Firdaus melangkah keluar dari lift dengan aura dingin yang membalut dirinya seperti tameng. Di tangan kanannya sebuah paper bag cokelat tergenggam erat, membawa aroma harum makanan yang masih hangat. Ia baru saja kembali dari makan siang di restoran mewah, membawa makanan untuk sekretarisnya yang sengaja ia bebani dengan tumpukan pekerjaan hari itu hingga tak memiliki waktu untuk istirahat.
Saat melewati meja kerja sekretaris yang berada tepat di seberang ruangannya, Firdaus melihat Aura yang masih sibuk menatap komputer dan beberapa berkas yang diletakkan di atas meja, wajah wanita itu tampak letih, tapi tetap fokus.
"Ternyata dia masih belum selesai mengerjakan tugas yang aku kasih! Cih, dasar lambat!" gumam Firdaus berdecak kesal. Ia puas karena itulah tujuannya, membuat Aura sibuk begitu menjadi sekretarisnya, memberi wanita itu tekanan agar menyerah, dan akhirnya mengundurkan diri tanpa harus diminta olehnya seperti kemarin.
Walau bibirnya mengeluarkan kata-kata penuh hinaan, tetapi ada sesuatu yang menusuk hati Firdaus. Pria itu tak sampai hati membiarkan Aura terus bekerja tanpa sedikit pun waktu untuk makan. Tidak! Firdaus tidak setega itu. Namun, gengsi yang melekat pada dirinya terlalu besar untuk diabaikan.
Firdaus pun akhirnya menghampiri meja kerja Aura, menaruh paper bag itu dengan gerakan yang dibuat sebiasa mungkin.
"Ini, makanlah!" ucapnya singkat, nada suaranya tetap dingin.
Aura mengangkat wajah dan buru-buru bangkit dari posisinya. Ia tertegun sejenak melihat makanan yang diberikan oleh Firdaus. Mata wanita itu memancarkan rasa terkejut dan perlahan berubah menjadi haru yang sulit ia sembunyikan.
"Makanan ini untuk saya, Pak?" tanya Aura dengan suara lembut, nyaris tak percaya.
Firdaus mengangkat alis, memberikan ekspresi yang seakan mengatakan bahwa itu pertanyaan bodoh. Padahal jelas-jelas ia meletakkan makanan itu di meja kerja Aura, sudah jelas itu untuk Aura.
"Jangan salah paham. Aku dapat ini karena ada promo dari restoran! Daripada mubazir, jadi terpaksa aku ambil promonya, dan sebaiknya aku kasih kamu aja yang lebih membutuhkan!" ucap Firdaus ketus, mencoba menutupi niat sebenarnya dengan alasan yang terdengar logis. Wajahnya tetap netral, berusaha keras mempertahankan citra dingin yang sudah ia bangun di hadapan Aura.
Aura tersenyum kecil, senyum yang penuh rasa syukur, dan terselip kehangatan yang membuat Firdaus sesaat kehilangan kata.
"Terima kasih banyak untuk makanannya, Pak. Saya pasti akan makan setelah pekerjaan saya selesai," balas Aura yang sorot matanya memancarkan binar bahagia atas perhatian kecil yang Firdaus berikan padanya.
Aura benar-benar lapar dan Firdaus seolah mengerti tentang rasa laparnya, pria itu sampai repot-repot menenteng makanan untuknya. Sungguh Aura merasa terharu, meski Firdaus tidak akan mengakui perhatian yang baru saja pria itu tunjukkan.
"Selesaikan pekerjanmu setelah makan!"
"A–apa, Pak? Jadi saya boleh istirahat dan makan siang dulu?" tanya Aura lagi dengan gugup sambil menelan ludah karena aroma makanan yang lezat dan begitu kuat membuat cacing di perut berteriak minta untuk segera diisi.
"Aku paling nggak suka mengulangi perkataan sampai dua kali!" jawab Firdaus ketus, lalu langsung berbalik, dan masuk ke ruangannya, meninggalkan Aura yang masih memandangi makanan itu sambil menelan ludah beberapa kali.
Aura pun dengan cepat meraih paper bag tersebut dan mengeluarkan makanan itu penuh kehati-hatian. Tak mampu menahan rasa laparnya lagi, Aura segera menyantap makanan yang dibawakan oleh Firdaus. Rasanya benar-benar nikmat sampai wanita itu makan sambil menggoyangkan kepala beberapa kali, menggambarkan suasana hatinya yang saat ini bahagia karena akhirnya bisa mengisi perutnya yang lapar dengan makanan enak, lengkap dengan es teh manis kesukaannya.
"Eh, ngomong-ngomong kok dia masih ingat ya sama minuman kesukaanku?" batin Aura yang seketika terdiam dan berhenti mengunyah.
Sementara diam-diam Firdaus berdiri di balik pintu yang masih sedikit terbuka. Melihat dari celah pintu ketika Aura sudah menyantap makanan darinya sambil menggoyangkan kepala, tanda jika wanita itu sangat menyukai makanannya, barulah Firdaus menutup rapat pintu ruangannya, dan melangkah menuju kursi kebesarannya.
Tanpa sadar Firdaus telah membuka sedikit celah dari tembok yang ia bangun di antara mereka, meskipun kecil, tetapi cukup untuk menyadarkannya bahwa melukai Aura tidak pernah menjadi hal yang benar-benar ingin ia lakukan.
Di ruangan yang luas itu, Firdaus menarik napas panjang, dan memejamkan mata. Menyandarkan kepala di sandaran kursi kerja, lalu jemarinya mulai memijat pelipis.
"Sial!" umpat pria itu entah apa yang ada di pikirannya.
Nyatanya sekeras apa pun Firdaus mencoba untuk membalaskan rasa sakit hatinya, bayangan Aura selalu berhasil menyeruak. Entah bagaimana bisa Firdaus akhirnya merasa kalah, tapi anehnya tidak begitu menyesali kekalahan itu.
***
Ketika pukul dua siang, Aura menerima instruksi dari Victor untuk mendampingi Firdaus dalam sebuah pertemuan penting di hotel ternama. Aura yang belum pernah menjalankan tugas tersebut sebelumnya, merasa gugup. Namun, ia meyakinkan dirinya untuk tetap profesional.
Jantung Aura tiba-tiba saja berdetak tak karuan saat Firdaus memintanya duduk di sebelahnya, tepatnya di kursi belakang mobil. Sementara sopir duduk sendirian di depan. Aura mencoba bersikap biasa, meskipun suasana di dalam mobil terasa kaku dan penuh dengan keheningan yang nyaris memekakkan telinga.
"Duh, rasanya benar-benar gugup semobil sama dia. Mana dia diem aja, kasih perintah apa kek gitu biar nggak canggung-canggung amat!" batin Aura yang merasa gelisah dan tak nyaman.
Perjalanan itu diisi oleh kesenyapan yang canggung. Aura sesekali melirik Firdaus yang sibuk melihat ponselnya dengan ekspresi dingin tanpa memberi banyak perhatian padanya. Lagi, Aura berusaha tenang, meredam perasaan gugupnya hingga mereka sampai di hotel tujuan.
Tidak lupa Aura merapikan blazer kerja yang dikenakannya dan menarik napas dalam-dalam sebelum memasuki ruang pertemuan bersama Firdaus.
Setibanya di ruangan itu, perhatian para klien langsung terpusat pada Firdaus. Namun, tak lama kemudian mata Ryan, salah satu klien penting beralih pada Aura. Wajahnya menunjukkan kekaguman yang tak terselubung, seperti seseorang yang baru saja menemukan sesuatu yang memukau. Aura mencoba menjaga profesionalisme, memberikan senyum ramah saat Ryan menjabat tangannya.
"Halo, saya Ryan Wilson. Dan kamu?" tanya pria itu yang seakan tak berkedip saat menatap Aura. Berbicara dengan bahasa Inggris yang dimengerti oleh lawan bicaranya.
"Halo, Tuan Ryan, saya Aura Xandra. Senang berkenalan dengan Anda."
Namun, jabat tangan itu berlangsung lebih lama dari yang semestinya, membuat Aura mulai merasa risih. Ryan sepertinya enggan melepaskan tangannya, tatapan matanya intens dan penuh pesona.
Firdaus yang semula berdiri dengan sikap dingin tiba-tiba berdeham keras. Suara dehaman itu menyentak Ryan yang akhirnya melepaskan tangan Aura dengan sedikit terpaksa. Pria itu menatap tajam pada Ryan, sorot matanya penuh peringatan.
Entah mengapa d**a Firdaus terasa panas, emosi yang tak ia inginkan muncul begitu saja, membakar rasa dingin yang biasa ia tunjukkan. Firdaus tak memahami sepenuhnya apa yang ia rasakan, tapi satu hal yang jelas, ia tidak menyukai perhatian berlebihan Ryan pada Aura.
"Dasar modus!" gerutu Firdaus kesal.
Aura menyadari perubahan ekspresi Firdaus, tetapi ia memilih untuk tidak berkomentar. Ia menjaga sikapnya tetap profesional, meskipun aura ruangan terasa berubah sejak insiden tadi. Di sisi lain, Ryan yang sudah sadar akan tatapan tajam Firdaus mulai memperhatikan batasannya.
Aura tidak menyangka bahwa kedatangannya bisa membawa pengaruh seperti itu, tapi ia bertekad untuk menjalankan tugasnya dengan baik tanpa terpengaruh oleh dinamika di antara mereka. Firdaus dengan amarah yang ia kendalikan, melanjutkan pertemuan dengan tegas, menjaga agar fokus tetap pada bisnis. Namun, dalam hatinya ada perasaan yang tak bisa ia abaikan. Sesuatu yang bergetar, menuntut untuk dipahami, perasaan yang sulit untuk dijelaskan.
Di ruang meeting yang elegan dengan meja panjang berlapis kaca, Firdaus memimpin pertemuan dengan karisma yang tak terbantahkan. Aura duduk di sebelahnya, mencatat poin-poin penting dengan teliti, meskipun ia tak bisa sepenuhnya mengabaikan tatapan Ryan yang sesekali mencuri pandang ke arahnya.
Ryan, perwakilan dari GreenTech Foods, memulai presentasinya dengan percaya diri, memaparkan bagaimana teknologi mereka dapat membantu perusahaan Firdaus meningkatkan efisiensi produksi sekaligus memenuhi standar keberlanjutan global.
Namun, perhatian Ryan tampaknya tidak sepenuhnya tertuju pada presentasi. Setiap kali ia berbicara, matanya sering kali melirik ke arah Aura. Firdaus yang duduk dengan sikap tenang, memperhatikan setiap gerakan Ryan dengan tatapan tajam. Ketika Ryan mencoba melibatkan Aura dalam diskusi dengan pertanyaan yang sebenarnya tidak relevan, Firdaus segera mengambil alih pembicaraan.
"Pertanyaan itu sebaiknya diarahkan kepada saya!" ujar Firdaus dengan nada tegas tapi tetap sopan. "Aura di sini untuk mendukung administrasi, bukan untuk menjawab pertanyaan teknis!"
Ryan tampak sedikit terkejut, ia segera mengalihkan fokusnya kembali ke presentasi. Aura merasa lega sekaligus terkesan dengan cara Firdaus membantunya tanpa membuat suasana menjadi canggung. Jujur saja, ia tak mampu menjawab pertanyaan yang Ryan ajukan. Meskipun sikap Firdaus tetap dingin, ada sesuatu dalam caranya berbicara yang membuat Aura merasa dihargai.
Pertemuan itu berlanjut dengan diskusi yang intens dan produktif. Firdaus menunjukkan keahliannya dalam negosiasi, memastikan bahwa setiap detail kerja sama menguntungkan bagi perusahaannya.
Di akhir pertemuan, Ryan tampak puas dengan hasil diskusi, meskipun ia tidak bisa sepenuhnya menyembunyikan rasa kecewanya karena tidak bisa lebih dekat dengan Aura.
"Senang bertemu denganmu, Aura. Semoga kita bisa bertemu lagi di lain kesempatan ya!" ucap Ryan saat Aura berpamitan padanya.
"Terima kasih, Tuan." Aura hanya menjawab singkat sambil tersenyum.
"Ayo kita pergi!" ajak Firdaus, mengajak Aura agar bergegas pergi meninggalkan ruangan tersebut yang di dalamnya ada Ryan.
Aura pun mengangguk patuh, setelah berpamitan dengan tim dari GreenTech Foods, barulah ia melangkah pergi meninggalkan ruang meeting.
Firdaus berjalan lebih dulu, sementara Aura mengikuti di belakangnya. Namun, sebelum mereka mencapai pintu keluar, Firdaus berhenti dan menoleh ke arah Aura.
"Kamu baik-baik aja?" tanyanya singkat, suaranya rendah, tapi terdengar penuh perhatian.
Aura mengangguk, sedikit terkejut dengan pertanyaan itu. "Ya, saya baik-baik aja, Pak. Terima kasih."
Firdaus hanya mengangguk kecil sebelum melanjutkan langkahnya. Di dalam hati, ia merasa bahwa perasaan yang ia coba abaikan selama ini semakin sulit untuk dihindari.
Sementara Aura mulai melihat sisi lain dari Firdaus yang tersembunyi di balik sikap dinginnya.
"Kenapa dia jadi tiba-tiba perhatian pakai nanya apa aku baik-baik aja atau nggak? Padahal kan nggak ada kejadian apa-apa. Apa dia takut aku kurang nyaman karena sikap Tuan Ryan tadi ya?" batin Aura bertanya-tanya dalam hati.