Bab 6

1008 Kata
"Gus Rasya, dipanggil Abi Ali!" suara santri laki-laki membuat Rasya menghentikan bacaan Al-Qurannya. Setelah mencium mushaf kecilnya, Rasya pun pergi ke rumah Abinya. Lelaki itu berjalan cepat, takut jika sang ayah menunggu lama. Entah mengapa, hatinya tiba-tiba berdegup lebih cepat daripada biasanya. Meski begitu, wajahnya tetap tenang. Begitu kakinya menapaki ruang tengah, dua sosok sudah menunggunya di atas permadani hijau. Abi Ali duduk bersila dengan sorot mata tajam, sementara Amira duduk di sebelah sang suami, wajahnya datar meski matanya berkilat penuh amarah. “Assalamualaikum,” ucap Rasya menunduk hormat. “Waalaikumsalam. Duduk, Rasya!” tegas Abi Ali, suaranya membuat jantung Rasya seolah melompat ke luar. Rasya menunduk, menatap kedua orang tuanya. Belum sempat ia bicara, Abi Ali langsung membuka percakapan, tanpa basa-basi. “Abi dengar kamu mengontrakkan rumah buat perempuan itu?” Suara Ali tajam, seolah menembus d**a Rasya. “Kenapa? Katanya kalian sudah menikah? Kalau memang dia istrimu yang sah, kenapa dia tidak tinggal di rumahmu? Kenapa malah kamu sembunyikan dia di kontrakan seolah dia adalah wanita simpananmu? Apa sebenarnya, kalian belum menikah? Dan anak itu … anak itu hasil hubungan terlarang kalian?” Tuduhan keji sang ayah membuat Rasya mendongak cepat. Matanya menatap lurus ke mata ayahnya. Sinar teduh di bola matanya beradu dengan tajamnya sorot mata sang ayah. “Demi Allah, Abi…” suara Rasya bergetar pelan, tapi tegas. “Rasya sudah menikah dengan Naila. Pernikahan kami sah, meski hanya secara agama. Kalau Abi tidak percaya, Rasya akan bawa ulama yang menikahkan Rasya dulu." Lelaki tampan itu mengatur napasnya, berusaha meredam emosi yang sudah naik ke ubun-ubun karena tuduhan sang ayah. "Tidak ada satu pun syariat agama yang Rasya langgar. Ilham anak sah kami, Abi.” Abi Ali mendengus pelan, menekan tasbih kayu di telapak tangannya. “Kalau pernikahan kalian sah, kenapa dia tidak tinggal di rumahmu? Kenapa justru kamu mengontrakkan dia di kampung dekat pesantren? Bikin orang kampung ribut saja! Para warga sudah mulai berbisik. Mereka curiga dengan wanita itu. Harga diri Abi dipertaruhkan, Rasya! Karena kamu keturunan Abi, kamu membawa nama baik pesantren ini.” Rasya menarik nafas panjang, menatap ibunya yang terdiam membisu. “Naila tidak mau tinggal di rumahku, Abi. Dia merasa tidak pantas. Takut pada Abi, juga takut pada Ummi. Rasya sudah membujuknya. Tapi dia tetap tidak mau, dia merasa tidak pantas tinggal di pesantren. Rasya mengontrakkan dia rumah, karena dia ingin dekat dengan Ilham.” Amira tertawa kecil, pelan. "Baguslah kalau dia sadar diri! Mantan p*****r seperti dia tidak pantas tinggal disini." Wanita berhijab lebar itu pun melangkah mendekat ke telinga suaminya, berbisik cukup keras agar Rasya tetap mendengar. “Abi…” bisik Amira manis, tangannya mengelus bahu Ali. “Kita izinkan saja dia tinggal di pesantren. Tapi … ada syaratnya.” Abi Ali menoleh, menatap istrinya dengan kening berkerut. “Maksudnya gimana, Ami?” Amira menatap Rasya lurus, senyum liciknya sekilas muncul. “Rasya, kamu boleh membawa perempuan itu ke sini. Biar dia tinggal di pondok, kita akan mengakui dia sebagai istrimu. Tapi, kamu harus menikah lagi. Dengan anak sahabat Abi, namanya Ning Aisyah.” Suasana ruang tengah seketika membeku. Rasya membulatkan matanya, tubuhnya menegang seketika. “Ummi…” lirihnya. “Apa maksud Ummi? Kenapa Rasya harus menikah lagi?” Amira mengangkat dagunya, nada suaranya dingin. “Supaya mulut orang kampung itu diam. Supaya nama pesantren ini tetap terjaga. Kalau kamu punya istri dsri keluarga terhormat, semua bisik-bisik itu akan reda. Dan perempuan itu … cukup diakui sebagai masa lalu kamu.” Abi Ali menghela nafas berat, menatap Rasya yang membeku di tempat duduknya. “Abi hanya mau yang terbaik untukmu, Rasya. Kalau kamu mau membawa Naila ke sini, syaratnya cuma satu ... kamu terima perjodohanmu dengan Ning Aisyah.” Rasya menunduk sebentar, menghela napas panjang. Bahunya kokoh tapi terlihat sedikit menegang. Lalu dengan suara berat namun mantap, ia mengangkat wajahnya, menatap ayahnya lurus-lurus. “Abi, Rasya sudah pikirkan semuanya. Rasya mohon … jangan paksa Rasya lagi. Cinta Rasya hanya untuk Naila. Sama seperti cinta Abi ke Ummi. Sampai kapanpun, Rasya tidak akan menikah lagi. Istri Rasya cuma satu, yaitu Naila.” Kalimat itu meluncur jelas, tanpa bergetar sedikit pun seolah tak ada keraguan di dalamnya. Abi Ali menghela napas panjang, menunduk sejenak, kemudian menatap Rasya dengan mata yang mulai berair. “Rasya … Abi ngerti perasaanmu. Abi ngerti … Tapi kenapa harus dia? Kenapa harus perempuan dengan masa lalu yang seperti itu? Abi nggak akan pernah melarang kamu jatuh cinta. Tapi bukan dengan wanita seperti itu.” Rasya menggenggam lututnya, tangannya mengepal. “Memangnya kenapa dengan Naila, Abi? Dia muslim, dia sudah bertaubat. Allah saja Maha Pengampun pada hamba-Nya yang mau kembali. Kenapa Abi tidak bisa?” Abi Ali terdiam. Bahunya turun perlahan, napasnya terdengar berat, menahan emosi dan juga kecewa. Di sampingnya, Amira yang sejak tadi hanya diam, akhirnya menepuk pelan lengan suaminya. Ia menatap Rasya, sorot matanya dingin meski suaranya ditahan selembut mungkin. “Sayang…” Amira meraih tangan Rasya, berusaha menariknya agar tetap duduk di tempat. “Dengar Ummi dulu. Bagi Ummi, masa lalu Naila mungkin bukan masalah. Tapi … kamu dengar sendiri kan? Omongan orang di luar sana. Itu bisa merusak nama baik pesantren ini. Pesantren yang Kakek kamu dirikan dengan keringat, doa, dan pengorbanan. Tolong, Nak… jangan egois. Pikirkan masa depan pesantren ini. Bagaimana kalau orang-orang tidak mau mondok di sini lagi karena masa lalu istrimu?” Rasya mendengus kecil. Matanya memerah, rahangnya menegang menahan luapan kata. Ia berdiri perlahan, menatap kedua orang tuanya, penuh hormat tapi juga marah yang tertahan. “Ummi salah … justru dengan adanya Naila di sini, itu jadi bukti, pesantren ini bisa membimbing siapa saja ke jalan yang lebih baik. Itu dakwah, Ummi. Itu syiar kita. Bukan aib. Justru itu bukti kalau kita menjalankan ajaran Rasulullah.” Abi Ali menegakkan punggungnya, berusaha bicara, tapi Rasya sudah lebih dulu mengatupkan telapak tangannya di depan d**a, memberi hormat. “Abi … Ummi … Rasya mohon maaf. Rasya nggak akan mau menerima perjodohan ini. Sampai kapanpun, Rasya nggak akan berubah pikiran. Cukup sekali Rasya bersalah karena meninggalkan Naila dan Ilham dulu. Sekarang, Rasya nggak akan mengulangi kesalahan itu lagi.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN