Alasan mengapa Dimas begitu kesal dan tersinggung, yakni karena selama di penjara, Dimas kerap mengkhawatirkan Mila.
Nyaris setiap hari memikirkannya, bahkan tak jarang ia merasa begitu bersalah, telah mengusir wanita itu tanpa menjelaskan terlebih dahulu apa yang sebenarnya terjadi.
Bahkan saat ia bercinta dengan kekasihnya, saat itulah matanya terpejam dan bayangan seorang Mila memenuhi ruang pikirannya saat mencapai pelepasan.
Memang tidak adil untuk Donna, tapi itulah fakta yang sebentar terjadi selama ini, yang selalu Dimas tutup-tutupi darinya.
Sebanyak apapun Dimas berhubungan, sama sekali tidak mampu melupakan sosok wanita yang kini ada di hadapannya.
“Dimas, please!” ucap Mila dengan susah payah dia berusaha terus menarik cengkraman Dimas, di lehernya.
“Mohonlah, aku suka mendengarnya.” Bisik Dimas tajam, mengikis jarak dengan menghimpit tubuh besarnya pada Mila, sehingga wanita itu tidak dapat berkutik.
Satu tangan Dimas dengan kurang ajarnya mendarat di salah satu paha Mila, rok mini yang dikenakannya bisa dengan mudah diangkat hanya dalam satu tarikan. Disentuhnya kulit Mila yang terasa begitu lembut.
Apa memang selembut ini? Pikir Dimas.
Mila berontak merasa tidak terima disentuh, meski bernapas dengan terengah, tetapi sorot mata mengikat tajam seolah hendak memangsa lawan, yang membuat hasrat Dimas melonjak begitu saja melihat betapa liarnya wanita itu.
“Jangan sentuh aku! Sialan!” umpat Mila, lalu meringis pelan ketika Dimas mengeratkan cengkramannya di leher.
Melihat wanita itu kesakitan membuat dimasn b*******h, aneh sekali.
Melihatnya kesakitan seperti ada sensasi kepuasan dalam diri Dimas.
Satu tangan Dimas merayap naik, tepat di depan titik sensitif yang membuat nafas Dimas memberat.
Mila kian brutal dalam upaya melepaskan diri. Ia memukul-mukul bahu Dimas, mendesaknya mundur dan berusaha menginjak kaki lelaki itu.
“Jangan!” Pekik Mila saat lelaki itu berhasil menarik celana dalamnya hanya dengan satu tarikan saja.
“f**k!” desah Dimas, memejamkan mata, saat satu tangannya berhasil memasuki area sensitif Mila. Degup jantungnya bergemuruh kencang, nafasnya memburu kasar.
Sial!
Setelah enam tahun berlalu, seharusnya Dimas melupakan Mila. Saat bertemu pertama kali di Bandung, niatnya hanya ingin membalaskan dendam. Ternyata hal pertama yang diinginkannya adalah membuat pelepasan.
“Dimas!” Panggilan bernada desahan itu kembali mengumandang di telinga Dimas, yang semakin membangkitkan sisi iblis dalam dirinya.
Cengkraman di leher Mila lepas, saat Dimas mulai bernafsu untuk menyentuh bagian tubuh Mila yang lain, apalagi saat satu tangannya berhasil menurunkan tali tank top yang dikenakan Mila dimana ia bisa melihat dua bukit kembar yang begitu menggoda untuk disentuh.
Dimas meringis ketika tangan Mila mulai mencengkram rambutnya, menjambak kasar, agar tatapan keduanya bertemu.
Keduanya memberi sorot mata tajam yang sama.
“Bagaimana, apakah aku masih menjadi satu-satunya lelaki yang bisa memuaskanmu?”
Bisik Dimas dengan nada sinis dan terkesan mengejek.
“Munafik! Untuk apa berontak jika masih bisa menikmati apa yang kita lakukan sekarang.” cibir Dimas.
.
“Jangan terlalu membanggakan diri, Tuan. Banyak lelaki yang jauh lebih hebat darimu.” Balasnya, dengan nada tidak kalah sinis dan masih memberikan seringaian mengejek.
Mila mengerang saat Dimas mulai melakukan penyatuan, sementara Dimas kembali meringis, karena Mila membalasnya dengan mengeratkan jambakan di rambutnya hingga kepala lelaki itu mendongak.
Mila tidak pasrah, ia masih melakukan perlawanan tapi semakin melawan, Dimas justru semakin b*******h.
Saat penyatuan itu berhasil, keduanya berciuman. Bukan ciuman hangat dan lembut, melainkan keinginan untuk saling menyakiti. Dimas menggigit bibir bawah Mila, begitu juga yang dilakukan wanita itu, menggigit bibir atas Dimas.
Isapan yang keras dan kasar, diiringi rintih sakit dari keduanya, Mila yakin lidahnya terluka saat ia bisa merasakan asin di sela ciuman kasar itu.
Dimas berhasil melepas ciumannya, dimana keduanya mengerang penuh damba seolah baru pertama kali merasakan nikmatnya bercinta.
Dimas mengakuinya, wanita itu masih sangat sempit, mencengkeram nya di bawah sana dengan begitu sesak dan panas. Dimas bahkan butuh waktu beberapa saat untuk menenangkan degup jantungnya yang semakin menggila.
“Aku yakin, semua pelangganmu tidak ada yang seistimewa aku, buktinya kamu masih sesak dan sempit.” Ejek Dimas, meskipun sudah terlihat kacau, tapi mulut lelaki itu tetap berbisa. Dimas mengangkat satu kaki Mila, menahannya dengan kakinya, agar menjadi tubuh wanita itu tetap pada posisi yang memudahkan keduanya menyelesaikan apa yang sudah mereka mulai. Posisi yang membuat Dimas semakin leluasa menikmati setiap hentakan keras yang semakin menggila.
“Atau,, atau jangan-jangan tidak ada wanita sepertiku, yang membuatmu tidak sabaran sepet ini hingga harus melakukannya di tempat seperti ini.” Balas Mila tidak mau kalah.
“Aku merasa tersinggung, karena tamuku yang lain, selalu menyediakan tempat yang layak dan, ah,,,” Mila nyaris tidak bisa menahan tubuhnya, saat lelaki itu menghentak dengan keras dan keras.
Untuk menahan tubuhnya yang hampir terjatuh, Mila berpegang pada kedua bagi Dimas.
Dimas pun tidak pernah merasakan sensasi sempit dan panas dalam setiap gesekan saat menggagahi seorang wanita, seperti saat ini. Kepalanya semakin penting, saat gairah sampai ke titik puncak. Satu tangan Dimas meremas kencang salah satu gunung kembar Mila hingga wanita itu merintih kesakitan.
“Dimas,, ah,,” dengan cepat ia membuka mulut Mila rapat-rapat dengan satu tangannya.
Keduanya bernafas dalam buruan kasar, menikmati sensasi klimaks yang masih terasa dalam diri. Tidak ada kalimat yang terucap, setelahnya mereka sibuk merapikan diri.
Mila mengambil Coat hitam untuk menutupi tubuhnya, hingga sebatas lutut. Rok pendek yang dikenakannya pun sudah kembali terpasang dengan seperti semula. Ia bergegas mengambil tas miliknya dari dalam loker, lantas hendak pergi meninggalkan Dimas. Tapi saat tangannya menyentuh gagang pintu, ia kembali mendengar suara lelaki itu lagi, yang juy sudah terlihat berpenampilan seperti semula. Hanya rambutnya yang terlihat sedikit acak-acakan akibat jambakannya tadi.
“Berikan nomor rekeningmu, aku akan membayarnya untuk yang barusan.”
Mila memegang erat gagang pintu, menahan diri untuk tidak terpancing apapun lagi. Mila sadar pada akhirnya dia akan tetap kalah.
“Tidak perlu.” Masih dengan posisinya, tanpa menoleh sedikitpun.
“Gratis, khusus untukmu.”
“Aku tidak suka barang gratis!”
Tolak Dimas.
“Kalau begitu lupakan saja. Aku pun tidak ingin udah darimu.”
Mila membuka kunci yang sempat diputar Dimas untuk memastikan tidak ada orang lain yang masuk saat lelaki itu melecehkan nya. Lantas ia berjalan dengan cepat menuju area dimana ia bisa menemukan ojek atau taksi online.
Di tengah guyuran hujan, saat dalam perjalanan pulang, Mila menangis.
Bahkan setelah meninggalkan luka yang begitu dalam di hatinya, lelaki itu masih saja mempermainkannya, menganggapnya hanya mainan saja.