Part 4: Desahan Laknat

2109 Kata
Ana mengepalkan tangannya kuat-kuat, setengah mati menelan emosinya sendiri. Ini tuh hari Minggu, hari libur, hari penuh suka cita. Tapi kenapa dirinya malah disuruh masuk kantor? WHY?! "Empet banget gue sama titisan syaiton itu!" Ana menghentak-hentakkan kakinya, melenggang masuk kantor yang lengang. Ya jelaslah! Siapa juga yang mau masuk kantor hari weekend gini. "Ah ... ahh ... shhh.." Astaghfirullah haladzim, lailahailaallah, itu suara apaan?!! Ana mencelat kaget, mendengar desahan seseorang diruangan yang menggema membuat akal pikirannya mendadak konslet. Bayangan yang tidak-tidak jadi berputar bak kaset rusak. "Argh! Pelan-pelan dong!" Ana makin terperanjat, buru-buru membekap mulutnya sendiri saat mendengar suara yang sangat familiar di telinganya. Itukan suaranya ....... Ceye?! Ceye. Garis bawahi si Bosnya! "Sudah dong Pak jangan paksa saya lagi, Bapak kan tau kalau saya--" "Berani kamu ngelawan?!!" Ana mendadak lola, hampir oleng saking kagetnya. Kalo Ceye lagi ekhem-ekhem sama cewek Ana masih bisa nalar. Tapi barusan itu adalah suaranya Farid. FA-RID! Ana menegakkan tubuh kaku, buru-buru berlari tunggang langgang ke asal suara. BRAK!! "BAPAK LAGI NGAP-- ain ....?" Ceye dan Farid kompak mendongak, mereka bertiga jadi mematung bersamaan. Mungkin kalau ini adalah sinetron pasti sudah ada tulisan bersambung di pojok bawah TV. Ana yang tadi sudah seperti Emak-emak yang kehilangan Tupperware, langsung merapatkan bibirnya. Buru-buru membenarkan posisi tubuhnya agar kelihatan kalem. Tak lupa belagak nyelipin rambut dan melihat-lihat ke seluruh penjuru ruangan dengan wajah watados. "Kamu ngapain?!" Ana menelan ludahnya, menatap Ceye yang tengah mendelik nyalang kearahnya. Ana meringis kikuk, apalagi saat tatapan cengo Farid yang sedang memijat kaki Ceye tertuju kearahnya. Demi bikini buttom, Ana pengen nyebur ke selokan sekarang. "I-itu ... saya tadi kan lagi jalan." Ceye dan Farid mendengarkan khitmat, seperti bocah yang lagi di dongengin Ibunya. "Trus mendadak denger suara aneh." Ana menatap ragu-ragu kearah kaki Ceye yang celananya sudah tersingsing sampai lutut. Ana menelan susah payah ludahnya, melanjutkan kalimatnya dengan nada mencicit. "........ desahan." "HAH?!" "HEEEE?!" Ana menggigit lidahnya kelu, ingin menangis tragis meratapi nasibnya. Ceye dan Farid saling pandang, sampai kemudian Ceye menendang muka Farid. Sampai terjungkir salto kebelakang. "KAMU NGATAIN SAYA HOMO?!!" Pekiknya berapi-api, menggebrak meja sampai suara dentuman keras terdengar. Ana menciut, bagai kelinci yang masuk ke kandang macan. "N-nggak gitu Pak.." "TRUS APA?!" Balas Ceye masih ngegas. Farid yang tadi masih meratapi nasib p****t nya jadi merangkak dengan susah payah, lalu berdiri menatap Ana. "Kamu jangan salah paham, saya masih straight 100%" Ucap Farid tenang. "JADI KAMU NUDUH SAYA YANG BELOK?!" Kini giliran Farid yang kedamprat, Ceye agaknya lagi PMS. Bener-bener kayak orang kerasukan. "Bukan-" "DIAM KALIAN BERDUA!!" "Loh saya dari tadi diem Pak!" Protes Ana membuat Farid ingin melakban mulut gadis itu. Apakah Ana tak bisa lihat kondisi sekarang? Ceye makin meradang, kali ini sambil melempar papan namanya ke lantai hingga hancur berkeping-keping. Farid mundur teratur, masih sayang nyawa soalnya. "KELUAR!" Ana dan Farid saling tatap, takut salah persepsi. Masalahnya Ceye tak menyebut nama siapa yang disuruh keluar. "Kamu budek Farid, keluar sekarang!" Farid tersentak, buru-buru membungkuk sopan. "Siap laksanakan!" Jawabnya sumringah, langsung berlari-lari melenggang keluar ruangan dengan senyum berbunga-bunga. Saat berada didepan Ana, Farid menyempatkan berhenti sejenak. Tersenyum miring sambil mengangkat jari kanannya ke lehernya sendiri. Mam-pus! Ucap Farid dengan gerakan bibir. Ana terperangah, benar-benar tak menyangka dengan tingkah konyol sekertaris CEO ini. Harusnya sejak awal Ana sadar, kalo Bosnya aja aneh pasti bawahannya lebih parah. "Kamu kesini!" Tunjuk Ceye kearah Ana. Ana menarik napas kuat, perlahan melangkah maju dengan hati-hati. Tepat saat berada di depan Ceye, gadis itu langsung menunduk ketakutan. Memilin-milin ujung roknya gemetaran. "Nih! Kamu kerjakan sampai tuntas!" Sebuah berkas melayang ke wajah Ana, membuat Ana sempat berjengkit kaget. Ana menahan napas, mati-matian berusaha tetap sabar. "Baik Pak, saya permisi." Pamit Ana membungkuk, mengambil berkas yang tergeletak naas diatas lantai. Ana menggebrak berkas tadi ke meja saat sudah berada dikubikelnya. Dia menopang tubuh dengan kedua tangannya, hidung dan tenggorokan Ana meradang. Sangat ingin mengoyak tubuh Ceye dan mencabik-cabiknya menjadi ratusan bagian. 'Sabar Ana, lo yang waras harus ngalah sama orang gila.' Ana bersugesti. Ana akhirnya tersenyum kaku, menyemangati diri sendiri sebelum mulai mengerjakan job yang diberikan Ceye tadi. Masalah pembukuan, nominal, keakuratan data untungnya gadis ini mahir. Kalau tidak alamat kena semprot lagi oleh Ceye. Kringgg... Ana tersentak, mengambil gagang telepon disebelahnya. Hari libur gini siapa coba yang repot-repot telepon. "Hal--" "Ke ruangan saya sekarang!!" TUT! Ana cuma melongo, sudah kehabisan kata-kata untuk memaki pemuda konyol itu. Ana berdiri dari duduknya, melangkah lunglai ke ruangan Ceye. Gadis yang mengenakan rompi abu-abu itu sesekali juga menguap, bekerja di tempat sepi dan senyap seperti ini daripada menakutkan lebih ke membosankan. Membuatnya jadi mudah ngantuk. Tok tok tok! "Masuk!" Ana menyiapkan mental terlebih dahulu, baru perlahan-lahan membuka pintu kaca ruangan Ceye. "Permisi Pak, ini berkas nya sudah saya selesaikan." Ana menyerahkan berkas pemberian Ceye tadi kedepan wajahnya, alasan Ceye memanggilnya pasti karna berkas ini. Ceye yang sedang mengetik di komputernya mengangkat wajah, menatap datar Ana. "Kamu bantu saya." Ana mengerjap pelan, "maaf, bantu apa ya Pak?" Tanyanya sesopan yang dia bisa. Ceye menghela napas, menepis berkas yang masih Ana sodorkan kedepan muka nya. Muka gantengnya kan jadi gak kelihatan. "Kaki saya keseleo, bantu saya jalan." "Loh, Pak Farid kemana?" "Lagi saya suruh beli cimol, udah kamu jangan banyak tanya bisa?!" Ana menipiskan bibir, mengangguk patuh. Perlahan Ana mendekat, membantu memegang lengan Ceye. Mereka berjalan bersisihan, dengan Ceye yang sedikit terpincang-pincang. "Kaki Bapak kena apa, kok bisa keseleo gini?" Tanya Ana penasaran, melirik kaki kiri Ceye yang mengenakan sandal slop. Bayangin aja deh, kaki kanan pake sepatu pantofel, kaki kiri pake sandal slop. Sungguh Bos ter ajaib sepanjang sejarah. "Tadi saya kesandung!" Jawab Ceye judes, mungkin masih dendam karna dikatai homoan. "Makanya Pak kalo jalan pake mata, masa udah gede masih kesandung." Komentar Ana jadi mencibir. "Jadi maksud kamu saya ini bocah?! Orang gede gak bisa kesandung gitu?!" Ceye kembali mengamuk, sambil mendorong Ana dan bersandar di tembok. "N-nggak bukan--" "Diam kamu! Makin kesini kamu jadi makin ngelunjak ya sama saya?!" Ceye mendelik-mendelik, dengan tangan teracung-acung ke depan wajah Ana. Ana menghela napas, Bos nya ini lagi dapet apa gimana sih? Daritadi sensiiii mulu. "Saya minta maaf kalau sudah tidak sopan, sudah ya Pak. Ayo kita lanjut jalannya." Bujuk Ana kayak lagi ngerayu balita. Ceye masih memasang wajah judes, membuang muka dari hadapan Ana. "Tch! Saya bisa jalan sendiri!" Galak nya kemudian sudah nemplok-nemplok di tembok kayak cicak. Belum lagi melompat-melompat karna hanya menggunakan sebelah kaki saja untuk berjalan. Ana menggigit lidahnya sendiri, sudah mati-matian menahan ngakak. Itu masalahnya posisi Ceye benar-benar kocak abis, belum lagi saat Ceye hampir oleng terjerembab. Lucunya gak kaleng-kaleng. "Pak jangan keras kepala dong, ayo saya bantu." Ana masih mencoba membujuk, kali ini sambil memegang lengan kekar Ceye. Mau gimanapun juga Ana gak tega ninggalin makhluk ajaib ini di kantor sendirian, nanti takutnya Ceye malah temenan lagi sama penghuni astral disini. "Daritadi dong! Dasar gak peka!" Sengit Ceye langsung merangkul bahu Ana. Ana mendelik, perasaan yang daritadi jual mahal itu Ceye deh. Ana akhirnya hanya bisa menelan kembali protesannya, mulai paham kalo berdebat dengan Ceye sama aja kayak ngomong dengan rumput bergoyang. "Bodyguard Bapak kemana?" Ana mengedarkan pandangan, tak mendapati siapapun di sekitar mobil Lamborghini hitam yang terparkir didepannya. "Lagi saya hukum." "Kenapa emangnya Pak?" Ana menoleh penuh ingin tau setelah mendudukkan Ceye di kursi mobilnya. "Gara-gara mereka saya keseleo, harusnya kan mereka ngejagain saya!" Cecarnya bersungut. Ana melongo, sudah tak terlalu kaget lagi dengan tingkah ajaibnya Ceye. Masalahnya Ceye memang selalu bertingkah ajaib dan tak pernah bertingkah normal. "Oh, y-yaudah kalo gitu saya pamit ya Pak." Ana membungkuk sopan, ingin cepat-cepat lepas dari jangkauan Ceye. Hari libur begini harusnya Ana bisa bangun jam 11 siang. Jadi setelah ini Ana akan menebus tidur nyenyak nya dengan tidur siang. "Kamu mau ninggalin saya dalam keadaan seperti ini. Benar-benar tak punya rasa simpati!" Ketusnya menghakimi. Ana jadi tersulut. "Loh saya udah bantuin Bapak jalan dari kantor ke basement, kurang apa Pak?" "Kamu gak lihat kaki saya keseleo, mana bisa saya nyetir sendiri!!" Ceye menunjuk-nunjuk kakinya sendiri dengan nyolot. "Emangnya supir Bapak kemana? Atau mau saya telponin Pak Farid saja?" Tawar Ana sudah mengeluarkan HP dari tasnya. "Kalo ada kamu disini ngapain harus telpon mereka sih, kamu gak mau bantuin saya? Gak ikhlas?" Emang gak ikhlas saya Pak. "Saya ikhlas kok Pak!" Bullshit sekali mulut gadis ini. "T-tapi saya itu jarang naik mobil Pak, saya takut nanti malah nabrak." Memang benar, Ana jarang mengemudikan mobil karna lebih sering naik angkutan umum. Tapi bukan berarti dirinya gak bisa, karna kadang-kadang dirumah Ana berpergian naik mobil dengan Rehan. "Punya SIM kan?" "Punya." "Yasudah, kamu cocok kalo gitu." Ana mengernyit, "maaf? Maksudnya Pak?" Ceye memasang sabuk pengaman nya, membalas tatapan Ana. "Kamu sudah cocok jadi supir saya." Ana langsung mendelik, hampir melakukan smackdown ke muka Ceye. Sebenarnya otak yang ada didalam kepala pemuda itu fungsinya buat apa ya? Kenapa setiap ucapan dan perilaku nya selalu diluar nalar manusia normal. "Mau dianter kemana?!" Ana akhirnya menurut, duduk di kursi pengemudi dengan mata melirik sinis Ceye disebelahnya. "Anterin saya ke rumah sakit, kaki saya butuh operasi kayaknya." Ceye memberi arahan. "Yang bener aja Pak?!" Ana menyahut tak santai, menatap jengah Bosnya. "Bapak tuh cuma keseleo, bukan patah tulang! Ngapain operasi segala?!" Sungut Ana. Ceye yang tadi sempat menunduk memainkan HP jadi mendongak, menatap datar Ana. "Saya tuh orang penting Na, kalo saya keseleo image saya di kantor gimana?!" "Kaki Bapak diurut juga bakal sembuh kok, saya tau tempat urut yang jos Pak! Mau saya anter kesana?" Tawar Ana mengacungkan jempol sungguh-sungguh. "Enak aja kamu! Itu gak level sama saya!" Tolak Ceye mentah-mentah. Ana seketika mendecih, mau ngatain sok kaya tapi kan nyatanya Ceye memang keturunan konglomerat. Ini nih susahnya debat sama orang berduit. Padahal tadi aja udah diurut sama Pak Farid, cih! Emang belagu nih orang. "Hm, serah Bapak deh. Mau dianterin ke rumah sakit mana?" Ana akhirnya menyerah. "Medical Kencana." Ana langsung tertarik kearah Ceye, jadi mengulum bibir begitu saja. *** "A-A-A-AAARGGHHH!!!" Ana menutup telinganya dengan kedua tangannya, suara lengkingan Ceye sudah ngalahin Ibu-ibu yang lagi lahiran. "Dok itu sak-- UWAAAAAAAA!!" Ceye meronta-ronta, bahkan sekarang sambil tengkurap menggigiti bantal dengan wajah melemas. Dokter yang mengobati kaki pemuda itu mati-matian menahan tawa, seumur-umur menjadi dokter baru pertama kali dirinya ketemu pasien selebay ini. "DOK OPERASI CECAR AJA DOK, SUMPAH INI SAKIT BANGET!!" Racaunya makin ngawur. Ceye mencoba menarik diri, tapi langsung gagal karna dokter tadi buru-buru menarik kaki Ceye membuat teriakan pemuda itu makin kencang menggelegar. Bahkan sekarang Ana bisa melihat banyak orang yang tengah mengerumuni kamar mereka untuk mengintip apa yang sedang terjadi. Ana menepuk jidat, berasa kehilangan muka sendiri. "Sudah selesai Mas." Dokter tadi tersenyum geli, melenggang ke mejanya untuk mencatat resep obat yang cocok. Ceye ngos-ngosan, kayak habis lari maraton 10 kilometer. Ana menghela napas panjang, mendekat kearah Ceye untuk membantu pemuda itu berdiri. "Bapak gak papa?" "Gak lihat mata kamu kalo saya lagi sekarat?!!" Hardiknya emosi. Sebenarnya dokter tadi niat untuk mengobatinya atau malah memperburuk keadaanya sih?! "Ayo sini saya bantu berdiri Pak." Ana masih bisa menahan emosinya, karna tak tega melihat keadaan menyedihkan Bosnya ini. Ceye menurut tanpa banyak bantahan, mungkin tenaganya sudah terkuras habis. Ceye mengulurkan tangan, merangkul bahu Ana untuk berpegangan. Dokter yang sudah mencatatkan resep tadi tersenyum geli, pasangan muda selalu kalau romantis-romantisan tak tau tempat. "Ini resep obatnya bisa ditebus di apotek terdekat, dosisnya sudah saya catatkan." Dokter lelaki paruh baya itu mengulurkan kertas, yang langsung diterima Ana sambil tersenyum sopan. Ceye mah boro-boro sopan, yang ada daritadi menatap wajah dokter didepannya dengan pandangan penuh permusuhan. "Makasih dok." "Oh iya, saran saya buat Mbaknya bisa diurut pelan-pelan kaki suaminya sebelum tidur, insyaallah sembuhnya bakal lebih cepat." Saran dokter tadi kearah Ana. Ana langsung tersedak, sedangkan Ceye makin mengeruhkan wajah. Suami istri katanya?! "I-itu saya bukan istrinya dok." Ralat Ana mengkonfirmasi. Dokter tadi nampak kaget, kemudian terkekeh pelan. "Loh bukan ya? Aduh maaf, habisnya kalian kelihatan serasi banget." Ucapnya jadi tidak enak sendiri. Ana sudah mengumpat dalam hati, bisa-bisanya dirinya dibilang serasi dengan makhluk jadi-jadian disebelahnya ini. "Yaudah saya permisi dulu kalo gitu, makasih ya dok." "Oh, iya sama-sama." Ana menuntun Ceye pergi, pemuda disebelahnya ini daritadi cuma diem sambil masang ekspresi judes membuat Ana tak berani banyak tanya. Ceye ternyata daritadi sedang menyerapah, memaki-maki sarkas dokter paruh baya tadi. Sudah ngobatinnya gak bener, trus bilang dirinya serasi lagi sama Ana. Orang seganteng dia disejajarin dengan karyawan biasa macam Ana, Ceye bergidik tak terima. Dih! Sok kecakepan sekali emang manusia ini. Mereka berdua berjalan dengan umpatan masing-masing, tapi siapa sangka orang-orang disekitar mereka yang melihat malah mengira mereka sedang bermesraan. "Ana!" Ana dan Ceye reflek berhenti, Ana yang merasa namanya terpanggil pun menoleh. Dan seketika juga pegangan di lengan Ceye dia lepas begitu saja membuat Ceye langsung oleng terjungkir ke lantai. "Mas Wildan."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN