12. ciuman balasan

1688 Kata
Setelah bersiap dan menikmati salad buah pemberian Nadia, Mila bergegas menuju lokasi dimana Wiwi sudah menunggunya. Lokasi yang kerap dijadikan tempat mereka berkumpul sebelum berangkat ke salah satu kelab atau tempat pesan, tempat tersebut adalah rumah yang ditinggali Wiwi bersama kedua orang tuanya. Kedua orang tua paruh baya itu tidak pernah tahu pekerjaan asli Mila, Wiwi dan Ajeng, yang diketahuinya mereka bertiga bekerja sebagai sales minuman ringan. Perjalanan menuju kediaman Wiwi lumayan jauh. Lima belas menit menggunakan ojek online. Begitu Mila menapakkan kakinya di kediaman Wiwi, wanita itu langsung menyerbunya dengan tatapan yang sulit diartikan, sikap yang sangat membingungkan. “Kenapa Wi?” Tanya Mila bingung, saat Wiwi menyeretnya ke belakang, menjauh dari Ajeng dan Rian yang juga ada di rumahnya. “Mbak Mila open BO?” Tanya Wiwi, langsung pada intinya. Kening Mila langsung mengerut, kenapa wanita itu bisa bertanya seperti itu. “Nggak,” jelas Mila akan menyangkal, sebab ia tidak merasa melakukan hal itu. Hal yang selalu ditolaknya, setiap kali lelaki hidung belang menawarkan berbagai macam iming-iming, hanya untuk tidur dengannya. “Kenapa kamu bisa ngomong kayak gitu?” Selidik Mila. “Seseorang menghubungiku, dia bilang mau booking Mbak Mila malam ini.” “Siapa?” Mila tidak sabar ingin mengetahui lelaki kurang ajar yang telah menghubungi Wiwi. “Namanya Dimas. Dia bilang udah booking Mbak Mila sebelumnya, apa benar?” Kedua tangan Mila mengepal bersama dengusan nafas kasar. b******n sialan itu sedang mengambil kesempatan untuk mempermainkannya. “Dia mengatakan kamu masih memiliki hutang padanya. Hutang apa?” Selidik Wiwi. “Apa kamu pernah meminjam uang pada lelaki itu?” “Tentu tidak!” Sesulit apapun hidupnya, ia tidak pernah berhutang pada siapapun, kecuali pada Ayah dan Ibunya. Hutang air mata dan penderita yang dirasakan mereka, yang tidak akan pernah bisa Mila bayar dengan apapun. “Aku tidak pernah berhutang pada siapapun, sedikit apapun kondisiku saat ini.” Wiwi mengangguk, tahu betul bagaimana kebiasaan Mila, meski keduanya belum lama saling mengenal, tapi Wiwi tahu persis sifat Mila. Wanita itu pantang meminjam atau menyulitkan orang lain, padahal kondisinya sendiri pun sangat sulit. “Aku percaya sama kamu, tapi lelaki itu memintamu menghubunginya. Lebih baik kamu segera menghubungi saja, selesaikan masalah ini. Aku yakin hanya salah paham saja.” “Iya. Aku akan segera menghubunginya.” Wiwi dan Mila kembali ke ruang tengah, dimana Ajeng dan Rian berada. Kedua orang itu menatap curiga ke arah mereka berdua, tapi Mila langsung mengubah ekspresi wajahnya yang semula kesal, kini tersenyum seolah tidak terjadi apa-apa. Mila duduk di sofa dan memijat pelan keningnya, Mila menarik nafas dengan berat. Mila sudah berhitung dalam hati, berusaha menenangkan diri, tapi tidak berhasil. Kejadian malam itu, mimpi buruk dan kondisi Talita membuatnya kerap tidak bisa tidur, membuatnya semakin kacau. Dia yakin Dimas akan melakukan apa saja untuk mengacaukan hidupnya yang berantakan. Mila merutuki diri karena harus tertimpa sial. Di sela-sela kesibukannya dalam merutuki nasib, ponsel Mila berbunyi. Kekesalannya semakin meningkat tajam, saat mengetahui nomor Dimas menghubunginya. Awalnya Mila tidak berniat untuk menerima panggilan itu, mendengar suara Dimas lengkap dengan cemoohannya hanya akan membuat suasana hati Mila semakin kacau saja. Tapi mengabaikan pun tetap tidak akan memperbaiki keadaan. “Hallo!” “Oh, masih bisa angkat telepon rupanya, kirain masih asik tidur karena kecapekan habis ngejob semalam. Kira-kira berapa tamu yang sanggup kamu layani semalam?” Suara bariton dengan nada penuh ejekan terdengar dari seberang sana. Sial! “Kesini sekarang!” “Nggak!” Tolak Mila. “Nggak usah sombong karena kamu nggak sepenting itu.” “Kalau kamu nggak datang, aku yang akan datang ke sana.” Sel Dimas. “Kamu nggak bisa kesini!” Desis Mila. “Oh,, begitu. Seru kayaknya kalau aku kesana dan mengembalikan celana dalam yang tertinggal malam itu. Aku ingin tahu reaksi temanmu, setelah tahu teman yang dianggap baik ternyata diam-diam menjual diri tanpa sepengetahuan mereka. Apakah mereka akan tetap menganggapmu baik?” “b******k!” Sembur Mila sambil beranjak dari berdiri dengan kepanikan yang semakin menjadi ketika mendengar ancaman kurang ajarnya tadi. Mila mencengkram rambut frustasi. Pakaian dalam yang tidak ditemukannya malam itu sehingga harus pulang tanpa memakainya, membuat Mila tidak berpikir jika lelaki itu yang mengambilnya. Mila tahu, bahwa Dimas begitu membencinya, lelaki itu merasa dicampakkan padahal kenyataannya dilalah yang mencampakkan Mila, lelaki itu akan melakukan apapun jika mereka bertemu. Mila sudah mempersiapkan diri untuk menghadapi pria itu dengan alibie atau amukan, tapi sama sekali tidak memperhitungkan cara Dimas memberikan salam pertemuan malam itu. Mila berubah menjadi sosok wanita kebingungan dengan memberikan perlawanan sia-sia dan berakhir menikmati sentuhannya. Tidak ingin ada keributan atau kekacauan di kediaman Wiwi, Mila segera bergegas keluar usai memberikan alasan seadanya pada temannya. “Ada urusan mendadak.” Alasan Mila. Wiwi mungkin paham arti dari urusan mendadak yang dimaksud Mila, tapi tidak dengan kedua teman lainnya. Dimas memberikan alamat, kemana Mila harus pergi dan sialnya lelaki itu justru memberikan alamat apartemennya. Tempat yang pernah Mila tinggali tujuh tahun lalu. Seorang petugas menyambut Mila seolah menunggu kedatangan Mila. Petugas itu memberikan arahan pada Mila agar mengikutinya, sesampainya di kediaman Dimas. “Silahkan masuk, Bapak akan segera tiba sebentar lagi.” Petugas itu lantas meninggalkan Mila seorang diri, yang masih berdiri mematung di tengah-tengah ruangan. Seperti kembali dilempar ke masa lalu, Mila kembali mengingat potongan-potongan kejadian yang terjadi di apartemen tersebut. Dimana kala itu, Mila dan Dimas tinggal bersama di dalamnya. Mila bisa mendengar suara denting jam dinding yang berdetak. Sunyi. Dan mencekam. Mila mengerjap cepat untuk mengembalikan rasa panik yang menyergap, tapi tidak bisa. Potongan-potongan kejadian masa lalu terus berputar dalam ingatannya seperti kaset rusak yang membuat kepalanya sakit. Tiba-tiba Mila mendengar suara pintu yang sengaja dibanting dengan keras, sampai menghasilkan getar yang merambat ke seluruh ruangan, dan membuat Mila tersentak kaget. Bahkan ia sampai lupa cara bernafas. Setelah menarik nafas panjang, Mila memutar tubuh menghadap ke atas sosok yang berdiri dengan jarak kurang dari dua meter darinya. Dimas terlihat begitu mempesona dalam balutan setelan jas. Sorot mata tajam penuh amarah itu menghunus ke arahnya. “Mila Agnesia, si pelacurr murahan!” “Nggak usah buang-buang waktu! Apa mau kamu sampai suruh aku datang ke sini!” Balas Mila ketus. Sorot mata Dimas tajam, menatap dengan penuh penilaian seolah mempelajari setiap detail wajahnya. “Kenapa terburu-buru, kita belum ngobrol setelah malam itu.” “Aku nggak mau ngobrol sama kamu. Lagipula setiap tamu yang datang padaku tidak ada yang bersikap sepertimu.” Ujar Mila tegas. Alis Dimas terangkat dengan Eky yang masih begitu datar. Dimas memasukkan kedua tangan ke saku, lalu berjalan mendekati. Spontan Mila pun mundur, namun belum sempat mundu, tangan Dimas sudah terlebih dulu meraih pinggangnya dan menariknya kedalam dekapan lelaki itu. “Memang kamu pikir aku mau ngobrol hah?! Aku hanya butuh penjelasan tentang kepergianmu selama enam tahun lalu dan juga untuk membayar hutangku malam itu. Aku tidak mau dikasih gratis oleh pelacurr murahan sepertimu. Menikmati sesuatu tanpa membayar, aku tidak semiskin itu!” Nafas Dimas menyembur hangat di wajah Mila, membuatnya menatap dengan nafas tertahan dan kepanikan yang menyiksa. “Nggak ada penjelasan, aku pergi karena kamu yang minta. Apa kamu lupa, hari itu kamu yang mengusirku?” “Gitu?” Sahut Dimas dengan satu alis terangkat setengah, terlihat menantang. “Udah tahu nggak diinginkan tapi malah datang dan menawarkan diri. Bersikap sok lugu, mendekatiku. ck murahan!” Mila menahan diri untuk tidak menangis, meski begitu merasa terhina dengan ucapan Dimas. Sadar jika ia hanya dijadikan mainan pemuas hasrat lelaki itu saja, tapi Mila tetap berharap Dimas mencintainya. Tapi lihatlah hasilnya sekarang, lelaki itu tetap tidak pernah mencintainya malah semakin merendahkan nya. “Udah tahu murahan, ngapain masih ngotot sekarang?” Sinis Mila. Cengkraman di pergelangan tangannya semakin kuat, membuat Mila meringis pelan. “Oh begitu? Berapa harga satu malam atau satu bulan? Aku kasihan dengan kekasihmu yang cupu dan culun itu. Masih bersikap baik dan peduli padahal kekasihnya menjual diri, menjajakan tubuhnya pada lelaki manapun.” Plak! Entah darimana datangnya keberanian Mila untuk meloloskan satu tangannya dari cengkeraman tangan Dimas, lalu menamparnya dengan begitu keras. Dengan nafas memburu, Mila mendorong Dimas dengan sekuat tenaga, hingga lelaki itu melepaskannya. “Kamu boleh menghina aku sesukamu! Tapi nggak dengan Tanto!” Dimas mengusap pipinya yang memerah akibat tamparan Mila. “Dengar, kita nggak ada hubungan apapun sedari dulu. Jadi nggak usah bersikap seolah-olah kamu adalah cowok gagal move on! Kamu nggak jauh lebih baik dari Tanto! Lelaki yang kamu bilang cupu dan culun itu lebih bertanggung jawab dibandingkan,” Mila tidak melanjutkan ucapannya, menahan sakit yang kian menjalar di tubuhnya saat mengingat bagaimana kebaikan Tanto selama ini padanya.. “Aku datang bukan untuk mengiba, apalagi meminta utangmu. Aku nggak mau uangmu!” Dimas masih menatap tajam Mila, mengunci tubuhnya tanpa sentuhan. “Kamu membuat hidupku berantakan Mila!” Ucapnya lirih. “Kau pun.” Balas Mila. “Kamu sudah membuat hidupku hancur!” Mila merasakan sedikit sesak saat melihat satu wajah Dimas memerah akibat tamparannya barusan. Ia lantas mendekat dan berjinjit mencium bibir Dimas Ciuman kasar, dengan mencengkram rambut Dimas, menekannya turun agar menunduk. Ciuman yang menyakitkan, tapi menimbulkan debaran asing yang membuat hatinya berdenyut nyeri. Meski saling menyakiti, Mila maupun Dimas enggan menghentikan, justru berlomba untuk bertahan. Dimas merangkul pinggang Mila, memangkup rahangnya sementara Mila masih menjambak rambut Dimas sambil mencengkram sisi jas yang dikenakan lelaki itu Sampai akhirnya ciuman itu melembut, ketika mengisap bibir bawah Dimas, Mila bisa menycap rasa darah disana. Tanpa sadar, keduanya menutup mata untuk menikmati ciuman dan saling merapatkan tubuh, merasakan kehangatan lebih. Bibir terlepas, dengan kening saling beradu, selagi mereka bernafas terengah-engah tanpa memutuskan tatapan. Menatap beberapa saat lalu saling melepaskan diri untuk menciptakan jarak. “Balasan untuk penghinaan yang sudah kamu lakukan.” Mila menatap ke arah bibir Dimas dimana terdapat luka yang cukup besar disana. Ia tidak main-main saat mengigitnya. “kamu tidak mau menjelaskan alasan kamu menghilang selama ini, kamu juga menolak tawaranku,m menjadi simpananku kembali, kalau begitu silahkan pergi. Pintunya masih tetap disana.” Mila tersenyum samar, lantas bergegas pergi tanpa menoleh. Ia memilih menggunakan taksi online untuk mengantarnya pulang, di dalam mobil perlahan air mata itu turun membasahi wajahnya diiringi Isak tangis pilu. Satu tangannya menangkup d**a. Mimpi buruk yang menjadi kenyataan. “Ini semua pasti berakhir, Mila!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN