri di samping Rasya, matanya terus menatap tas barunya — senyum kecil terbit di wajahnya. “Abi, makasih ya…” bisik Ilham pelan, memeluk pinggang ayahnya. “Ilham janji nggak nakal di pondok.” Rasya membalas pelukan bocah itu, mencium ubun-ubunnya. “Abi yang makasih. Ilham bikin Abi semangat lagi.” Saat Rasya membayar di kasir, terdengar suara lembut memanggilnya dari arah belakang. "Gus Rasya!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN