Victor menatap Firdaus dengan mata yang masih basah. Tanpa berkata apa-apa lagi, ia berbalik dan melangkah keluar dari ruangan presiden direktur itu. Pintu tertutup dengan bunyi yang berat, seolah menggema bersama perasaan Firdaus yang kini benar-benar hancur. Sejenak, ruangan itu terasa kosong, sepi, dan hampa. Firdaus berdiri kaku, napasnya tersengal-sengal. Kata-kata Victor barusan seperti memukulnya bertubi-tubi. Tubuhnya gemetar, seakan-akan semua kekuatan dalam dirinya runtuh bersamaan. Kedua lututnya akhirnya tak mampu lagi menahan beban. Firdaus jatuh berlutut di atas lantai marmer dingin, tangannya mengepal erat di kedua sisi tubuhnya. d**a bidangnya naik turun cepat dan air matanya jatuh menetes tanpa suara. "Aura ...." Firdaus meremas rambutnya, rasa bersalah melilit setiap