“Bayaran untuk malam ini sudah saya kirim ke nomor rekening masing-masing. Terimakasih untuk kerjasamanya malam ini,” Seorang pria bertubuh gempal menghampiri Mila dan wiwi, saat jam kerja keduanya selesai. Irawan namanya.
“Kalian boleh pulang, jika tidak ingin menambah jam kerja. Semakin malam, semakin mahal bayarannya.” Irawan, tersenyum menggoda. Tawaran yang sama, tapi Mila tetap akan menolaknya.
“Tidak Pak, saya mau langsung pulang saja. Udah di tunggu anak.” Tolak Mila, usai memastikan pembayarannya berhasil masuk melalui aplikasi bank online.
“Ya sudah, itu pilihan kamu.” Irawan memang tidak pernah memaksa, meski tidak pernah berhenti menawarkan tawaran yang begitu menggiurkan itu.
Tapi Mila sadar betul konsekuensi yang akan diterimanya nanti, saat menjerumuskan diri ke dalam dunia hitam yang tidak hanya menjanjikan penghasilan besar, tapi resiko yang besar juga.
“Mbak Mila mau langsung pulang?”
“Iya, udah janji sama Talita, besok pagi mau ke antar dia ke rumah sakit.”
“Berobat?”
“Iya, cek bulanan. Semoga saja hasilnya baik, sampai nanti, saat kami berhasil menemukan donor jantung jantung yang cocok.” Jelas Mila. “Juga dengan biayanya.”
Wiwi menatap sendu. “Semoga segala sesuatunya di berikan kelancaran, Mbak.”
“Iya, Mudah-mudahan. Kamu mau langsung pulang?”
Wiwi menggeleng. “Kayaknya nggak, ada urusan sebentar, Mbak Mila pulang duluan aja.”
“Baiklah. Aku pulang duluan, ya?”
Wiwi mengangguk dan keduanya berpisah, dimana Mila menuju loker tempat penyimpanan barang, sementara Wiwi entah pergi kemana
Apapun yang dilakukan itu, Mila tidak pernah ikut campur. Persahabatan yang terjalin tidak lantas saling merecoki masalah pribadi. Itu hak Wiwi untuk melakukan apa saja yang diinginkannya, yang artinya wanita itu bertanggung jawab penuh atas keputusannya.
Tadinya, Mila akan langsung memesan ojek online untuk mengantarnya pulang. Rian tidak bisa menjemputnya, dikarenakan ada pekerjaan lain yang mengharuskan lelaki itu pulang lebih dulu.
Saat Mila keluar dari ruang khusus karyawan, tiba-tiba saja ia bertemu dengan seseorang yang sangat tidak ingin ditemuinya. Tatapan lelaki itu begitu tajam ke arahnya, membuat Mila merasa takut dan terintimidasi hanya dengan tatapannya saja.
Menoleh ke kanan dan kiri, untuk memastikan situasi, sayangnya di tempat itu hanya ada dia seorang. Nafas Mila tertahan saat melihat sosok itu berjalan mendekat, nyaris membuatnya mundur karena merasa terintimidasi. Tapi sikapnya seperti itu hanya akan membuat Dimas merasa menang, karena telah berhasil memposisikan dirinya sebagai satu-satunya orang yang berhasil mengusik ketenangan Mila.
Tidak!
Hal tersebut tidak akan dibiarkan!
Mila akan balik menatap lelaki itu, menunjukkan padanya bahwa ia tidak merasa takut sedikitpun.
Sepasang mata Dimas sudah menyapu lekuk tubuh Mila, dalam balutan pakaian serba mini. Rok mini yang memperlihatkan paha mulusnya, bagian atas pun tidak kalah menggoda dimana belahan d**a itu terlihat sangat menggoda. Dari semua yang terlihat, pikiran Dimas langsung bekerja untuk bagaimana melucuti pakaian wanita itu, dan melihat lekuk tubuhnya tanpa halangan sedikitpun.
“Ada yang bisa saya bantu, Tuan?” Tanya Mila, saat jarak keduanya sudah sangat dekat. “Sepertinya anda salah memasuki ruangan lagi.” Berusaha untuk tidak terlihat gugup apalagi takut, Mila justru menatap Dimas dengan tatapan berani.
“Tidak, aku tidak pernah salah dalam apapun!” Jawabannya dengan senyum menyeringai..
“Lantas, ada perlu apa Tuan datang ke tempat ini?”
Sebutan “Tuan” Yang ditujukan Mila padanya, membuat Dimas merasa sangat tersinggung. Padahal sebutan itu sudah lumrah di dengarnya, baik di klub, atau di lingkungan kantor.
“Aku butuh penjelasan dari seseorang yang tiba-tiba pergi begitu saja.”
Mila tersenyum samar, “Sepertinya Tuan nggak butuh penjelasan karena seperti yang Tuan katakan tadi, anda selalu benar.”
“Stop panggil aku Tuan!” Langkahnya semakin dekat, mendekam Mila hingga wanita itu terpaksa mundur, dimana punggungnya menyentuh dinding yang dingin.
“Lihat kamu sekarang, meninggalkanku hanya untuk bekerja di tempat murahan seperti ini? Menyedihkan.” Desti Dimas dingin.
“Apa aku harus minta izin terlebih dulu, setelah Anda membuangku, Tuan?” balas Mila sambil mengangkat alisnya dengan lantang dan menatap Dimas.
“Oh, jadi ini yang kamu mau, pergi tanpa kabar dan tiba-tiba menjual diri? Murahan!”
Mendengar ucapan Dimas, Mila langsung menatapnya dengan ekspresi menggelap.
“Anda nggak berhak mengatakan hal seperti itu, sementara anda,!”
Tiba-tiba Dimas menarik tubu Mila, untuk maju dan mendekapnya erat. Tidak sampai disitu, ia kembali mendorong tubuh Mila ke pintu, setelah ia menguncinya hingga di ruangan itu hanya mereka berdua saja.
Tatapan mengintimidasi, tekanan yang cukup dalam, hingga membuat Mila meringis pelan. Disitu, Dimas menyeringai puas saat berhasil melihat sorot mata sok berani itu berubah menjadi takut dan cemas..
“Katakan, kenapa hari itu kamu pergi dan tidak kembali. Apa diam-diam kamu membesarkan anak itu sendiri?” Desis Dimas tajam.
“Kamu nggak pernah peduli sama aku, kenapa kamu tanyakan hal itu sekarang? Perlu kamu tahu, saat ini apa yang aku lakukan dan apa yang kamu jalani, bukan lagi urusanmu. Bukankah kamu yang memintaku pergi! Arghh!”
Semakin kesal, sampai Dimas menangkup leher Mila dalam satu cengkraman kuat disana. Sorot mata lelaki itu tajam dan nyaris tidak berperasaan. Bahkan tidak peduli ketika Mila mulai kesulitan bernafas.
“Jangan mengujiku, p*****r!” Sembur Dimas dengan nada yang begitu dingin.
Kedua tangan Mila sudah mencengkram pergelangan tangan Dimas yang menangkup lehernya, berusaha menariknya, tapi sia-sia. Sebab, Dimas semakin kuat dan pemberontakan Mila tidak berarti apa-apa.
“Lepasin aku!” Ucap Mila dengan suara tercekat.
“Tidak, sebelum aku tahu alasan kamu pergi begitu saja.”
“Dimas!”
“Baiklah, jika itu pilihanmu pergi dariku hanya ingin menjajakan tubuh seperti sekarang, aku maklumi. Tapi, aku pun ingin merasakan kembali bagaimana rasanya saat ini, apakah masih sama seperti dulu? Atau mungkin sudah jauh lebih mahir?”
Dimas menyeringai, dimana Mila justru mulai ketakutan