Bab 10. Tidak Tega

1309 Kata
Menjadi sekretaris Firdaus di hari pertama bekerja, Aura mendapat beragam pelajaran dari Victor selaku kepala sekretaris. Beruntung pria itu mau mengajari Aura banyak hal dengan baik sehingga ia bisa cepat tanggap. Ketika Firdaus pulang lebih dulu saat jam kerja berakhir, Aura masih berada di perusahaan bersama Victor. Wanita itu belum diperbolehkan pulang oleh Firdaus sebelum selesai mengerjakan tugasnya karena ia mau jadwal yang dimintanya rampung hari ini juga. Victor sudah mengajukan protes karena menganggap Firdaus terlalu kejam pada Aura yang masih baru dan perlu belajar banyak hal sebelum menyusun jadwal, apalagi jadwal sampai satu bulan ke depan. Namun, protes Victor langsung dipatahkan oleh Firdaus yang acuh dan sama sekali tak peduli pada Aura sekalipun wanita itu merasa kesulitan. Saat waktu menujukkan pukul sembilan malam, Aura masih berusaha merampungkan tugas pertamanya. Walau sempat salah berkali-kali, ia terus mencoba. Sementara Victor masih dengan sabar mendampingi sekalipun Aura sudah meminta pria itu pulang lebih dulu dan meninggalkannya. "Pak, ini hampir selesai jadwalnya. Pak Victor pulang duluan aja, saya sekarang sudah ngerti kok nyusunnya," ucap Aura yang untuk kedua kalinya meminta Victor pulang karena jarum jam terus berputar dan kini waktu menujukkan pukul 10 malam. "Nggak apa-apa, saya tunggu kamu aja kalau kamu masih mau selesaikan malam ini juga. Padahal kalau kamu mau, bisa loh dilanjut besok pagi." "Tapi ini nanggung, Pak. Sedikit lagi selesai kok," balas Aura seraya tersenyum saat menatap Victor, beruntung ia memiliki kepala sekretaris sebaik Victor, entah apa jadinya jika yang mengajarinya Firdaus, bisa-bisa semua kesalahannya dikuliti. "Ya sudah, kalau gitu saya tunggu kamu sampai selesai. Fokus ya, jangan merasa nggak enak karena ada saya. Kalau kamu nggak nyaman, anggap aja cuma ada kamu sendiri di sini!" ucap Victor yang sejak tadi terus memberi Aura semangat, ia yakin wanita itu pasti bisa karena semangatnya yang luar biasa. "Baik, Pak. Saya akan fokus supaya jadwal Pak Firdaus cepat selesai!" angguk Aura dan kembali menatap layar komputer. Saat rasa kantuk mulai menghampiri, Aura hanya mampu menahan agar tidak menguap yang dapat terlihat oleh Victor. Sebisa mungkin ia menyembunyikannya. Tepat pukul 10 malam, akhirnya Aura berhasil menyelesaikan tugas pertamanya, dan itu benar-benar membuatnya merasa lega sekaligus bahagia karena walau membuat jadwal CEO tidak semudah di bayangannya, tetapi ia berhasil mengerjakannya. Saat Aura bersiap untuk pulang setelah mematikan komputer di meja sekretaris, wanita itu terkejut begitu menoleh dan malah menemukan Victor ketiduran karena menunggunya yang mungkin terlalu lama. "Astaga, dia sampai ketiduran gara-gara nunggu aku selesai ngerjain tugas. Lagian ngapain sih dia pakai nungguin aku segala, padahal aku udah minta dia pulang dari tadi. Sekarang aku bangunin dia atau jangan ya? Tapi kalau aku nggak bangunin dia, masa dia tidur di sini sendirian sih? Aduh gimana ya?" gumam Aura yang berpikiran cemas dan dilanda kebingungan. Sampai akhirnya Aura nekat mendekati Victor dan menggoyangkan tangan pria itu yang dijadikan sebagai bantalan untuk tidur. "Permisi, Pak. Saya sudah selesai buat jadwal untuk Pak Firdaus. Bapak mau pulang atau menginap di sini ya?" tanya Aura sembari menggoyangkan tangan Victor, membuat pria itu seketika terjaga dan mengusap mata. "Astaga. Maaf, saya nggak sengaja ketiduran. Ini jam berapa?" Victor kini sudah bangkit dari duduknya, ia terkejut menemukan dirinya malah tertidur, sampai harus dibangunkan oleh Aura. "Nggak apa-apa kok, Pak. Maaf ya, saya sudah buat Bapak kelelahan karena ngajarin saya. Ngomong-ngomong sekarang sudah jam 10 lewat, Pak." "Nggak kok, kamu nggak perlu minta maaf. Sudah tugas saya ajarin kamu karena mulai hari ini kan kita tim." "Sekali lagi terima kasih untuk ilmunya ya, Pak, terima kasih juga Bapak sudah sabar ajarin saya seharian ini sampai saya berhasil mengerjakan tugas pertama saya. Mohon maaf kalau saya banyak merepotkan Bapak hari ini." "It's okay! Nggak masalah kok. Ya sudah, kalau gitu kita pulang sekarang yuk!" "Baik, Pak." Aura pun kemudian melangkah pergi meninggalkan lantai ruang presiden direktur menuju lobi bersama Victor. Beruntung Aura tidak sendirian karena ada Victor yang menemaninya. Ternyata suasana di perusahaan saat malam hari terasa cukup mencekam bagi Aura karena benar-benar sepi dan minim cahaya. Sementara wanita itu takut kegelapan, jadi ia jalan sedekat mungkin dengan Victor karena ketakutan. Begitu tiba di lobi, Victor malah mengajak Aura masuk ke mobilnya karena pria itu berniat akan mengantar Aura pulang. "Aduh, Pak, saya jadi nggak enak banget deh karena banyak ngerepotin Bapak. Bahkan saya sampai diantar pulang segala." "Nggak apa-apa kok, Aura. Santai aja. Lagian ini sudah malam, jalanan juga mulai sepi, mana mungkin saya tega biarin kamu pulang sendiri, masalahnya kamu itu perempuan, dan perempuan nggak aman di luaran jam segini, bahaya tau!" "Kalau begitu makasih ya, Pak. Maaf sekali lagi saya ngerepotin Bapak," ucap Aura sungkan. "Sama sekali nggak ngerepotin kok, Aura. Kan saya yang mau antar kamu pulang, bukan kamu yang mau nebeng. Santai aja ya, nggak usah sungkan gitu. Saya senang bisa membantu. Oh ya, kalau di luar kantor nggak usah panggil saya Bapak deh kayaknya, kesannya kayak tua banget gitu ya saya." "Eh, kan Bapak atasan saya." "Atasan kamu itu Pak Firdaus, saya hanya kepala sekretaris kamu." 'Tapi kan tetap aja sama, Bapak adalah atasan saya sebagai sekretaris, dan saya bawahan Bapak." "Bisa dibilang kamu itu asisten saya, bukan bawahan, Aura." "Ah iya, jadi seperti itu rupanya." Aura mengangguk paham, lalu ia memikirkan pantaskah ia bersikap tidak formal pada Victor sekalipun itu di luar kantor? "Panggil saya Victor aja ya." "Eh, kok panggil nama sih, Pak? Nggak sopan dong." Jelas terlihat raut wajah Aura tampak canggung. "Nggak dong, kan di luar kantor. Kalau di kantor, baru nggak apa-apa deh dipanggil Bapak. Lagian kayak canggung gitu nggak sih, kalau kita ngobrol kayak sekarang kamu panggil saya Bapak?" "Ah iya sih, Pak, benar juga. Tapi boleh panggil Mas Victor aja nggak? Soalnya kalau langsung panggil nama kayaknya nggak sopan deh." "Nah iya, boleh juga tuh. Kan lebih enak didengar ketimbang Bapak. Iya, kan?" "Iya, benar juga, Pak." "Eh kok Bapak lagi?" "Eh iya maksud saya Mas. Maaf, saya belum terbiasa!" jawab Aura yang kemudian menutup mulutnya dengan telapak tangan. "Nggak apa-apa kok, wajar kalau kamu belum terbiasa karena kita baru kenal. Oh ya, rumahmu di mana?" "Agak jauh sebenarnya, Mas. Makanya saya nggak enak kalau harus minta anterin pulang." "Nggak apa-apa, kasih tau aja di mana? Saya akan antar kamu pulang sekalipun rumah kamu di Bogor." "Kebetulan rumah saya di Depok, Mas." "Hah, Depok? Serius?" tanya Victor dengan wajah terkejut. Namun, sekalipun rumah Aura di Depok, ia akan tetap mengantarkan wanita itu pulang karena membiarkannya pulang seorang diri di tengah malam yang sudah selarut ini akan membuatnya merasa tidak tenang. Victor pun bingung, bagaimana bisa Firdaus bersikap setega ini pada Aura di hari pertamanya bekerja sebagai sekretaris. Ia benar-benar tak habis pikir. Tak lama kemudian Aura malah terkekeh. "Nggak, Mas. Saya cuma bercanda. Saya tinggal di Tanjung Barat, bukan di Depok kok. Maaf ya saya ajak bercanda, biar nggak ngantuk, soalnya jalanan masih lumayan jauh," ucapnya untuk mencairkan suasana. Rasanya Aura nyaman berinteraksi dengan Victor, andaikan pria yang mengantarnya pulang saat ini adalah Firdaus, mungkin Aura tidak akan berani bersuara sepanjang perjalanan. Entahlah, pertemuan kembali setelah 10 tahun berpisah membuat mereka canggung, ditambah Firdaus masih sangat membenci Aura karena kejadian di masa lalu. "Ya ampun, saya kira kamu itu orangnya nggak bisa bercanda." Victor menimpali seraya tertawa malu-malu. "Memangnya saya kelihatan seserius itu ya, Mas?" tanya Aura yang kembali memasang wajah serius seperti sebelumnya. "Iya, malah saya kira saking seriusnya kamu nggak akan bisa bercanda kayak tadi. Tapi ngomong-ngomong, ternyata kamu orangnya asik juga. Semoga kamu sabar menghadapi Pak Firdaus ya, Ra!" ucap Victor yang mengakhiri perkataannya dengan memberi wanita itu semangat karena ia tahu ke depannya hari-hari yang Aura jalani akan penuh dengan tekanan dari Firdaus yang memiliki dendam terselubung. Aura mengangguk dengan raut wajah yang berubah seketika saat Victor membahas soal Firdaus. "Iya, Mas. Saya harus sabar karena saya benar-benar membutuhkan pekerjaan ini," jawab wanita itu yang dapat diartikan oleh Victor dari nada suara Aura yang didominasi rasa keputusasaan, membuat Victor semakin merasa tidak tega.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN