Bab 4

1117 Kata
“Selama ini, kamu menghidupi cucuku pakai uang apa? Uang hasil jual diri?” Rasya tertegun. Tak menyangka Ummi-nya bicara seperti itu. Ilham memeluk pinggang ibunya makin erat. Tapi Naila menegakkan bahu, meski ada air di pelupuk matanya. “Tidak, Nyai…” Suara Naila nyaris pecah. “Semenjak kenal Gus Rasya, Naila sudah keluar dari dunia itu. Naila kerja serabutan… bersih-bersih rumah orang, jual gorengan. Yang penting cukup untuk makan Ilham. Kalau nggak cukup … ya Naila tahan lapar, yang penting Ilham bisa sekolah.” Amira mendengus pelan, menahan senyum sinis yang nyaris pecah di sudut bibirnya. Di matanya, wajah Dini lagi-lagi menari, seolah mencibir. “Kamu cantik sekali …” gumam Amira tiba-tiba. “Sayang … cantik tapj sering menipu orang-orang polos dan lugu seperti putraku.” Rasya menahan napas ingin protes, tapi Amira cepat bangkit, menepuk pundak Ilham pelan. "Kamu akan tetap menjadi cucuku. Karena dalam darahmu, mengalir darah keturunan Ali Jaffar." Setelah mengatakan itu, Amira pergi meninggalkan rumah putranya. Hening masih menggantung di ruang tamu. Suasana di rumah Rasya seolah beku. Rasya duduk di seberangnya, menatap istrinya dalam diam. Ada ribuan kata yang ingin ia ucapkan, tapi ia tahu, kalimat manis kadang justru terdengar seperti pisau bagi hati yang retak. “Nai…” panggil Rasya pelan. Suaranya lirih, takut membangunkan Ilham. “Kalau kamu mau, tetaplah di sini. Bersama aku. Bersama Ilham. Soal Ummi dan Abi, aku akan mencoba membujuknya.” Naila menunduk. Jemarinya membetulkan kopyah sang putra yang miring. Hatinya seolah tercubit, pedih. Rasanya, dia ingin sekali percaya, bahwa rumah ini adalah rumahnya, bahwa Rasya masih miliknya, bahwa cinta mereka dulu belum benar-benar mati. Tapi tatapan Amira tadi menamparnya: Cantik, tapi pandai menipu. “Mas …” Suara Naila pelan, nyaris patah. “Aku tahu kamu ingin menebus semua. Aku juga mau. Tapi … biarkan aku begini dulu.” Rasya mengernyit, suaranya menahan desakan. “Maksudmu begini gimana, Nai? Rumah ini rumahmu juga. Kamu istriku.” Naila menggeleng pelan. “Iya. Aku tahu kita belum pernah bercerai. Tapi siapa yang tahu di sini? Tidak ada. Orang hanya lihat aku … perempuan asing yang entah dari mana, tiba-tiba datang bawa anak, dan numpang di rumah kyai. Aku nggak mau jadi bahan gunjingan. Biarlah orang tetap bicara buruk tentang masa laluku, tapi jangan lagi tentang caraku mendekat ke kamu.” Rasya memijit kening, suaranya nyaris putus. “Nai… aku nggak peduli orang bilang apa.” “Tapi aku peduli, Rasya…” potong Naila pelan. “Aku yang akan dengar bisik-bisik itu di warung, di pasar. Ilham juga, bukan hal yang tidak mungkin, dia akan di bully di sekolahnya nanti. Aku nggak mau dia dengar ibunya dikata-katain jelek oleh orang lain.” Sunyi menindih mereka. Di sudut ruangan, jam dinding berdetak pelan, seolah mengingatkan bahwa subuh tinggal hitungan jam. Naila menatap Rasya. Matanya lembut, tapi sorotnya kokoh. “Aku mau dekat sama Ilham. Aku nggak mau jauh. Kalau kamu izinkan … aku mau cari kontrakan di dekat pesantren. Satu atau dua petak saja cukup. Nggak jauh. Ilham bisa pulang, aku juga bisa datang kalau dia butuh.” Rasya membuka mulut, ingin membantah. Tapi pandangan Naila menahannya. Ada luka dalam tatapan matanya. Dia tahu, memaksa Naila tetap di sini sekarang sama saja mengiris kepercayaan dirinya yang tinggal setipis kertas. “Kalau itu yang bikin kamu tenang…” desah Rasya akhirnya. “Aku akan carikan kontrakan paling dekat. Kalau bisa, sebelah pagar pesantren. Biar Ilham tetap bisa lari ke sana kalau kangen Bundanya.” Naila menunduk, tangannya merapikan rambut Ilham yang menutupi kening. Bibirnya bergetar menahan haru. “Terima kasih, Mas …” bisiknya. “Aku cuma butuh waktu. Biar orang-orang lihat sendiri. Biar mereka tahu aku nggak sama lagi seperti dulu.” Rasya mengangguk, meski di dadanya masih bergolak. Ia meraih tangan Naila, menggenggamnya pelan di atas kepala Ilham yang pulas. “Kalau kamu butuh apa pun … bilang aku. Jangan pernah merasa sendiri lagi. Kamu dengar itu, Nai?” Pagi itu, mereka berjalan mengitari kampung. Beberapa rumah kecil berjejer di pinggir jalan dekat pagar belakang pesantren. Ada yang masih setengah tembok, ada yang kayu reyot dengan dinding anyaman bambu. Satu per satu, Rasya bertanya pada warga, kalau-kalau ada yang mau menyewakan kamar atau rumah petak. Di sudut gang sempit, dua ibu-ibu berhenti di depan warung kelontong. Suara mereka pelan, tapi cukup jelas terdengar. “Eh, Bu Yati, itu siapa sih perempuan yang jalan sama Gus Rasya? Cantik juga, ya?” bisik seorang ibu berdaster cokelat. Bu Yati mendongak, merapikan kerudungnya. “Mana? Oh, itu? Ih … iya, cakep banget. Tapi kayaknya bukan orang sini, deh. Tumben Gus Rasya jalan sama perempuan bukan istrinya.” “Denger-denger…” sahut ibu satunya, suara makin dikecilkan padahal makin tajam, “Katanya Gus Rasya udah dijodohin sama anak Kyai Besar dari Jawa Timur. Masa iya dia bawa perempuan lain? Jangan-jangan ini simpanannya?” Bu Yati memekik kecil, setengah menutup mulutnya. “Ish, astaghfirullah! Kok tega banget! Gus Rasya itu panutan santri, panutan warga juga. Kalau benar perempuan itu nggak jelas asal-usulnya, bisa jadi zina ini!” Bisik-bisik makin ramai. Dari balik pagar bambu, muncul dua bapak-bapak yang mendengar percakapan setengah sengaja. “Eh, Bu, Bu, kalau bener begitu, harusnya lapor RT dulu,” sela salah satu bapak, mengusap kumisnya. “Jangan sampai kampung ini kena murka. Wong anak Kyai besar kok bawa perempuan entah siapa…” Bu Yati cepat mengangguk. “Iya, Pak! Mending cepet lapor aja. Kalau benar itu bukan istrinya, mending diusir dari sini. Malu kita sekampung kalau orang pondok bikin dosa di tengah kita.” Sementara itu, di seberang warung, Rasya tengah bicara pelan dengan pemilik rumah petak. Suaranya rendah, sesekali terdengar nada memohon. Di sampingnya, Naila berdiri menunduk. Pandangannya kosong menatap tanah, sesekali mencuri dengar bisik-bisik yang menusuk dari arah seberang. “Mas …” lirih Naila pelan. “Orang-orang bicara…” Rasya menoleh, sorot matanya hangat, berusaha meredam gelisah di d**a istrinya. Ia membungkuk sedikit, meraih tangan Naila, menggenggamnya erat. “Biarin, Nai…” suaranya tegas. “Mereka nggak tahu apa-apa. Biar mereka bicara apa pun, kita yang tahu kebenarannya. Ilham butuh kamu di sini. Aku butuh kamu di sini.” Naila menarik napas, menahan air mata yang nyaris jatuh. Sementara Ilham hanya menatap ke kanan-kiri, heran dengan orang-orang yang memandangi mereka seperti menonton sandiwara. Pemilik rumah akhirnya mengangguk pelan. “Kalau Gus mau, rumah ini bisa dipakai mulai besok. Saya tinggal di rumah anak saya, rumah ini kosong kok.” Rasya menunduk, mencium punggung tangan si bapak, tanda terima kasih. “Matur nuwun, Pak. Semoga Allah membalas kebaikan panjenengan.” Di balik pagar bambu, bisik-bisik masih berlanjut. Bu Yati mendengus, setengah berbisik pada temannya, “Udah, cepet Pak RT harus tahu. Kalau betul zina, Gus Rasya harus diusir, bikin malu nama pesantren saja.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN