Bab 14. Keputusan Mutlak

1304 Kata
Makan malam itu berlangsung penuh kebahagian bagi Firdaus dan Meisya, tapi tidak dengan Aura yang merasakan hatinya begitu hampa menyaksikan kemesraan sepasang kekasih di depan mata. Bahkan Aura memilih untuk sering menunduk dan memandang makanannya demi menghindari adegan demi adegan yang membuat hatinya teriris perih. Sesak rasanya karena ini kali pertama Aura mengetahui Firdaus memiliki pasangan, pria itu benar-benar memanjakan Meisya, memotongkan steak, bahkan beberapa kali menyuapi Meisya. Aura merasa tak seharusnya ia berada di sana karena itu hanya membuatnya terluka. Beruntung makan malam itu hanya berlangsung selama satu jam, begitu selesai Aura bergegas keluar dari restoran setelah berpamitan pada Firdaus dan Meisya yang akan pulang bersama Victor, sementara dirinya pulang dengan menaiki taksi. Sepanjang perjalanan, pikiran Aura kacau. Ia terus memandang jalanan lewat kaca mobil yang mulai basah karena rintik hujan yang turun perlahan. "Bunda, kenapa ayah nggak pernah datang nemuin Kei? Apa jangan-jangan ayah Kei udah nggak ada di dunia ini lagi ya, Bun?" "Bun, kapan Kei bisa ngerasain punya ayah kayak teman-teman Kei?" "Bunda, sebenarnya aku itu punya ayah nggak sih? Kenapa aku nggak pernah ketemu ayah sekalipun?" Pertanyaan demi pertanyaan yang pernah Keisya lontarkan pada Aura mulai terngiang dan memenuhi isi kepala. Sungguh sakit rasanya jika mengingat keinginan sang putri yang ingin sekali bertemu ayahnya, merasakan pelukan seorang ayah seperti teman-temannya, dan melihat sosoknya walau hanya sekali. Tapi sayang, sampai detik ini Aura tidak bisa mengabulkan keinginan Keisya yang selama sembilan tahun ini hidup tanpa kehadiran sosok seorang ayah, dan tidak pernah merasakan kasih sayang dari makhluk yang dipanggil ayah. Aura merasa hidupnya dipenuhi kebohongan karena tidak pernah berani mengungkapkan siapa ayah Keisya yang sebenarnya. Selalu memberikan jawaban palsu demi menenangkan Keisya yang sedih jika bertanya soal ayahnya. "Maafin Bunda, Kei," lirih Aura sembari mengusap permukaan kaca mobil karena terbayang wajah putri sematawayangnya. Maaf yang terucap adalah gambaran karena sampai kapanpun Aura tidak akan pernah bisa mengabulkan permintaan Keisya yang sederhana. Benar-benar sederhana tapi Aura tak mampu memberikannya. *** Setibanya di kediaman keluarga Salim, kepulangan Firdaus dan Victor sangat dinantikan oleh Baskara, pria paruh baya berusia 70 tahun yang merupakan kakek Firdaus. "Fir, gimana pertemuan kamu sama Meisya? Semuanya lancar? Apa sudah ketemu tanggal yang cocok kapan kalian akan bertunangan?" Tanpa basa-basi, Baskara langsung menanyakan hasil pertemuan cucunya dengan cucu dari sahabat karibnya. Tentu saja Baskara penasaran, pasalnya pertemuan mereka sudah diatur sejak lama, tetapi baru terjadi malam ini, pas sekali ketika Meisya baru pulang dari Amerika menyelesaikan kuliah S2, dan Firdaus tak lagi menolak permintaan sang kakek untuk bertemu wanita yang hendak dijodohkan dengannya. Firdaus tak menjawab, pria itu malah menghempaskan tubuhnya duduk di sofa, tepat di seberang Baskara, dan tak lama kemudian Victor pun menyusul setelah melepas jas yang seharian ini dikenakannya. "Gimana, Victor? Kalau Firdaus nggak mau jawab pertanyaan Kakek, kamu yang harus jawab!" Kali ini pandangan Baskara beralih pada cucu angkatnya yang selalu dapat diandalkan menyangkut apa pun tentang Firdaus. "Semuanya berjalan lancar, Kek." Victor mengulas senyuman setelah memberikan jawaban singkat itu pada sang kakek. Sontak binar bahagia terpancar jelas dari wajah keriput Baskara. Ia tak menyangka akan mendengar jawaban yang sesuai dengan harapan dan doanya. Apakah itu artinya kali ini Firdaus akan mengabulkan permintaannya untuk segera bertunangan, menikah, dan melahirkan keturunan yang akan menjadi salah satu ahli waris dari kekayaan berlimpah yang dimilikinya? "Benarkah seperti itu, Fir? Jadi kapan rencananya kalian akan bertunangan?" tanya Baskara lagi yang sudah tidak sabar untuk mendengar jawaban yang akan membuatnya bahagia tak kepalang. "Firdaus dan Meisya belum ada obrolan sampai ke tahap itu, Kek. Tadi mereka baru ngobrol-ngobrol santai aja." Victor menimpali karena lagi dan lagi Firdaus memilih bungkam, yang terdengar hanyalah suara desahan kasar seperti sedang kesal. "Oh begitu, bagus dong, itu artinya pertemuan kalian akan terus berlanjut, dan pastinya akan jadi lebih intens untuk bertemu. Terus gimana menurutmu Meisya itu, Fir? She's perfect, kan?" Hening, yang Baskara tanya hanya terdiam, sesekali Firdaus memijat pelipisnya yang berdenyut pusing. Sebenarnya Firdaus berniat langsung masuk kamar begitu sampai rumah, tapi ternyata kakeknya masih terjaga, sengaja menunggunya pulang di ruang keluarga untuk bertanya hal-hal yang tak penting menurutnya. "Fir, kamu sebenarnya dengar Kakek ngomong nggak sih dari tadi? Kenapa kamu diam terus? Apa kamu mendadak bisu sampai nggak bisa ngomong apa-apa!?" Baskara yang sudah berusaha sabar pun akhirnya tersulut emosi juga. Bahkan pria paruh baya itu sampai melemparkan tongkat miliknya ke arah Firdaus yang beruntung langsung ditangkap oleh sang cucu, jika tidak mungkin akan mengenai kepalanya. "Kek, aku itu capek. Seharian capek kerja, pulang-pulang bukannya istirahat, malah diminta ketemu Meisya. Aku sudah turutin maunya Kakek, aku sudah pergi makan malam sama Meisya, sekarang aku boleh istirahat dulu nggak sih, Kek? Aku benar-benar capek, ngantuk, dan nggak mau diajak ngomong dulu!" "Ya ampun, Firdaus! Kamu itu sudah dewasa, bukannya anak remaja lagi. Masa hanya karena capek kamu sampai nggak mau jawab pertanyaan Kakek! Padahal kamu cukup jawab ya atau nggak, simple as that, daripada ngeluh panjang lebar kayak tadi!" gerutu Baskara sambil geleng-geleng kepala. Baskara tahu jika Firdaus sudah bertingkah seperti itu adalah pertanda tidak baik akan pertemuannya dengan wanita yang ia pilihkan. Benar-benar merepotkan! "Apa sih yang Kakek mau dengar jawaban dari aku? Kakek mau tau tadi gimana pertemuan aku sama Meisya, sudah diwakilin sama Victor kan jawabannya. Terus Kakek mau tau soal tanggal pertunangan? Aduh, Kek, please deh ... aku ketemu Meisya itu cuma buat ketemu biasa, bukan buat ngomongin soal pertunangan, jadian aja belum, nggak mungkin dong aku tiba-tiba tunangan sama dia! Terakhir Kakek tanya Meisya gimana orangnya? Ya, Kakek benar, she's perfect, sesuai kriteria jodoh yang Kakek mau untuk aku, tapi permasalahannya aku dan dia baru kenal, Kek, jadi aku perlu banyak waktu untuk berpikir karena menurut sudut pandangku, aku dan Meisya nggak cocok deh!" Baskara berdecak kesal mendengar perkataan Firdaus yang bukan sekali dua kali ia dengar, tapi sering. "Kakek nggak minta pendapat dari sudut pandangmu, Fir! Ini bukan pertama kalinya kamu bilang nggak cocok sama perempuan pilihan Kakek, padahal jelas-jelas Kakek memilihkan jodoh yang paling terbaik untuk kamu, tapi kamunya nggak pernah mau dengerin apa kata Kakek, padahal semua yang Kakek lakuin itu buat kamu, Fir, supaya kamu punya pasangan yang baik di masa depan nanti!" "Kek, aku ini sudah dewasa, aku bisa cari pasangan hidup sendiri, Kakek nggak perlu repot-repot jodohin aku sama cucu teman-temannya Kakek! Pokoknya Kakek jangan khawatir, suatu hari nanti aku pasti akan menikah seperti impian Kakek!" Victor hanya dapat garuk-garuk kepala setiap kali menyaksikan perdebatan antara Firdaus dan Baskara yang sama-sama keras dan biasanya tak ada yang mau mengalah. "Suatu hari nanti itu kapan? 10 tahun lagi? Atau 20 tahun lagi?" "Nggak akan selama itu kok, Kek. Pokoknya tunggu aja, aku akan kasih Kakek cucu menantu yang sesuai sama kriteria Kakek, ok?" "Kelamaan kalau Kakek harus diam dan hanya menunggu! Kalau Kakek nggak bergerak nih, minta supaya kamu cepat-cepat nikah, nggak bakalan ada tuh niatan kamu buat nikah, gimana mau nikah, pacar aja nggak punya!" celetuk Baskara yang terdengar lebih mengejek daripada marah. Firdaus dibuat berdecih kesal mendengar ledakan sang kakek yang selalu memintanya untuk buru-buru menikah, menyusul cucu-cucu kandung Baskara lainnya yang semuanya sudah menikah, hanya tersisa Firdaus seorang yang masih jomblo. "Sekali ini aja tolong percaya sama aku, Kek. Biarkan aku menentukan pilihanku sendiri!" pinta Firdaus seraya mengatupkan kedua telapak tangan di depan d**a, lalu matanya berkedip-kedip, berusaha merayu sang kakek agar luluh, dan mengabulkan permohonannya. Namun, respon Baskara jauh dari harapan Firdaus. Sang kakek malah bangkit dari duduknya dan kini berdiri sambil bertolak pinggang. "Kakek kapok percaya sama kamu, Fir! Sudah banyak kesempatan yang Kakek kasih buat kamu bisa cari pasangan sendiri, tapi mana, selama bertahun-tahun Kakek menunggu tapi hasilnya nihil, kan! Jadi kali ini kamu harus menuruti perintah Kakek, kamu harus menikah dengan Meisya! Kakek sendiri yang akan atur tanggal pernikahan kalian, nggak perlu pakai acara tunangan segala, keburu Meisya ditikung sama yang lain kalau kelamaan!" ucap Baskara memutuskan, seakan keputusannya mutlak, dan tak dapat diganggu gugat.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN