Saat itu..
Ibu menatap sedih ke arah Mila, saat wanita itu baru membuka mata untuk pertama kalinya, setelah dinyatakan koma selama dua hari.
Mila mengalami pendarahan hebat, usai menjalani operasi Caesar saat melahirkan putrinya Talita.
Sakit menjalar ke seluruh tubuh, sampai Mila tidak tahu mana yang paling sakit, bahkan hatinya pun ikut sakit.
“Aku minta maaf,” kalimat pertama yang diucapkan Mila, dengan tatapan sedih ke arah ibunya.
“Tidak apa-apa, Nak.” Ibu mencium punggung tangan Mila, mengusap dengan cepat lelehan air mata yang mulai membasahi wajahnya.
Kesedihan terlihat jelas di kedua mata Ibu yang sembab, bisa dipastikan wanita paruh baya yang baru kehilangan suami tiga bulan itu menangis tanpa henti saat Mila dinyatakan koma, akibat pendarahan.
“Ibu senang, akhirnya kamu sadar. Terimakasih Nak, sudah bertahan untuk Ibu dan juga anakmu.”
Ibu kembali menangis, ada rasa bahagia dan sedih, bercampur menjadi satu.
“Ibu selalu yakin, kamu bisa melewati semua ini.” Ibu mengecup kening Mila dan mengusap lelehan air mata yang juga membasahi wajahnya.
Momen melahirkan adalah momen dimana beberapa orang kerap menyambutnya dengan suka cita, saat anak kecil menggemaskan melengkapi kebahagiaan keluarga. Tapi, hal tersebut tidak dirasakan Mila. Momen melahirkan yang dialaminya justru menjadi momen yang sangat mengharukan.
Bukan karena ia tidak menyambut bahagia bayi kecil yang baru saja dilahirkannya dengan mempertaruhkan nyawa, tapi sebelum bayi kecil itu lahir ke dunia ini, Mila baru saja kehilangan sosok ayah.
Satu-satunya lelaki di dunia ini yang mencintainya dengan tulus, dan tanpa syarat.
Lelaki paruh baya itu menghembuskan nafas terakhir, setelah mengidap penyakit komplikasi. Sebelumnya, Bapak memang sudah memiliki riwayat sakit, tapi kondisinya semakin parah setelah mengetahui Mila hamil tanpa suami.
Bapak sering drop.
Meski begitu, Bapak adalah salah satu orang yang mendukung keputusan Mila untuk membesarkan bayi dalam kandungannya, sayangnya Bapak belum sempat bertemu bayi kecilnya, sebab malaikat maut sudah terlebih dulu menjemputnya.
Sakit dan kecewa itu membelenggu Mila, membuat banyak penyesalan yang masih dirasakannya dan entah kapan akan berakhir.
***
“Bapak, maafin Mila.” Rintihnya dalam tangis.
“Pak, Mila minta maaf.” Ulangnya, dengan sesal yang tidak pernah berkurang, justru semakin bertambah setiap harinya.
“Pak!” Panggilnya, kali ini dengan suara lebih kencang.
“Bapak!”
Kedua mata Mila terbuka lebar, nafasnya memburu dengan keringat yang membasahi wajahnya.
Ia menoleh ke segala penjuru, mencari sosok yang baru saja dilihatnya.
“Roti! Roti!”
Suara yang begitu familiar di telinga, kerap didengar Mila setiap pukul sepuluh pagi, yang artinya baru saja ia bermimpi.
Mila memaksa bangun dengan perlahan, seluruh tubuhnya benar-benar nyeri.
Ia mengusap satu tangannya, dimana memar merah itu terlihat.
“b******k!” Umpat Mila, saat mengingat siapa pelaku yang sudah membuat satu tangannya memar itu.
Untuk beberapa saat Mila terdiam, menatap hampa ke arah jendela dimana sang matahari sudah terlihat sangat terik. Usai kejadian semalam, Mila benar-benar merasa lelah dan anehnya ia bisa langsung tertidur dengan mudahnya padahal ia baru saja dilecehkan oleh lelaki b******k itu.
Seperti menelan obat tidur dengan dosis tinggi, Mila bisa tertidur sampai akhirnya mimpi itu membuatnya terjaga.
“Sudah bangun? Ibu pikir belum.” Ibu muncul dari balik pintu, penampilannya sudah sangat rapi, begitu juga dengan Talita. Gadis berkuncir dua itu terlihat lebih rapi dari biasanya, bahkan ia mengenakan masker bermotif lucu, menutupi sebagian wajahnya.
Mila sempat ingin bertanya, kemana mereka akan pergi hari ini?
Tapi setelah melihat name tag yang tergantung di leher Talita, barulah Mila sadar.
“Ya ampun! Maaf Ibu ketiduran, sampai lupa hari ini jadwal Talita checkup.” Mila bergegas keluar dari selimut yang masih membungkus sebagian tubuhnya.
“Tunggu sebentar, Ibu akan langsung mengganti pakaian.” Mila tidak butuh mandi, apalagi berdandan rapi layaknya wanita seusianya. Ia benar-benar mengabaikan penampilan, ia lebih baik terlihat kusam dan dekil, asal pengobatan Talita berjalan dengan lancar, tanpa kendala dan tanpa kekurangan biaya.
Menggunakan taksi online, mereka bertiga langsung berangkat menuju rumah sakit.
“Andev Mikail Sp.Jp”
Nama yang tertera di salah satu pintu, di rumah sakit spesialis jantung. Kunjungan rutin bersama sang dokter nyaris dilakukan Mila dan Talita setiap bulan. Jika kondisi stabil hanya satu bulan sekali, tapi jika kondisi Talita tiba-tiba drop, maka pertemuan pun akan menjadi lebih sering.
Dokter lelaki berparas tampan itu sudah mengenal Talita dengan baik, kedekatan yang terjalin cukup lama, sekitar tiga tahun, membuat Talita sudah tidak canggung lagi saat bertemu dengannya.
“Apa kabar Talita?” Andev menyapa dengan senyumnya yang menawan.
“Baik.” Jawab Talita malu, lantas mengulurkan satu tangannya, mencium punggung tangan lelaki itu.
“Anak baik, ayo kita periksa dulu. Semoga hasilnya semakin baik ya, nanti Dokter kasih coklat yang sangat enak.”
Talita mengangguk antusias, merentangkan kedua tangannya saat Dokter Andev hendak menidurkannya di atas pelbet, untuk melakukan pemeriksaan.
Pemeriksaan rutin, tapi tetap saja membuat Mila ketakutan saat hendak menerima hasilnya.
“Talita dan nenek boleh tunggu di luar, Dokter mau bicara sama Ibu Mila dulu, oke?”
Talita mengangguk patuh.
“Ini coklat untuk Talita karena sudah bersikap sangat manis hari ini.” Andev menepati janjinya, memberikan coklat untuk Talita.
“Anak baik, sehat-sehat ya.” Andev mengusap puncak kepala Talita dengan lembut sebelum akhirnya gadis kecil itu keluar bersama sang nenek.
“Bagaimana hasilnya, Dok?” Mila sangat tidak sabar, hanya beberapa detik usai kepergian Talita, ia lantas menatap serius ke arah Andev.
“Hasilnya masih tetap sama, kondisinya sangat stabil untuk saat ini.” Andev tersenyum, memberikan catatan yang tidak dimengerti Mila
Tapi lelaki itu akan dengan senang hati menjelaskan.
“Tapi, aku tetap menyarankan untuk melakukan cangkok jantung, sebab kondisi Talita saat ini tidak menjamin kondisinya akan tetap stabil. Terkadang kondisi seperti itu kerap mengelabui kita, sampai kita merasa aman dan tiba-tiba saja memburuk tanpa kita tahu.”
Opsinya masih tetap sama, cangkok jantung.
“Biayanya sangat mahal.” Rintih Mila dengan suara pelan..
“Benar, tapi aku bisa bantu. Mungkin tidak bisa membantu banyak, tapi setidaknya aku bisa mengurangi beban yang kamu tanggung nantinya.”
Mila menatap sendu ke arah Andev. “Sebelumnya saya ucapkan terimakasih, Dok. Saya akan mengusahakannya, secepatnya.”
“Berdoalah, Semoga semuanya dipermudah.”
Mila hanya mengangguk, mengiyakan.
Harus dengan cara apa lagi ia berdoa?
Ditengah keputusannya nekat bekerja menjadi seorang LC, tentu saja Mila masih kerap melantunkan doa untuk kesembuhan putri semata wayangnya. Dosa yang dilakukannya dulu amat sangat besar, tapi Mila tetap tidak pernah putus asa untuk memanjatkan doa, anggap saja ia tidak tahu diri, tapi Mila selalu berharap agar putrinya bisa sembuh dan hidup dengan baik seperti anak seusianya.
Satu koma sembilan milyar.
Nominal yang saat ini berputar dalam pikirannya.
Jumlah yang tidak sedikit, dan dibutuhkan waktu yang sangat lama untuk mengumpulkannya.
Mampukah ia mengumpulkan uang sebanyak itu dalam waktu singkat?
Sangat mustahil.
Tapi Mila tidak akan menyerah, ia akan melakukan apapun untuk kesembuhan Talita, meskipun pada akhirnya ia harus rela menjual diri seperti yang dilakukan Wiwi.
“Ibu mau tebus obat dulu, ya? Talita sama nenek tunggu disini, jangan kemana-mana.”
Ada obat yang harus ditebus, dan harganya pun tidak murah. Tapi Mila tetap mengusahakan itu, sebagai salah satu cara membuat jantung Talita tetap dalam kondisi aman.
Saat Mila pergi menuju apotik untuk menebus beberapa obat, Talita dan Ibu menunggu di salah satu bangku besi yang disediakan pihak rumah sakit. Layaknya anak kecil berusia enam tahun, Talita kerap ingin bermain dan tidak mau diam.
Talita berjalan kesana-kemari dengan coklat di tangannya, tidak memperhatikan sekitar saat menoleh menjawab panggilan sang nenek, Talita menabrak seseorang. Beruntung orang tersebut berhasil meraih tubuh kecilnya, hingga hanya coklatnya saja yang terjatuh dan pecah.
Talita menangisi.
“Hai, kamu baik-baik saja?” Tanya lelaki yang tidak sengaja menabraknya.
“Kamu apain gadis kecil itu, sayang? Kenapa dia menangis.” Wanita yang bersamanya pun langsung menghampirinya.
“Anak manis, kamu kenapa? Ada yang sakit?”
Talita menggeleng. “Itu jatuh, rusak!” Ia menunjuk ke arah coklat miliknya yang sudah terjatuh dan hancur.
“Oh itu. Maaf ya, aku nggak sengaja. Aku ganti, mau?”
Talita mengangguk.
“Tolong jaga dia, aku akan membeli coklat dulu.”
“Baiklah.”
Dimas pergi, ke salah satu toko yang ada di sekitar rumah sakit untuk mengganti cokelat yang sudah dirusaknya tanpa sengaja..