13. curhat

1436 Kata
Nafas tersengal-sengal, dengan sekujur tubuh memanas. Tidak pernah sekeras ini melakukan latihan fisik hanya untuk melupakan bayangan wanita itu. Pikiran Dimas melayang pada pergulatannya dan ciuman panas terakhirnya. Sial! Makinya dalam hati. Seharusnya tidak perlu memikirkan wanita itu lagi dan tidak membiarkan dirinya terus tenggelam dalam kemarahan yang tidak berarti. Tapi bayang-bayang Mila tersus berputar dalam ingatan dan sulit untuk dienyahkan. Terus berlari dengan menaikkan kecepatan, berlari sekencang mungkin sampai ia kesulitan bernafas. Perlahan treadmill melambat, ia langsung menoleh ke arah samping, pada sosok pelaku yang dengan sengaja menurunkan kecepatan. “Apa?!” Dimas keluar dari treadmill. “Lo mau mati?!” Albi pun melakukan hal serupa, keluar dari treadmill. Dimas mendengus, berjalan ke sudut Gym untuk duduk sambil mengusap keringat dengan handuk kecil yang tergantung di bahunya. “Ada masalah?” Albi menyodorkan sebotol minuman dingin padanya. “Nggak.” Dimas meraih minuman tersebut lantas menghabiskannya dalam satu kali tegukan. Dua jam melatih fisik, sudah lebih dari cukup membuat tubuhnya lelah, tapi Dimas seolah enggan untuk berhenti. Hal tersebut membuat Albi curiga dan menyadari sesuatu terjadi pada Dimas. Dimas mendesah panjang, lalu kembali bernafas dengan terengah-engah. “Lo kelihatan kacau, calon pengantin nggak boleh stres,” Albi mengambil duduk di samping dan sama-sama terdiam untuk beristirahat. Keduanya ada di sport club yang ada di kawasan tempat tinggal Albi. Untuk kali ini hanya mereka berdua yang hadir, sementara Arik ada halangan. Lelaki itu memang selalu sibuk dengan urusan keluarganya, apalagi saat ini Nadia begitu gencar melakukan proses bayi tabung untuk kesekian kalinya, setelah beberapa kali gagal. Usaha yang belum juga membuahkan hasil, tapi Arik tetap setia mendampingi sang istri dan keinginannya memiliki anak. “Sok tau!” Dimas menghela lemah, menatap ke arah lain. “Dulu, Lo sering menghabiskan waktu sama banyak cewek, tapi setelah keluar dari penjara, kebiasaan Lo berubah. Olahraganya nggak bareng cewek lagi, tapi sendiri di tempat gym.” Dimas hanya tersenyum kecut dan enggan untuk membalas, karena Albi pasti akan mudah membacanya begitu saja, lewat ekspresinya. Saat ini Albi jauh lebih dewasa setelah memiliki dua wanita yang melengkapi hidupnya. Terkadang Albi kewalahan menghadapi dua wanita yang nyaris serupa dalam berbagai hal, hanya usia dan bentuk saja yang berbeda tapi watak dan kebiasaannya sama persis, dia adalah Isyana dan Kinan. “Lo kayak orang kesetanan, dua kali gue lihat Lo kayak gitu. Pertama saat Lo baru keluar dari penjara, yang kedua sekarang.” Saat Dimas keluar dari penjara semua yang dimilikinya hancur, termasuk bisnis dan nama baiknya. Tidak ada lagi yang tersisa saat itu, bahkan untuk melunasi beberapa cicilan pun, ia hanya bisa mengandalkan Albi dan Arik. Dimas menghela nafas sambil mengusap kepala dengan handuk, sejak kembali bertemu Mila, dia menjadi lebih kacau padahal selama ini ia berusaha menjadi baik. Tidak hanya dalam kehidupan asmara, dengan tidak bergonta-ganti pasangan, juga dari sisi kehidupan yang lain. Tapi Mila tiba-tiba kembali setelah Dimas merasa hidupnya mulai kembali tertata dengan baik, bahkan nyaris menganggap semuanya berjalan sempurna. Dirinya seolah kembali ditarik pada masa lalu yang ingin dilupakannya, sampai ia tidak bisa tidur nyenyak dan memenuhi isi kepalanya dengan berbagai hal menjengkelkan. “Gue ketemu cewek,” pada akhirnya Dimas mengaku, percuma saja ia menyangkal saat tatapan Albi kian menyipit, penuh kecurigaan. “Tapi bukan cewek yang biasa gue mainin, Bi.” Buru-buru dikasih memberikan klarifikasi, sebelum Albi berasumsi yang bukan-bukan apalagi saat mendengar helaan lemah dari lelaki itu, seolah enggan mendengar ceritanya. “Lalu?” Tanya Albi datar, ia tidak begitu tertarik dengan kisah masa lalu Dimas dengan banyak wanita. “Dia perusak hidup gue!” Jawab Dimas ketus. Albi menatap bingung, “Siapa? Kuntilanak mana yang udah bikin hidup Lo rusak?” “Serius, Bi!” Sela Dimas kesal. “Gue lebih dari serius, sejak kapan hidup Lo dirusak cewek? yang ada Lo ngerusak hidup mereka, kecuali cewek itu jadi-jadian, misal kuntilanak gitu!” “Terserah!” “Lo udah banyak mainin cewek, ngerusak hidup dan impian mereka dengan janji manis Lo itu, menurut sudut pandang gue, wajar aja kalau ada salah satu dari mereka nuntut balas. Secara langsung atau tidak, misal berdoa agar hidup Lo dihantui rasa bersalah. Kita nggak tahu doa mana yang didengar hingga akhirnya Lo kena karma.” “Perlu banget bahas karka sekarang dengan kondisi gue kayak gini.” “Nggak sih, spontan aja.” Albi terkekeh, sementara Dimas sudah kehilangan minat untuk bercerita. “Cewek itu bikin Lo kenapa?” Albi kembali dengan mode serius, menatap ke arah Dimas. Dimas terdiam sejenak, menghela dengan tatapan menerawang, mengingat kejadian yang tidak disukainya, hingga menimbulkan kepahitan dalam hati. Dibalik kehebatan yang dimiliki, ada keterpurukan yang berusaha disembunyikan. Dia tidak ingin terlihat kecewa, apalagi terluka, namun kedatangan Mila seolah membuka luka lama yang selama ini ia tutupi. “Lo temen baik gue,” Dimas balas menatap Albi dengan tatapan sama serius. “Jangan bilang pada siapapun, ini aib gue.” “Lo masih meragukan pertemanan kita setelah apa yang kita lewati? Terdengar lebay sih, tapi gue sedikit tersinggung saat Lo masih meragukannya, apalagi setelah Lo nyaris menghancurkan istri gue.” “Oke, jangan di ungkit lagi.” Dimas mengangkat satu tangannya, “Sekarang gue mau cerita.” Dimas bercerita, dimana Albi mendengarkan dengan seksama, tanpa sekalipun menyela. Dimas menceritakan semuanya, tanpa ada yang ditutupi termasuk kehamilan Mila. Saat itu Dimas benar-benar bingung harus bereaksi seperti apa, karena kabar kehamilan Mila datang bersamaan dengan datangnya surat penangkapan atas dirinya. Saat itu Dimas dituntut banyak kasus, yang memungkinkan dirinya tidak dapat lepas dari jerat hukum. Dimas bingung sekaligus takut dalam satu waktu yang sama, yang pada akhirnya ia pun melontarkan kata-kata yang membuat Mila memutuskan untuk pergi. Kata-kata itu pasti sangat menyakiti hati Dimas, ia mengakuinya dalam hati. Tapi setelah melihat bagaimana kehidupan Mila saat ini, penyesalan atas apa yang dilakukannya berubah menjadi kebencian. Benci yang membuat Dimas ingin melihat wanita itu hancur. “Jadi, alasan benci karena dia nggak memohon atau meminta balikan dan pergi begitu saja setelah Lo usir?” Dimas mengangguk, mengiyakan. “Lo pacaran sama dia?” “Nggak, hanya tinggal bersama. Dulu gue mana pernah mau main cewek pakai hati, apalagi jadian.” sangkalnya. “Biasa aja dong, nggak usah ngegas gitu! Kalau nggak jadian kenapa marah saat Lo tahu wanita itu jual diri?” Tanya Albi sinis. “Pertanyaan Lo nggak berbobot!” Kesal Dimas. “Asal Lo tau, dari cerita Lo tentang cewek itu, udah jelas punya rasa sama dia. Bukan saat Lo masih sama dia, tapi saat dia udah nggak ada.” Ucap Albi. “Dan untuk hamil, lalu tiba-tiba kembali bertemu setelah wanita itu menjalani pekerjaan barunya sekarang ini, itu pilihan dia. Kita nggak tahu setelah hari itu apakah dia menghilangkan bayinya atau tidak, tapi menurut gue dia nggak akan mungkin mau mengambil resiko besar, membesarkan anak tanpa suami. Itu sangat berat.” Dimas menghela, mencoba mengingat kembali kapan ia menjadi begitu benci pada Mila. Sialnya, Albi lagi-lagi benar, karena kemarahannya itu bermula saat tahu Mila hidup dengan baik bahkan menjual diri pada lelaki hidung belang. Membayangkan wanita itu mendesah dibawah Kungkungan lelaki lain, seperti siraman minyak di atas kobaran api kebenciannya. “Seseorang akan menjadi penting saat dia pergi dan lu merasa kehilangan itu bukan patah hati. Itu kenyataan, akui saja.” Albi mengingatkan. “Tapi gue benar-benar membencinya,” Dimas tidak bisa melanjutkan ucapannya, sebab ia pun merasa kebingungan sendiri. Alasan apa yang membuatnya begitu benci pada Mila. .Dimas mengusap bibirnya dimana terdapat luka akibat gigitan wanita itu. Ingatannya kembali pada kejadian beberapa hari lalu, dimana ia melecehkan Mila dan juga kejadian saat di apartemennya. Dimas memang sengaja membiarkan wanita itu membalas perbuatannya dengan menggigit bibirnya hingga berdarah. Lukanya cukup besar, bahkan terlihat jelas di bagian bibir bawahnya. Di akhir ciuman, Dimas tidak bisa melupakan ekspresi Mila yang menahan amarah dan sedih disaat bersamaan. Tubuh wanita itu bergetar dalam pelukannya. Oleh karena itu Dimas memilih diam selama tiga hari ini, memikirkan cara lain untuk membuat wanita itu kembali bicara. “Sekarang Lo udah tunangan, kemungkinan wanita itu mempertahankan bayinya sangat kecil apalagi saat ini, setelah dia memutuskan bekerja seperti itu. Fokuslah pada tujuan Lo sekarang, menikah dengan Donna dan memiliki keluarga lantas hidup bahagia. Itu skenario yang harus Lo jalani dan usahakan sekarang.” Albi memperhatikan Dimas dalam diam, hal yang paling dibencinya jika Albi sudah dalam mode seperti itu, bisa dipastikan lelaki itu akan memberikan pernyataan yang tidak disukainya. “Kita teman bukan?” Senyum di wajah Albi membuat Dimas enggan untuk menatap ke arahnya. Ia lebih memilih untuk memalingkan wajah. “Udah nggak jaman balas dendam, Lo udah sangat dewasa untuk menyikapi semua ini. Gue yakin dia punya alasan mengapa dia seperti itu, itu pilihan dia dan Lo harus menghargainya.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN