14. Profesi baru

1433 Kata
“Mungkin sebaiknya memikirkan kembali tawaran Nadia kemarin, aku yakin dia pasti sudah mempertimbangkannya dalam segala hal, termasuk kenyamanan dan gaji.” Bagian terakhir adalah yang paling penting. Mila sangat mempertimbangkan segala hal hanya dari uang, seberapa besar resiko dan lelah yang akan dirasakannya nanti, itu hanyalah nomor ke sekian. Yang terutama adalah uang, atau gaji. “Sudah tahu nominal gaji yang ditawarkan temannya Nadia?” Tanto kembali bertanya, memperhatikan ekspresi Mila yang tengah menikmati mie ayam di pinggir jalan, dekat kediamannya. Mila kerap menolak, setiap kali Tano mengajaknya pergi ke tempat yang lebih nyaman atau dengan banyak menu lainnya, wanita itu justru memilih untuk makan di pinggir jalan, sperti mie ayam atau pecel lele. Mila bukan wanita kampungan yang tidak mengerti gaya hidup kekinian, atau makan-makan viral jaman sekarang, tapi wanita itu seolah menarik diri dari dari hal-hal yang berbau trend. Mila seolah membiarkan dirinya terjebak di dalam satu titik yang sama, tidak beranjak dan tidak juga mundur. Ia selah terlihat ingin menjadi sosok baru, Meksi terkadang terlihat sangat memaksa. “Sudah.” Akhirnya wanita itu bersuara, sambil mengusap bibir dengan menggunakan tisu. “Lumayan.” Lanjutnya lagi, menganggukkan kepalanya. “Terus?” Tanto masih penasaran, jawaban wanita itu tidak lantas menjawab pertanyaannya tadi. “Asisten pribadi, memangnya wanita itu artis?” Ia balik bertanya. “Aku nggak paham konteks asisten yang dimaksud, apakah lebih mirip sekertaris atau mungkin seperti asisten rumah tangga dimana wanita itu butuh seseorang untuk mencuci pakaian dan menyiapkan makanannya.” Tanto terkekeh. “Mungkin yang dimaksud asisten pribadi itu menyiapkan segala kebutuhan wanita itu, seperti sekertaris. Nggak mungkin asisten rumah tangga, bayarannya terlalu besar.” Mila mengangguk mengerti, penjelasan Tanto sangat mudah dimengerti olehnya, daripada Nadia yah justru hanya membahas soal gaji dan hubungan yang terjalin dengan wanita itu. Nadia mengatakan mereka berteman baik dan cukup akrab, hingga bisa memastikan wanita itu bisa diajak kerjasama dalam hal pekerjaan. “Tapi aku nggak ada basic sekertaris, aku hanya desain grafis.” Dulu, ia adakah salah satu karyawan kebanggaan Dirgantara grup, sayangnya gelar itu tidak bertahan lama. Mila sendiri pun sangat menyayangkan apa yang terjadi, tapi waktu tetap tidak akan pernah kembali, meski banyak sesal yang kini dirasakannya. “Bisa bajar, nggak harus bisa dalam waktu satu hari. Aku yakin, Nadia pun sudah menjelaskan kondisimu pada temannya. Siapa namanya? Aku lupa.” “Donna,” “Ah, iya.. Dona.” Masih mempertimbangkan tawaran Nandia dan pekerjaan baru yang pastinya jauh lebih menjanjikan. Bukan karet Mila enggan meninggalkan pekerjaannya saat ini, bukan juga karena ia sudah merasa nyaman dengan kehidupan malam, tapi Mila selalu mempertimbangkan segala hal jauh kedepan. Bagaimana jika ternyata menjadi asisten pribadi Donna tidak semudah yang dibayangkan? Bagaimana jika ia tidak memiliki kemampuan untuk beradaptasi di lingkungan seperti itu, sudah sangat lama ia meninggalkan dunia perkantoran. “Apa aku bisa?” Tanyanya dengan tatapan ragu. “Bisa. Aku yakin,” tatapan Tanto jelas memberikan dukungan penuh padanya, lelaki itu memang tidak terlalu setuju dengan pekerjaan Mila saat ini. Pekerjaan yang begitu banyak resiko, selain dilecehkan oleh lelaki hidung belang yang sudah terpengaruhi alkohol, juga karena pekerjaan itu membuat status Mila kian dipandang sebelah mata. Seorang wanita berstatus sebagai seorang ibu, tapi tidak memiliki suami dan juga tidak pernah menikah. Di luar sana, mungkin banyak yang mengalami hal serupa seperti Mila tapi di negara ini, khususnya di tempat tinggal Mila, hal tersebut masih dianggap sebelah mata bahkan tak jarang mereka memperlakukan Mila sedikit berbeda. Bukan beda ke arah lebih baik, tapi justru sebaliknya. “Aku sangat mendukung Nadia, dengan menawarkan pekerjaan itu untukmu. Aku yakin, Donna pun orang yang bisa diajak kerja sama dengan baik.” Tidak hanya Tanto, tapi Nadia pun kerap memberinya dukungan untuk menerima tawaran pekerjaan itu, tapi entah mengapa Mila justru merasakan ada keraguan dalam hatinya yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Keraguan yang kerap hadir, saat ia merasa tidak begitu yakin atau justru akan berakhir dengan permasalahan baru. Entahlah.. “Aku akan menemui Nadia besok,” pada akhirnya Mila memutuskan. “Mau di antar?” Mila menggelengkan kepalanya, “nggak usah. Kamu kerja, kan?” “Iya, tapi aku bisa cuti.” “Nggak usah.” Mila menolak, lagi pula ia hanya akan bertemu Nadia dan mungkin Donna, bukan hal penting yang membutuhkan bantuan Tanto, apalagi sampai lelaki itu meliburkan diri untuknya. “Aku bisa sendiri, lagipula Nadia pasti mau jemput.” Tanto mengangguk, senyumnya mengisyaratkan kekecewaan. Tapi itu lebih baik, sebab Mila tidak mau membuat lelaki itu semakin kecewa dengan memberinya harapan palsu. Esok harinya, Mila mengenakan pakaian casual ala wanita kantoran. Untungnya ia masih menyimpan beberapa stel pakaian lamanya di lemari. Ukurannya pun masih sama, bahkan sedikit lebih longgar sebab ia selalu saja kehilangan berat badannya setiap bulan. Bukan karena penyakit yang menggerogoti tubuhnya, tapi sesuatu yang mengganjal dalam hati, yang belum tuntas. “Ibu pergi kerja dulu ya, sayang.” Pamit Mila pada Talita yang tengah menikmati sarapan paginya. “Ibu kerja?” Tanya gadis kecil itu, menatap heran ke arah ibunya. “Iya, doakan ibu lancar kerjanya hari ini, ya?” Talita mengangguk. “Ibu nggak kerja malam-malam lagi?” Mila tersenyum, dimana hatinya justru terasa sangat perih mendengar pertanyaan seperti itu dari putri kecilnya. Anak kecil yang tidak tahu apapun, tapi harus menanggung sakit yang begitu luar biasa. Terkadang Mila merasa hidup ini tidak adil untuknya. “Nggak sayang, ibu kerjanya siang.” “Oh,,” bibir gadis kecil itu membulat, hingga membuat Mila gemas dan tidak tahan untuk menciumnya. “Ibu berangkat dulu, ya?” . Talita mengangguk, mencium punggung tangan Mila dan tangan kecil itu melambai ke arahnya, yang mulai berjalan meninggalkan area pekarangan rumah. Lokasi jalan raya utama dan tempat tinggal Mila lumayan jauh, hanya jalan kecil dan tidak dapat dilewati oleh kendaraan roda empat. Lokasi rumah yang sangat terpencil, bahkan Mila kerap menyebutnya sebagai rumah pojok. Memang sangat tidak strategis tapi Mila sangat bersyukur mendapatkan rumah tersebut, selain karena harganya yang lumayan murah, juga karena lokasinya yang jauh dari tetangga. “Lama banget!” Keluh seorang wanita dengan mobil putih mewah sudah menunggunya, bahkan ia nyaris saja menyusul Mila, karena sudah terlalu lama menunggu. Kacamata hitam dengan logo brand ternama menutupi sebagian wajahnya, penampilannya yang sederhana tidak mengurangi kesan glamor dan mewah yang kerap di tunjukkan Nadia. Yah,, wanita itu sudah menjadi seorang istri pengusaha kaya raya, ia pun harus mengimbangi penampilannya agar tetap terlihat cantik dan menawan, Meksi Nadia kerap ingin terlihat sederhana. Tapi sederhana versi Nadia dan Mila tentu saja berbeda. “Masih ingat dengan baju ini?” Tanya Mila, saat ia duduk di samping kemudi, dimana Nadia bertugas mengemudi kali ini. Tidak ada sopir yang kerap mengantar Nadia kemanapun ia pergi. Khusus hari ini ia menyempatkan diri untuk mengantar Sahabatnya. “Inget, baju yang Lo pake saat kita seminar di Bandung, kan?” Mila terkekeh, rupanya Nadia masih mengingat kejadian yang pernah mereka lewati dulu. “Sorry, tadi agak lama. Talita lagi mode detektif, lihat emaknya keluar pagi-pagi gini. Biasanya kan masih tidur.” Mila memasang sabuk pengaman, dimana mobil mewah itu melaju pelan meninggalkan gang yang menghubungkan jalan menuju rumahnya. “Apa kabar Talita? Pengen ketemu dia, tapi hari ini buru-buru banget, Donna minta Lo segera datang. Dia kewalahan banget nggak punya asisten beberapa hari aja udah kayak orang kebingungan.” “Talita baik, masih check up rutin tiap bulan.” Mila menceritakan kondisi kesehatan Talita, tapi tidak dengan sosok ayahnya. Itu masih menjadi rahasia sampai saat ini, kecuali Tanto. “Bagaimana kesehatan jantungnya, aman?” Mila berdecak, meringis sejenak. “Nggak bisa disebut baik juga sih, Nad. Dokter tetap menyarankan cangkok jantung.” Nadia menoleh. “Lalu, kapan mau cangkok jantung?” “Nggak tau. Selain sudah mencari pendonor jantung, juga biayanya yang nggak murah.” Keluh Mila. “Gue bisa,” “Nggak, Nad.” Mila buru-buru menyela, tahu Nadia akan kembali menawarkan bantuan padanya. “Biayanya sangat mahal, membayangkan uang sebanyak itu aja gue nggak sanggup apalagi mendapatkannya.” Mila menghela lemah, terkadang putus asa itu masih dirasakannya. “Tapi gue akan tetap berusaha, apapun hasilnya nanti.” “Lo bisa pinjem gue, Mil.” Nadia menatap sedih ke arah Mila. Sebagai wanita yang belum merasakan memiliki anak, tapi Nadia tahu betul bagaimana ketakutan dan kekhawatiran yang dirasakan Mila saat ini. Mila terkekeh. “Hutang sebanyak itu gimana cara bayarnya? Mengabdi sampai gue mati juga nggak bakal lunas, atau gue jadi b***k Lo sekaligus jual rahim gue?” Mila tersenyum menggoda. “Gue mau hamil anak Arik, jadi kayak jual rahim gitu. Nanti anaknya buat Lo.” “Sialan Lo!” Umpat Nadia, melempar boneka beruang yang ada di depannya. Mila hanya terkekeh saja, begitu juga dengan Nadia
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN