Kening Aleana mengerut ketika tak merasakan adanya tanda-tanda kehadiran orang di sampingnya. Tangannya pun terus meraba-raba tempat tidur di sisinya seraya membuka mata dengan perlahan. Setelah matanya terbuka dengan baik, ia benar-benar tak menemukan Lutfi di sana.
“Mas?” panggil Aleana seraya mengamati kamarnya yang tampak kosong. Ia lalu beranjak dari tempat tidur dan mencari keberadaan Lutfi di seisi rumah. Namun lagi-lagi, ia tak menemukan adanya tanda-tanda keberadaan pria itu. Mobil Lutfi bahkan telah tak ada di garasi.
Aleana lalu melirik jam di dinding yang masih menunjukkan pukul 06.07 pagi. Membuat Aleana semakin bingung. Di mana Lutfi? Kenapa pria itu telah menghilang padahal jam masih menunjukkan pukul 6 pagi? Ke mana sebenarnya suaminya pagi-pagi buta begini?
Dengan langkah gontai, Aleana kembali ke kamarnya dan duduk di atas tempat tidur. Pandangannya tak lepas dari tempat tidur di mana Lutfi tidur semalam. Wajahnya tampak murung ketika ia kembali menyadari bahwa pria itu telah menghilang bahkan sebelum ia membuka mata.
Tadinya, ia pikir kalau Lutfi telah memberi kesempatan pada hubungan mereka untuk kembali seperti dulu lagi. Tapi, melihat Lutfi yang telah menghilang pagi ini membuat Aleana kembali sedih. Tangannya lalu terulur memegang d**a bagian kirinya. Padahal ia telah memperingatkan dirinya agar tidak berharap lebih pada kejadian semalam. Tapi nyatanya, hatinya tetap saja terasa sesakit ini.
“Mas, ... sebenarnya apa yang terjadi di antara kita?” gumam Aleana.
-------
“ASTAGA!” teriak Gilang yang terkejut seraya mengelus dadanya ketika melihat seseorang sedang terbaring di sofa ruangan kantornya seraya menutup mata menggunakan lengannya. Dan saat ia mengamati orang itu, ternyata pria itu adalah Lutfi.
“Apa yang kau lakukan di sini?” tanyanya pada Lutfi.
“Jangan ganggu aku!” pinta Lutfi. Gilang lantas berkacak pinggang mendengar perintah sahabatnya itu.
“Kalau tidak mau diganggu, kenapa kau datang ke sini?” sindir Gilang.
“Aku belum tidur semalaman,” ucap Lutfi.
“Memang apa yang kau lakukan semalaman? Kenapa kau tidak tidur?” tanya Gilang. Namun, tak lama setelahnya, sebelah alisnya terangkat yang disertai senyum miring di wajahnya.
“Kau tidur lagi dengan istrimu?” godanya. Matanya lantas membelalak ketika Lutfi tak membalas ucapannya. Biasanya, orang yang tidak menjawab pertanyaan, itu berarti jawabannya adalah ‘iya’.
“Kau serius?!” seru Gilang dengan mata yang lebih membelalak dari sebelumnya. Mulutnya bahkan terbuka lebar karena tak percaya.
“Sudah kubilang jangan ganggu aku,” ucap Lutfi acuh seraya menghela napas kemudian memutar kepalanya menghadap sandaran sofa untuk menghindar dari Gilang yang terus menatapnya.
“Yo, Bro! Apa sekarang kau sudah berubah pikiran? Kau tidak jadi menceraikan istrimu?” tanya Gilang.
“Kau pikir saja sendiri,” ucap Lutfi.
“Kau mau main tebak-tebakan denganku?” tanya Gilang yang tak dijawab oleh Lutfi. “Come on, Bro! Jangan membuatku penasaran. Apa kau benar-benar tidak jadi menceraikan istrimu?”
Lagi, Lutfi tak menjawab pertanyaan Gilang dan hanya membiarkan pria itu terus mengoceh tentang hal yang tak masuk akal. Ah, bukan. Ia sendiri pun sama sekali tak berniat untuk meluruskan kesalahpahaman yang Gilang buat sendiri.
Di lain sisi, sebenarnya Lutfi juga tak tahu apa yang ia inginkan. Sejak ia pulang semalam, ia sama sekali tak bisa tidur dengan Aleana yang tidur di sampingnya. Matanya tak bisa terpejam dan pikirannya terus melayang entah ke mana.
Sesekali, ia melirik ke arah Aleana yang sedang tertidur pulas, berbanding jauh dengannya. Sampai ia memutuskan untuk pergi dari rumah dan menumpang tidur di kantor Gilang.
Terkadang, ia merasa bingung dengan dirinya sendiri. Sebenarnya, apa yang ia inginkan? Apa masalah utama yang ia hadapi saat ini hanya masalah tentang anak? Atau ada hal lain yang ia inginkan? Sungguh, ia tak tahu lagi harus bagaimana menghadapi dirinya sendiri. Begitu banyak hal yang mengganggu pikirannya belakangan ini.
Lihat? Ia yang awalnya berniat untuk tidur malah memikirkan hal itu kembali hingga membuatnya benar-benar pusing. Matanya terpejam, tapi otaknya tak bisa berhenti berpikir. Sampai ia terkejut ketika mendengar teriakan Gilang yang tiba-tiba.
“Kenapa kau berteriak?” kesal Lutfi.
“Kau tidak tidur?” tanya Gilang.
“Bagaimana aku bisa tidur kalau kau terus mengoceh dan berteriak tidak jelas?” dengus Lutfi yang membuat Gilang tertawa.
“Malam ini temanku mengadakan party di club. Kau ikut, ‘kan?” tanya Gilang.
“Malas,” jawab Lutfi.
“Jam 11 malam di red club,” ucap Gilang.
“Aku tidak pergi,” tolak Lutfi.
“Kusarankan, lebih baik kau pergi malam ini. Aku yakin, kau tidak akan menyesal jika ikut denganku,” ucap Gilang.
“Tidak,” tolak Lutfi lagi.
“Ayolah,” ucap Gilang seraya melangkah ke arah Lutfi. “Aku menjamin seratus persen kalau kau benar-benar tidak akan menyesal dan tidak akan kecewa kalau pergi malam ini. Sekali-sekali, kau juga harus menghibur dirimu sendiri. Kau bisa gila kalau seperti ini terus,” bujuknya. Namun, Lutfi tak sama sekali tak memberikan respons atas ucapan Gilang.
“Baiklah, kita sudah sepakat!” seru Gilang. “Jam 11 malam di red club. Kalau kau tidak datang, aku sendiri yang akan menjemputmu.”
-------
Aleana menghela napas panjang yang sejak tadi hanya bisa duduk di sofa ruang tamu seraya mengganti saluran televisi berulang kali. Ia tak tahu lagi harus melakukan apa di rumah ini. Semua pekerjaan rumah telah selesai ia lakukan. Ia bahkan sudah berulang kali bolak-balik ke kamar, dapur, taman belakang, dan kembali ke ruang tamu karena tak tahu harus melakukan apa.
Ia tak memiliki teman yang bisa ia ajak untuk bertemu. Ia pun tak ingin mengganggu Lutfi yang sedang bekerja. Lebih tepatnya, ia tak tahu apakah ia bisa bertemu dengan pria itu saat ini atau tidak.
Biasanya, ia akan pergi ke kantor Lutfi dan menghabiskan waktu di sana sembari berbincang dengan pria itu. Atau tidak, Lutfi yang akan pulang untuk menemaninya jika pria itu tahu bahwa ia merasa bosan.
Sekali lagi, helaan napas panjang keluar dari bibir Aleana. Memikirkan Lutfi kembali membuat Aleana merasa sedih. Dan untuk kesekian kalinya, matanya melirik jam yang baru menunjukkan pukul 2 siang.
“Kenapa waktu berjalan lama sekali?” gerutu Aleana cemberut dengan tangan yang tak berhenti menekan tombol remote televisi.
Sampai akhirnya, ia memutuskan untuk menghentikan kegiatan membosankannya dan segera beranjak menuju kamar. Tanpa menunggu lama, ia langsung mengganti pakaiannya dan memakai sedikit bedak dan lipstik untuk menutupi memar di pipi dan luka di sudut bibirnya. Walaupun hal itu tak sepenuhnya berhasil, karena luka di sudut bibir Aleana cukup besar.
Selesai bersiap-siap, Aleana kembali melihat penampilannya melalui pantulan cermin. Ia lantas mengulas senyum ketika melihat penampilannya sudah terlihat bagus.
Merasa sudah tak ada yang kurang, Aleana pun beranjak dari kamarnya setelah memesan sebuah taksi. Langkahnya terlihat sangat riang ketika menuruni tangga, terlebih saat ia telah melihat taksi yang ia pesan telah berada di depan rumahnya. Tanpa basa-basi, ia bergegas keluar dan masuk ke dalam taksi setelah mengunci pintu rumah.
“Mau ke mana, Bu?” tanya sang sopir taksi.
“Ke mall Galaksi, Pak,” jawab Aleana.
“Baik, Bu,” ucap sang sopir taksi kemudian langsung melajukan mobilnya meninggalkan area rumah Aleana menuju mall tujuan wanita itu.
Saat ini, Aleana memang memutuskan untuk pergi ke mall. Tidak ada tujuan. Ia hanya ingin pergi jalan-jalan untuk menghilangkan rasa bosannya. Walaupun ia pergi seorang diri, tapi itu tak menghilangkan rasa antusias Aleana.
Menurutnya, pergi sendiri lebih baik dari pada hanya diam di rumah tanpa melakukan apa-apa. Setidaknya, dengan pergi jalan-jalan, ia bisa sekalian mencuci mata dengan barang-barang bagus. Meskipun ia sendiri tak yakin akan membeli barang-barang itu. Ia adalah tipe orang yang akan senang hanya dengan melihat sesuatu yang ia sukai, walaupun ia tak bisa memilikinya.
“Ini, Pak,” ucap Aleana seraya memberikan beberapa lembar uang pada sang sopir taksi ketika ia telah tiba di tujuannya.
“Eh, kembaliannya, Bu,” cegah sang sopir taksi saat melihat Aleana hendak keluar dari mobil.
“Tidak perlu, Pak,” tolak Aleana seraya tersenyum.
“Tapi, Bu-” Belum sempat sang sopir menyelesaikan ucapannya, Aleana telah keluar dari mobil tanpa mengambil kembalian uangnya.
Setelah keluar dari taksi, Aleana langsung masuk ke dalam mall lumayan besar yang memiliki pengunjung yang juga lumayan banyak itu. Senyum Aleana pun tak pernah pudar ketika matanya mulai menangkap beberapa hal lucu yang ia temui saat menjelajahi mall tersebut.
Sepasang kekasih yang tengah bercanda ria, beberapa kumpulan remaja yang saling meributkan hal-hal kecil, beberapa orang yang bergoyang di balik kostum upin dan ipin, dan beberapa hal lucu lainnya.
Sampai matanya menangkap seorang gadis kecil yang sangat lucu sedang memakan es krim dengan belepotan dan membuat kedua orang tua yang berada di hadapan gadis kecil itu terkekeh.
Seketika, tangan Aleana mengusap perutnya yang datar seraya menatap teduh pada anak kecil tersebut. Seulas senyum kecil lantas tersungging di bibirnya. Hingga siapa pun yang melihat ekspresinya sekarang pun akan tahu apa yang wanita itu pikirkan saat ini.
“Akh!” “Aw!” seru Aleana dan seorang wanita lainnya yang tak sengaja menabraknya.
“Maaf, kau tidak apa-apa?” tanya Aleana khawatir pada wanita yang tengah memegang bahunya tersebut.
“Tidak apa-apa,” jawab wanita tersebut.
“Sekali lagi aku minta maaf. Aku tidak tahu kalau kau berada di belakangku,” ucap Aleana seraya memeriksa bahu wanita itu. Ia takut kalau terjadi sesuatu pada wanita yang itu, karena ia ditabrak dengan lumayan keras. Aneh, bukan? Bukan ia yang menabrak, tapi justru ia yang meminta maaf.
“Tidak apa-apa,” ucap wanita itu seraya meneliti penampilan Aleana yang memakai dress selutut, flat shoes, dan tas selempang. Meski terlihat sederhana, tapi semua barang yang melekat di tubuh Aleana bisa digunakan untuk membeli dua buah ponsel dengan merek Banana.
“Kau sendirian?” tanya wanita tersebut setelah selesai meneliti penampilan Aleana.
“Ah! Iya,” jawab Aleana sedikit canggung.
“Sama denganku,” ucap wanita itu yang hanya dibalas senyuman oleh Aleana. “Siapa namamu?”
“Na, namaku?” tanya Aleana.
“Ya. Namamu,” jawab wanita tersebut.
“Namaku ... namaku Aleana Gavesha,” ucap Aleana.
“Aleana? Nama yang cantik,” ujar wanita itu. “Namaku Caroline. Caroline Lavanya,” lanjutnya seraya mengulurkan tangannya. Aleana yang awalnya sedikit ragu pun akhirnya membalas uluran tangan wanita bernama Caroline tersebut seraya tersenyum. Wanita yang sama dengan wanita yang berusaha menggoda Lutfi.
“Senang berkenalan denganmu Aleana,” ucap Caroline seraya menarik kembali tangannya, begitu pula dengan Aleana.
“Kau boleh memanggilku Alea,” ujar Aleana.
“Dan kau boleh memanggilku Carl,” ucap Caroline yang diangguki oleh Aleana. “Oh, ya. Kau mau ke mana?” tanyanya basa-basi.
“Ah! Aku? Aku ... aku hanya sedang berjalan-jalan di sekitar sini karena merasa bosan di rumah,” jawab Aleana.
“Benarkah?” tanya Caroline yang diangguki oleh Aleana. “Kalau begitu, apa kau boleh menemaniku belanja? Kebetulan aku juga hanya datang sendirian ke sini. Sejak tadi aku ingin membeli pakaian, tapi tidak ada orang yang bisa kumintai pendapat.”
“Kau ... mengajakku?” tanya Aleana yang sedikit terkejut dan canggung. Sudah cukup lama ia tak berinteraksi dengan orang asing seperti ini. Terlebih saat melihat penampilan wanita di hadapannya yang terlihat cukup seksi dan bertubuh tinggi juga ramping jika dibandingkan dengannya yang terlihat seperti gembel.
“Tentu saja. Memang sejak tadi aku bicara dengan siapa?” dengus Caroline seraya memutar bola matanya.
Aleana lantas tersenyum dan tanpa pikir panjang langsung menerima ajakan Caroline dengan senang hati. Padahal, tujuannya datang ke sini hanya untuk melepas kebosanannya. Siapa sangka kalau ternyata ia akan mendapat teman baru?
Tanpa menunggu lama, Caroline langsung menarik Aleana ke sebuah toko pakaian dengan merek terkenal. Memilah beberapa dress pendek kemudian memperlihatkannya pada Aleana.
“Bagaimana menurutmu?” tanya Caroline seraya memasang dress tersebut di depan tubuhnya.
“Apa dress-nya tidak terlalu pendek?” tanya Aleana ragu membuat Caroline kembali melihat dress tersebut.
“Hm ... tidak. Menurutku ini masih normal,” jawab Caroline yang membuat Aleana melongo. Pasalnya, dress yang Caroline perlihatkan sangat pendek. Bahkan, ia yakin kalau dress itu akan memperlihatkan sedikit b****g Caroline jika wanita bertubuh tinggi itu mengenakannya.
“Bagaimana?” tanya Caroline lagi.
“Menurutku, sepertinya dress itu terlihat sangat mencolok. Warnanya terlalu ramai dan sangat pendek. Sepertinya, kau akan menjadi pusat perhatian kalau mengenakannya,” ungkap Aleana jujur.
“Bagus. Kalau begitu aku akan membeli yang ini,” putus Caroline.
“Hah?” tanya Aleana bingung. Semudah itu?
“Kau tahu? Menjadi pusat perhatian adalah tujuan utamaku,” ucap Caroline seraya tersenyum miring dengan tatapan penuh arti. “Sebenarnya, aku membeli dress ini ka-” Belum sempat Caroline menyelesaikan ucapannya, tiba-tiba ponsel Aleana bergetar yang menandakan ada sebuah pesan yang masuk.
“Tunggu sebentar,” ucap Aleana kemudian segera mengambil ponselnya dengan seulas senyum penuh harapan di wajahnya.
Namun, lagi-lagi ia harus menelan kenyataan pahit ketika melihat pesan yang masuk bukan berasal dari orang yang ia harapkan melainkan hanya sebuah pesan spam dan membuat Aleana menghela napas.
“Siapa?” tanya Caroline penasaran.
“Hanya pesan spam,” jawab Aleana sedikit kecewa.
“Ya, ampun. Kenapa zaman sekarang ma-” Lagi, ucapan Caroline terhenti ketika tatapan matanya terkunci pada foto yang menjadi wallpaper ponsel Aleana.
-------
Love you guys~