Amira berdiri di balik jendela besar, menatap lampu-lampu pesantren yang mulai meredup. Di tangannya, segelas wedang jahe dingin, tak sempat disentuh sejak disuguhkan santri putri sore tadi.
Suara ribut-ribut di serambi membuatnya menoleh. Dua ibu-ibu kampung, Bu Yati dan Bu Marni, berdiri di bawah payung, wajah mereka penuh semangat ingin melapor.
“Assalamualaikum, Nyai …” Bu Yati membungkuk sopan meski nada suaranya terdengar seperti bom waktu.
“Waalaikumsalam.” Amira menahan nafas, menandaskan gelasnya di meja kecil. “Ada apa malam-malam begini kalian ribut-ribut?"
Bu Marni maju selangkah. “Maaf Nyai, kami ini cuma warga kecil. Tapi … tapi ini sudah bikin resah.”
Amira menaikkan alis. “Bikin resah gimana?”
“Gus Rasya, Nyai … dia tadi sore keliling kampung, nyari kontrakan buat perempuan, Nyai!” bisik Bu Yati setengah menjerit. “Kata orang, perempuan itu cantik, bawa anak kecil. Entah siapa, katanya janda …”
Amira mendengus. Rahangnya mengeras, jemarinya mencengkeram ujung kerudungnya. “Kalian melihatnya sendiri?”
Bu Marni cepat-cepat mengangguk. “Iya, Nyai. Jelas banget. Bahkan Gus Rasya pegangan tangan sama anak kecilnya. Orang-orang bilang … jangan-jangan dia istri simpanannya. Aduh, Nyai… kampung kita malu kalau sampai itu benar!”
Amira mengibaskan tangannya, isyarat agar keduanya diam. Matanya menatap kosong menembus jendela. Dalam kepalanya, wajah Naila melintas lagi, wajah cantik itu, senyumnya, sorot mata tajamnya. Semua yang ada di dirinya sangat mirip dengan Dini.
Wanita sialan itu. Perempuan perusak rumah tangganya dulu. Mentang-mentang dia adalah istri yang paling pintar, dia memanfaatkan kepandaianannya untuk merebut Ali darinya. Untung saja, Allah telah memberinya hukuman setimpal. Wanita itu mati di penjara karena kepandaiannya.
Dan sekarang, muncul perempuan muda yang wajahnya fotokopi Dini.
Amira mendesis pelan. “Aku curiga … dia memang anaknya Dini.” Bisiknya pelan pada dirinya sendiri. “Kenapa wajahnya bisa persis begitu? Kalau memang itu benar … aku nggak rela Rasya nikah sama anaknya Dini.”
Bu Yati dan Bu Marni saling pandang, bingung. “Anaknya Dini, Nyai?” gumam Bu Marni.
Amira memejamkan mata sejenak, menahan amarah yang menyesakkan. Tidak boleh. Dulu ibunya menghancurkan. Sekarang anaknya mau merebut Rasya? Tidak. Tidak boleh.
Tiba-tiba sebuah ide muncul di kepalanya, menampar sisa ragu yang menggantung. Ia menoleh ke arah Bu Marni.
“Bu Marni … tolong panggilkan Abi Ali di pesantren putra. Bilang Amira mau bicara penting soal Rasya.”
“Sekarang, Nyai?” tanya Bu Yati.
Amira menganggukkan kepalanya. "Iya, tolong ya, Bu Marni. Bilang sama Abi Ali saya tunggu di pendopo."
Setelah kedua wanita itu pergi, Amira memandang foto keluarganya, dimana ada Rasya dan juga Fakih memeluknya. “Maafkan Ummi, Rasya. Jika Ummi terlalu memaksamu nanti. Kamu harus segera menikah dengan Aisyah. Biar perempuan itu sadar diri, kakau dia tidak pantas bersanding dengan Gus Rasya dan pergi dengan sendirinya."
Amira menghela nafas panjang, tangannya menghapus air mata yang menetes di pipinya. Suaranya lirih, tapi dingin. “Tak akan kubiarkan lagi Dini atau keturunannya mencuri bahagiaku. Tidak kali ini.”
Begitu sang suami masuk ke dalam rumah, Amira langsung menarik tangan suaminya duduk di sofa ruang keluarga.
"Ami, kenapa Abi ditarik-tarik? Kalau Ummi pengen, tunggu kita selesai sholat isya dulu." protes Ali dengan nada menggoda.
“Abi…” Amira memukul lengan suaminya. "Kenapa pikirannya ke situ mulu? Ini soal Rasya!"
Ali manggut-manggut. "Kenapa memangnya dengan Rasya?"
Amira langsung memegang tangan suaminya. “Kita harus cepat, Abi. Sebelum perempuan itu makin menempel ke Rasya.”
Ali menarik nafas panjang tahu kemana arah pembicaraan sang istri. “Ami, duduklah. Jangan berdiri terus, bikin pusing lihatnya.”
Amira duduk bersila di hadapan suaminya. Matanya tajam, tapi suaranya dibuat selembut mungkin. “Abi, Ami nggak rela. Rasya itu penerus pondok ini. Kalau dia terikat sama perempuan yang nggak jelas, apa kata orang?”
Ali meletakkan kitabnya, menatap istrinya dengan sabar. “Perempuan nggak jelas? Bukankah dia mantan istrinya?”
“Kalau mantan, kenapa nggak dicerai resmi? Kenapa sekarang datang bawa anak? Kalau benar dia anaknya Dini, Abi… dia pasti akan bikin ribut, sama kayak ibunya dulu!” Suara Amira bergetar di ujung kalimat, seolah luka lama itu kembali membelah d**a.
Ali menghela napas, menepuk punggung tangan istrinya. “Ami … dengarkan Abi dulu. Kita ini orang tua, tugas kita merestui yang terbaik. Kalau Rasya memang mau nikah lagi, Abi tidak menolak. Ning Aisyah anak Kyai Besar, cantik, lembut, keluarga terpandang. Tapi kita harus tanya Rasya dulu.”
Amira memelototi suaminya. “Abi terlalu lembek! Dulu Abi juga begitu sama Dini. Abi pikir Dini lembut. Hasilnya apa? Dia buat foto palsu hingga bikin Ami begini!” Jemari Amira menepuk dadanya sendiri, seolah masih terasa sesak yang dulu pernah menggunung.
Ali tertunduk, menarik napas dalam-dalam, berusaha tidak terpancing emosi. “Ami, dengarkan Abi. Rasya sudah dewasa. Kalau dia mau, kita restui. Kalau dia nggak mau, Abi nggak akan paksa. Nikah itu harus ada rasa, Ami. Kasihan Rasya kalau terpaksa. Tapi, nggak harus dengan wanita malam itu juga. Kita akan tawarkan Aisyah, kalau dia tidak mau kita carikan yang lain, tapi jangan dipakssa.”
Amira mendengus pelan, matanya memicing. “Kasihan? Abi dulu nikahin Ami juga bukan karena cinta. Ami juga nggak cinta sama Abi. Tapi nyatanya? Kita bahagia, kan? Lihat … kita punya Rasya, Alia, Fakih. Semua jadi anak baik, jadi kebanggaan ayah dan ibunya. Apa pernah Ami mengeluh? Tidak! Cinta bisa datang setelahnya, Abi.”
Ali terdiam, tak langsung membalas. Kata-kata Amira menghantam ruang hatinya yang paling dalam. Ia tahu, istrinya benar dalam beberapa hal. Pernikahan mereka memang dingin di awal. Tapi waktu mengubah segalanya. Amira mencintai dirinya dengan caranya. Mereka bahagia, meski kerikilnya tak sedikit.
Amira mencondongkan tubuh, jemarinya meraih tangan Ali. Suaranya menurun, pelan, lebih seperti rayuan. “Abi … tolong. Kalau Rasya terikat sama Ning Aisyah, tidak akan ada lagi gosip yang beredar. Perempuan itu akan pergi dengan sendirinya. Rasya juga nanti akan belajar mencintai Aisyah. Kan sama seperti Abi dan Ami dulu …”
Ali menghela napas berat. Kasusnya dulu berbeda dengan Rasya. Dia mencintai Amira sejak awal mereka bertemu, beda dengan Rasya. Lama. Pandangannya menatap jauh ke halaman pesantren, di mana suara santri kecil mulai riuh mengaji.
“Ami … Abi ngerti maksud Ami. Tapi satu yang harus diingat. Rasya itu putra kita. Abi ingin, Rasya mendapatkan yang terbaik, termasuk istri, tapi yang jelas ... bukan wanita itu."