Setelah cuti seharian kemarin, Aura kembali masuk kerja hari ini, dan sesampainya di kantor wanita berparas cantik itu segera pergi ke lantai 23 untuk menemui Firdaus.
"Selamat pagi, Pak. Apa saya bisa bertemu dengan Pak Firdaus?" tanya Aura begitu berpapasan dengan Victor yang baru saja keluar dari ruangan presiden direktur.
Victor terpana untuk beberapa saat, menatap Aura tanpa berkedip. Melihat wajah Aura sedekat ini membuatnya seakan tertarik ke belakang, teringat sosok gadis kecil yang selalu datang ke mimpinya.
"Permisi, Pak Victor. Apa saya bisa bertemu dengan Pak Firdaus?" Aura mengulangi pertanyaannya sehingga menarik Victor dari lamunannya.
"Ah iya. Boleh tau ada perlu apa?" tanya Victor yang gestur tubuhnya tampak gugup.
"Saya mau membicarakan hal yang penting, Pak."
"Sepenting apa?"
"Penting banget, Pak."
Victor menganggukkan kepala mendengar jawaban Aura yang memang sepertinya ada hal yang sangat penting untuk dibicarakan dengan Firdaus.
"Sebentar ya, saya tanya Pak Firdaus dulu!" Victor pun kembali masuk ke ruangan presdir, meninggalkan Aura sendiri untuk menantikan jawabannya.
Tak berselang lama, Victor keluar dari balik pintu besar tersebut. Menatap Aura dengan sorot matanya yang tampak sendu dan tersenyum tipis pada wanita itu.
"Aura, kamu boleh masuk sekarang!" ucap Victor yang membuat Aura tersenyum lebar, seakan-akan jawaban itulah yang sangat ingin didengarnya sejak awal kedatangannya.
"Baik, Pak, terima kasih banyak ya." Masih sambil tersenyum, Aura membungkukkan setengah badannya di hadapan Victor, lalu ia melangkah masuk begitu Victor membukakan pintu ruangan untuknya.
Perasaan Aura seketika menjadi gugup saat kaki jenjangnya memasuki ruangan Firdaus yang teramat luas. Tak dapat dijelaskan semewah apa ruangan tersebut dengan pemandangan indah Ibu Kota yang terlihat jelas lewat dinding kaca yang menjulang tinggi. Sampai akhirnya langkah kaki Aura berhenti tepat di belakang Firdaus yang tengah berdiri menghadap pemandangan luar sambil menikmati secangkir kopi hangat.
Aura berdeham pelan, berharap dengan begitu Firdaus menyadari kehadirannya di sana. Dan benar saja, pria itu langsung memutar tubuhnya, lalu berhadapan dengan Aura yang selalu dibuat kesulitan menelan saliva saat pandangan mereka saling bertaut dalam.
"Selamat pagi, Pak. Maaf mengganggu waktu Bapak pagi-pagi begini." Aura bersikap formal di hadapan Firdaus sebagai atasannya. Matanya beberapa kali mengerjap untuk mengurai perasaan gugup yang membuat detak jantungnya tak karuan saat ini.
"Ada apa?" tanya Firdaus tanpa berbasa-basi dan tidak menjawab ucapan selamat pagi dari Aura.
Sambil memilin jemarinya yang dingin di bawah sana, Aura menunduk sejenak, sampai akhirnya ia memberanikan diri untuk menatap Firdaus kembali.
"Begini, Pak. Saya datang ke sini untuk memohon sama Bapak, soal perintah Bapak dua hari lalu yang minta saya resign dari perusahaan ini. Saya mohon, Pak, tolong berikan saya kesempatan untuk tetap bekerja di sini, saya janji akan bekerja lebih baik lagi, dan tidak akan membuat masalah. Saya benar-benar membutuhkan pekerjaan ini, Pak, dan saya sudah nyaman bekerja di sini. Setidaknya berikan saya kesempatan untuk tetap bekerja sampai kontrak saya berakhir akhir tahun nanti."
Dengan napas yang memburu, Aura pun akhirnya melontarkan permohonannya pada sang mantan. Ia merasa hanya ini yang bisa dilakukannya, memohon agar tetap dibiarkan bekerja tanpa harus resign karena Aura ingin memindahkan putrinya ke sekolah lain setelah insiden kemarin. Setidaknya ia memerlukan waktu untuk mencari pekerjaan yang lebih baik supaya bisa menghidupi Keisya dan untuk saat ini ia hanya bisa mengandalkan pekerjaannya sekarang sebagai staf humas. Ditambah akan ada bonus yang didapatnya dalam beberapa bulan ke depan jika mencapai target dan dari sanalah Aura bisa menabung bonus yang didapatnya untuk biaya pendidikan Keisya di masa depan.
Sebenarnya Aura berharap bisa bertahan lebih lama di perusahaan ini, memperpanjang kontrak demi jenjang karir di masa depan. Padahal awal tahun nanti ia akan menjadi staf humas senior di tahun ke empatnya bekerja. Hanya saja, sejak Firdaus memimpin perusahaan ini dalam waktu beberapa hari saja mampu menyingkirkan posisi Aura sekalipun ia adalah staf terbaik.
Firdaus diam dan tak langsung menjawab. Ia seolah tengah berpikir jawaban apa yang akan diberikannya atas permohonan Aura barusan.
"Baiklah, aku akan kasih kamu kesempatan untuk tetap bekerja di sini, tapi sebagai sekretarisku!"
"A–apa, Pak? Sebagai sekretaris? Apa saya tidak salah dengar?" tanya Aura terkejut.
"Aku butuh sekretaris!"
"Bukannya sudah ada Pak Victor, Pak?"
"Dia kepala sekretarisku dan aku perlu sekretaris! Kamu mau atau nggak?"
"Tapi saya tidak punya pengalaman sebagai sekretaris, Pak."
"Nggak ada alasan, kamu bisa belajar dari Victor! Kalau kamu nggak mau, sebaiknya pergi dari sini, dan segera ajukan surat pengunduran dirimu ke kepala HRD!" jawab Firdaus ketus, lalu ia memilih duduk di kursinya, dan meletakkan gelas kopinya di atas meja kerja.
Aura dirundung perasaan bingung dan gelisah. Ia bingung harus bagaimana. Bukankah ditawarkan jabatan menjadi sekretaris presiden direktur adalah kesempatan emas yang sangat langka, ditambah gajinya juga jauh lebih besar? Ingin rasanya Aura menerima jika diberikan kesempatan untuk belajar, hanya saja ia takut jika menjadi sekretaris dari atasan yang merupakan mantan kekasihnya di masa lalu. Apalagi hubungan mereka berakhir dengan cara yang tidak baik dan bahkan sampai detik ini Firdaus masih sangat membencinya.
"Tapi, Pak, bagaimana dengan pekerjaan saya sebagai staf humas? Saya masih terikat kontrak sampai akhir tahun." Aura coba bertanya, meminta Firdaus untuk mempertimbangkan, sekaligus memberinya waktu agar dapat berpikir panjang.
"Kamu nggak perlu pikirin soal itu, ada Victor yang akan mengurus kontrak kamu! Aku kasih kamu waktu satu menit untuk kasih jawaban!" jawab Firdaus dengan tegas memberi perintah.
Tentu saja Aura terkesiap mendengar waktu yang diberikan Firdaus hanya satu menit. Bagaimana mungkin bisa Aura berpikir dalam waktu yang sesingkat itu?
Aura tahu posisinya saat ini tak akan dibiarkan oleh Firdaus untuk menolak, apalagi menego soal waktu. Jadi ia harus apa?
"Bagaimana, Aura? Waktumu tinggal 5 detik lagi!" tanya Firdaus yang membuat Aura semakin merasa terintimidasi.
Dengan wajah yang tertunduk frustasi, Aura pun akhirnya mengangguk pasrah, dan tak kuasa untuk menolak.
"Baik, Pak. Saya bersedia jadi sekretaris Bapak!" Jawaban itu terdengar ragu, tetapi berhasil membuat Firdaus menampilkan seringai tajam.
"Sekarang silakan keluar dari sini dan ambil barang-barangmu dari lantai 17 untuk di pindahkan ke meja kerja sekretaris yang ada di depan ruangan ini! Setelah itu mulai persiapkan jadwalku sampai satu bulan ke depan!" titah Firdaus yang benar-benar memperlakukan Aura layaknya seorang bawahan.
Aura terkejut karena ternyata ia bekerja menjadi sekretaris mulai hari ini. Belum juga sempat ia membicarakan masalah ini pada teman-temannya di divisi humas sekaligus berpamitan pada mereka semua, Aura malah sudah harus mempersiapkan jadwal presdir sampai satu bulan ke depan.
"Ta–tapi, Pak—" Perkataan Aura yang hendak bernegoisasi pada Firdaus, tetapi dengan cepat dipotong oleh pria itu.
"Cepat keluar! Aku sibuk!" titah pria itu dengan setengah membentak, membuat Aura terkesiap, dan buru-buru pamit undur diri dengan perasaan takut.