Part 3: Pembalasan Dendam

2026 Kata
Ana bengong, kayak orang linglung sambil mengaduk-aduk makannya tak minat. "Ana, makanannya jangan dimainin gitu!" Tegur Sulikah, Ibunya. Ana tersentak, meringis sebelum akhirnya melahap cepat makanan nya. Pikirannya sedang bercabang, ruwet tak karuan. Setelah acara pelaporannya tadi, sialnya dirinya baru diberitahu teman-temannya kalau Ceye adalah anak dari pemilik perusahaan. Trus sekarang nasib kerjaannya gimana dong?! "Kamu lagi banyak pikiran ya?" Ana menatap Burhan sang Ayah, sambil tersenyum simpul menanggapi. "..... cuma urusan kerja kok." "Kamu kalau lagi dirumah jangan banyak pikiran, nanti tubuh kamu bisa drop." Pesan Sulikah sudah khawatir. Ana mengangguk pelan, "hng," gumamnya tak terlalu bersemangat. "Ck, galau tuh galau!" Ana menoleh sewod kearah Rehan, sang Adik. "Bocah diem aja deh, gak usah ngurusi urusan orang gede!" Cibir Ana judes. Rehan mendengus panjang, melempar kerupuk kearah Ana membuat Sulikah langsung melotot memperingati. "Aku udah kuliah, banyak gebetan juga. Gak kayak Mbak udah gede tetep aja jomblo." Celetuk Rehan tersenyum pongah. Gini-gini dirinya merupakan prince charming di kampusnya yang setiap hari dikerubungi gerombolan cewek-cewek. Yaiyalah, secara dirinya adalah ketua BEM paling famous seantero kampus! Ana menusuk kasar daging ayamnya dengan garpu, sambil menghunus tajam kearah Rehan seolah mengatakan kalau ayam itu adalah reinkarnasinya. "Pak, Adek loh!" Adu Ana akhirnya kearah Burhan dengan tak tau malu, sambil mencuatkan bibir sok lucu. Gini-gini Ana manjanya gak ketulungan. Rehan mencibir geli, berdiri dari kursi makan sambil menatap jengah Kakaknya. "Cih! Udah gede tapi masih suka ngaduan." Rehan tersenyum miring, "~boocaah.." lalu berlari terbirit-b***t kelantai atas kamarnya saat mendengar bantingan sendok dan garpu yang seperti aransemen kromprang-krompyang. Burhan dan Sulikah sudah angkat tangan, terlalu capek melerai kedua anaknya yang udah bebal sekali itu. "Kamu tuh jangan ladenin omongan Adek kamu terus, udah tau kalo wataknya gitu." Ceramah Sulikah seperti biasa. Ana melengos panjang, memain-mainkan gelas ditangannya. "Gimana gak diladenin, nyebelin gitu!" "Tapi yang diomongin Adek kamu ada benernya loh." Ana mengerjap tak paham, Sulikah tersenyum penuh arti. "Kamu sudah gede, harusnya sudah punya pendamping hidup." Ana melotot. Nah kan mulai lagi! "Gitu mulu ah, gak asik!" "Mbak umur kamu itu sudah 24 tahun, udah cukup dewasa!" Pepet Ibunya masih ngebet mantu. "Umur Ana kan masih dua-puluh-empat tahun Buk, bukan empat-puluh-dua tahun. Jadi kenapa harus cepet-cepet coba?" Tuh kan, kalau pembahasannya sudah masalah ginian Ana dan Sulikah seolah menjelma menjadi rival anti badai. Burhan yang tak mau nimbrung urusan cewek jadi melipir tanpa suara, soalnya terakhir kali dirinya melerai malah dirinya sendiri yang kena semprot. Burhan sudah trauma. "Kamu lihat dong Seli temen kamu, anaknya sudah 5 loh Na. LIMA!" Sambil mengangkat kelima jari tangannya, Sulikah memaju-majukan telapak tangannya sampai nemplok di wajah Ana. Ana mendengus, menggoyang-goyangkan kepalanya karna telapak tangan Ibunya masih setia bertengger di wajahnya. "Emang kenapa sih Buk kalo Seli anaknya 5." Ana menyebutkan nama teman SMA nya itu. Yang sekaligus merupakan tetangga sekompleknya. "Cuma 5 kan? Cih, ntar Ana buatin Ibu cucu selusin." Sulikah mendelik horor, dikira mau beli telor ayam apa. "Kamu ini yha! Kalo dibilangin sukaaa banget ngejawab!" Omelnya marah-marah. "Kemarin Ana diem Ibu malah ngomel ke Ana, gimana sih!" Balas Ana ikut sebal. Sulikah jadi makin mendelik, yang tak lama kemudian sudah melengos panjang. "Kamu anterin makanan ke rumah Wildan gih." Suruh Sulikah akhirnya. Ana yang sejak tadi tak berselera pun langsung menegak, mengedip-ngedip berbinar kearah Ibunya. "Loh, udah pulang dari luar kota Buk?!" Tanya Ana hampir memekik saking antusiasnya. Sulikah yang tadi memasang wajah garang perlahan mengendor, memepet kearah Putri sulungnya ini. "Udah dari kemarin, Ibu diberi tahu Mbak Cici." Jelasnya menyebutkan nama Ibu Wildan. Sulikah lalu membuat corong di bibir dengan telapak tangannya seolah hal yang akan dikatakannya merupakan rahasia besar. "Masih jomblo." Bisiknya seperti setan yang lagi goda target. Ana melebarkan iris matanya, "trus yang kemarin kemana?" Bisik Ana mengikuti gaya Ibunya. Sulikah mengibaskan tangan masa bodo. "Ah kata Mbak Cici mantannya kemarin itu kelakuannya jelek," Sulikah makin menyondong kearah Ana. "....... dia selingkuh." Ana sontak berdiri dari tempat duduknya, menggebrak meja makan dengan penuh ke dramatisan. "Berani-beraninya dia selingkuhi Mas Wildan!!!" Pekik Ana berapi-api. Sulikah diam-diam sudah tersenyum penuh arti. "Makannya cepet pepet Mbak, jangan sampe keselip lagi!!" Dukung Ibunya makin menjadi-jadi. Ana mengangguk cepat, sambil mengepalkan tangan kanannya ke udara. "DEMI MAS WILDAN!" "DEMI CALON MANTU!" "Bapak ngapain?" Burhan terlonjak kaget, menoleh kebelakang mendapati Rehan yang lagi ikut-ikutan ngintip dari balik tembok. Burhan menghela napas panjang. "Bapak suka heran sama para cewek, tadi habis berantem lalu sekarang malah sedang kerjasama." Burhan menggeleng pelan. "Otak perempuan bener-bener ajaib." Rehan mengangguk-angguk sok paham, "bener banget, saking ajaib nya sampe ada pasal kalau perempuan tak pernah salah." Burhan dan Rehan akhirnya cuma bisa saling pandang, menghela napas bersamaan. Untung mereka kaum Adam. *** Ana sudah berdiri di depan pekarangan rumah Wildan, Ana mengangkat HP nya. Mengecek penampilan kece badai nya. "Gini-gini gue cantik ya, hehe." Ana cengengesan melihat dirinya sendiri yang terpantul lewat temper glass HP nya. Gadis itu kemudian cekikikan gila, untung gak ada orang lewat kalau nggak Ana pasti dikira kuntilanak yang lagi mejeng di pinggir jalan. Ana perlahan membuka pagar rumah Wildan, sudah biasa main kesini sejak kecil jadi tak perlu sungkan-sungkan lagi. Anggap saja rumah masa depan nya sendiri, maksudnya rumah calon mertua. "Assalamualaikum!" Ketuknya pada pintu kayu dirumah tingkat itu. "Waalaikumsalam!" Pintu terbuka, menampilkan sosok pemuda tinggi jangkung. Ana langsung menyunggingkan senyum lima jarinya, melambai gak jelas saking saltingnya. "Loh Ana, ngapain malem-malem kesini?" Wildan membuka lebar pintu rumahnya, mengernyit samar kearah Ana. Ana tersenyum kalem, tips biar kelihatan cantik didepan cogan. "Ini Mas, Ibu suruh aku kasih ini ke Mas." Sambil menyodorkan rantang makanan tiga tumpuk kehadapan Wildan. Wildan tersenyum manis, menerima sodoran Ana dengan senang. "Ya ampun repot-repot banget, bilangin makasih ke Bu Sulikah ya." Pesannya yang diangguki cepat Ana. "Kita ngobrol di luar aja yha, soalnya keluarga aku lagi keluar semua. Gak enak berduaan didalem." Ana mengerjap, mengangguk patuh dengan cepat. Mau ngobrol di selokan asal sama Wildan mah Ana jabanin. Ana dan Wildan duduk di teras rumah, dengan Ana yang sudah mesem-mesem gila sendiri. Umur Ana dan Wildan berpaut 4 tahun, Wildan yang merupakan Kakak kelasnya dulu merupakan idola Ana. Karna selain tampan Wildan juga sangat religius, sopan, dan jenius. Cewek mana coba yang bisa menolak pesonanya. Dan semakin usia Ana beranjak dewasa Ana makin kesemsem dengan Wildan. Sayang oh sayang ...... Wildan cuma menganggapnya sebatas Adik saja, bahkan Ana kira kesempatannya mendapatkan Wildan kemarin pupus karna Wildan yang sudah mempunya pacar. Tapi siapa sangka, pacarnya malah selingkuh. Kalo jodoh mah gak bakal kemana. "Kamu sudah kerja sekarang?" "Sudah Mas, aku kerja di perusahaan yang waktu itu aku bilang ke Mas." Wildan mengangkat sebelah alisnya, "Andrea's Corp?" Ana mengangguk mengiyakan. Wildan nampak tersenyum bangga, "wah kamu hebat Na bisa kerja di perusahaan besar begitu. Pasti disana orang-orangnya hebat!" Puji Wildan merasa kagum. Ana tersentak, orang-orangnya hebat? Si Ceye, anak pemilik perusahaan yang kelakuannya absurd abis. Atau si Farid, sekertaris CEO yang kayak homo. Ana tersenyum kearah Wildan, "iya, hebat banget Mas. Saking hebatnya Mas pasti bakal jadi gila kalau kerja disana." "Loh kamu ada masalah ditempat kerja?" Tanya Wildan menyadari raut aneh Ana. "Ya masalah pasti ada lah Mas." Gumam Ana memain-mainkan kuku tangannya. "Mas sendiri gimana? Dokter spesialis terbaik se kota, pasti juga banyak masalah kan." Tebak Ana. Wildan merupakan seorang dokter spesialis yang terkenal paling muda dan jenius, selain itu parasnya yang mumpuni membuat Wildan tak jarang ditawari oleh pasiennya sendiri agar menjadi menantunya. "Biasa aja sih Na, gak ada yang spesial di rumah sakit." Ana memicing curiga, "hayo ngaku, pasti Mas banyak yang godain kan disana!" Wildan tertawa renyah menanggapi, "kamu ini yha, mereka memang kadang godain aku. Habisnya kan kamu tahu, cuma aku yang jomblo." Celetuknya disusul kekehan ringan. Ana mendengus pelan, "kalo Mas gak ganteng mereka pasti gak bakal jelalatan gitu. Tau aja sih mereka kalau ada yang bening-bening!" Dumel Ana jadi sewod sendiri. Wildan makin terkekeh geli, menggeleng-geleng menanggapi ucapan lucu Ana barusan. "Kamu tuh kayak pacar yang lagi cemburu, hahaha." Ana terdiam seketika, sekuat tenaga masih berusaha menyunggingkan senyum. Ana sadar .... sadar banget kok kalau Wildan tak pernah menganggapnya lebih dari sekedar Adik perempuan. Tapi kan, Ana gak mau cuma dianggep Adik! Ana pengennya dianggep pacar!! Drrrt .... Drrrt .... Ana mengalihkan pandangan, merogoh benda pipih hitam yang bergetar dibalik saku jaketnya. 0823-3817-XXXX. Nomer asing? "Siapa Na?" Ana melongok kearah Wildan, "gak tau nih Mas. Bentar aku angkat dulu ya." Ijinnya yang diangguki Wildan. "Hal--" "HEH! KAMU BUDEK APA GIMANA SIH?! LAMA BANGET NGANGKATNYA!!" Ana hampir terjengkang kebelakang saking kagetnya, gadis berjaket hitam itu mengumpat dalam hati karna ingat kalau ada Wildan yang duduk didepannya. "Tch, saya kan gak tau kalau ini nomer Bapak!" "BERANI KAMU GAK SOPAN?!!" "N-ngak Pak, maaf ya saya salah." Ucap Ana sehalus mungkin. "Gak saya maafin!" Lah bodo amat Pak. "Heh! Kamu kan yang tadi siang ngelaporin saya ke Ayah saya?!" Ana mematung, disusul ringisan pelan membuat Wildan didepannya mengangkat alis mencoba bertanya. "Gini loh.." "APA?!" "Santai Pak, jangan marah-marah mulu ntar cepet tua loh." "Enak aja kamu ngomong! Saya ganteng gini dikatain tua!" "Ganteng kalo kelakuannya kayak gitu jadi mubazir kali.." Gumam Ana lupa kalau bisa didengar orang seberang. "Apa kamu bilang?!" "Enggak Pak enggak," Ana membantah cepat. "Soal pelaporan saya tadi kan memang salah Bapak sendiri. Lagian Bapak juga bilang gak masalah kalau saya ngelapor kan." Tantang Ana. "Tapi kamu tau gak, gara-gara kamu saya dihukum sama Ayah saya harus bekerja setiap hari tanpa hari libur. Coba bayangkan? BAYANGKAN?!!!" "Ya bagus dong Pak, biar Bapak bisa sadar diri." Balas Ana berani. "Bagus kepala mu!" Terdengar suara bantingan pecah kaca dari seberang, sepertinya Bos nya ini lagi berubah jadi hulk. "Besok kamu datang ke kantor!" Ana mendelik di posisi nya, "enak aja! Minggu Pak, minggu!!" Pekiknya melupakan Wildan yang tersentak kaget didepannya. "Siapa yang bilang kalo besok itu jum'at kliwon?!" "Yha trus kenapa Bapak suruh saya ke kantor, itu hari libur Pak!" "Trus saya peduli?" "Harus dong!" "Akar permasalahan semua ini kan di kamu, kalau kamu gak laporin saya ke Ayah saya pasti saya gak akan dihukum." "Yang dihukum Bapak kenapa yang jadi ribet saya sih!!" "Yha karna kamu babu saya, sudah-sudah pokoknya besok kamu harus masuk ke kantor!" Putus Ceye seenak udelnya. Ana makin menggenggam erat HP nya, "tap--" TUT! TUT! Ana speechless ditempat, sudah hampir salto saking gregetnya. Bisa-bisanya dirinya mendapatkan Bos modelan sempak jin tomang begini. Lama-lama Ana beneran setres kalo gini. "Na." Ana tersentak, hampir melupakan keberadaan Wildan didepannya. Ah sial sekali! Jangan bilang Wildan tadi lihat dirinya yang lagi mode bar-bar. Hancur sudah image Putri Solo yang dia bangun selama ini. "I-iya Mas?" "Itu tadi Bos kamu ya?" Ana mengerjap, melirik sekilas HP digenggamannya. "Iya Mas, itu tadi Bos aku." Wildan mengerutkan dahi samar. "Kayaknya kamu ada masalah, ada apa?" Tanyanya ingin tau. Ana menyengir, menyandarkan punggungnya dengan hembusan napas kasar. "Bos aku itu rada-rada otaknya, jadi yah gitu .... bikin migren." Wildan mengerjap tak percaya, masa Bos di perusahaan Internasional otaknya rada-rada? Ini yang bermasalah Ana atau Bosnya? "Seriusan Na? Tapi dia kan Bos, masa gitu?" Wildan menyuarakan hatinya. "Seriusan Mas, dua rius malahan!" Ana mengangkat jari tengah dan telunjuknya. "Dia itu sukanya nyuruh yang aneh-aneh, ngehukum seenak jidat, nyalahgunain kekuasaan, dan yang paling parah..." Ana menatap wajah Wildan serius. "Narsis nya gak ketulungan!" Wildan melongo, "separah itu?" Beonya. Ana mengangguk cepat, "se-pa-rah itu!" Tekan nya menjawab sungguh-sungguh. Wildan jadi menggaruk tengkuknya kikuk, bingung harus merespon bagaimana. Jarang sekali dia melihat wajah Ana yang seserius ini. Sepertinya Bos Ana itu merupakan pria paruh baya yang gendut, berkepala plontos, dan perut buncit yang suka godain karyawannya. Belum tau saja dia kalau Bos Ana itu wajahnya sekelas member boy band Korea. "Eh udah malem nih Mas, aku pamit pulang dulu ya." Ana berdiri dari duduknya. Wildan tersentak, "iya, kamu hati-hati." Pesannya tersenyum kalem. Ana terkekeh geli, belagak polos sambil nutup kalem mulutnya. "Lebay amat deh Mas, rumah aku kan cuma nyebrang jalan aja." Tunjuknya pada rumah yang berada diseberang jalan. Ungkapan jodoh tak kemana memang benar ternyata, buktinya jodoh Ana aja rumahnya didepan rumah Ana sendiri. Mode ngarep nya kumat. "Dah Mas Wildan!" Ana melambai cantik, sok-sokan berjalan bak Putri-putri kerajaan. Wildan tersenyum simpul, ingin membalas lambaian Ana sesaat sebelum suara gedubrak terdengar. Didepan sana, Ana sedang kejedot pagar rumah Wildan dengan tidak elitnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN