Bab 7. Menuntut Keadilan

1112 Kata
Keesokan paginya, Aura benar-benar mendatangi sekolah putrinya. Ia juga turut membawa Keisya walau anak perempuan itu kesulitan berjalan karena lututnya yang bengkak. Di sekolah, suasana seketika menjadi ramai, banyak orang yang penasaran tentang apa yang terjadi pada Keisya, siswi kelas 3 yang terkenal karena kecerdasannya. Dengan raut wajah merah karena menahan amarah, Aura duduk di hadapan kepala sekolah dan wali kelas Keisya. Di sampingnya ada Keisya yang memeluk lengannya, seolah-olah anak perempuan itu tampak ketakutan. "Jadi gimana, Pak, Bu? Bagaimana bentuk pertanggungjawaban sekolah karena ada murid di sekolah ini yang merundung anak saya? Bahkan sampai melakukan kekerasan dan anak saya luka-luka!" tanya Aura dengan napas yang memburu karena sempat mendengar alasan pihak kepala sekolah yang menyatakan jika orang tua dari murid yang melakukan pembully-an pada putrinya sibuk dan tidak bisa datang ke sekolah untuk memenuhi permintaan Aura yang ingin bertemu mereka. "Maaf, Bu, seperti yang saya sampaikan tadi kalau orang tua mereka tidak ada yang bisa datang karena alasan pekerjaan. Begini saja, Bu, sebagai kepala sekolah saya akan menanggung biaya berobat Keisya sambil mendiskusikan masalah ini dengan pihak orang tua yang terlibat." Dan ya, setelah pihak sekolah coba menghubungi orang tua dari murid yang merundung Keisya, memang tidak ada yang berkenan datang walau sudah dijelaskan duduk permasalahannya. Aura menggelengkan kepala, seolah tidak puas dengan yang ditawarkan oleh kepala sekolah barusan. "Saya mau ketemu mereka, Pak! Mereka harus tau perlakuan anak-anak mereka ke anak saya yang sudah keterlaluan! Tiga tahun loh, Pak, anak saya mereka bully, berawal dari pembully-an sampai terjadi kekerasan!" ucap Aura dengan tegas dan penuh penekanan. "Baik, Ibu, kami mengerti kemarahan dan kekecewaan Ibu atas apa yang terjadi. Sebagai kepala sekolah, saya memohon maaf atas apa yang menimpa Keisya. Pihak sekolah sudah menghubungi orang tua mereka, tapi jawaban mereka sama, kalau mereka semua sibuk." "Kalau hari ini nggak bisa, saya mau ketemu mereka besok!" "Ibu, sekali lagi mohon maaf, besok pun mereka tidak bisa datang ke sekolah." "Kalau lusa nggak bisa juga?" Kepala sekolah menggeleng dengan ekspresi menyesal. "Kalau gitu saya akan viralkan masalah ini!" ancam Aura yang sudah tidak memiliki pilihan lain. Ia merasa dengan beritanya viral, orang tua pelaku akan menyempatkan waktu bagaimana caranya untuk bertemu dengannya dan Keisya. "Tolong jangan, Bu, kalau Ibu sampai memberitakan masalah ini nama sekolah akan tercoreng. Mari kita selesaikan masalah ini secara kekeluargaan, Bu. Saya akan menyampaikan keluh kesah Ibu pada orang tua Fira, Mutiara, Agrita, dan Sasya." Kepala sekolah pun coba mencegah niat Aura karena itu bisa berdampak buruk untuk sekolah yang dipimpinnya. "Gimana mau diselesaikan secara kekeluargaan, mereka aja menolak untuk bertemu! Sudah ya, Pak, kalau Bapak nggak bisa menjadi jembatan untuk mempertemukan saya sama mereka, biar saya selesaikan masalah ini sendiri tanpa bantuan pihak sekolah!" jawab Aura yang sudah bulat dengan keputusannya dan segera bangkit dari duduknya, mengajak Keisya bersiap pergi. "Ibu, kami akan meng-cover biaya pengobatan Keisya. Saya mohon sekali, tolong jangan perpanjang masalah ini ke media sosial, Bu." Setelah sempat bungkam, akhirnya wali kelas Keisya mulai angkat bicara, memohon di hadapan Aura yang sudah berdiri untuk pergi. "Saya nggak butuh uang, Bu! Saya hanya minta keadilan untuk anak saya! Ibu dan Bapak bisa lihat sendiri kan, dahi anak saya luka sampai dijahit, dia juga jadi susah jalan karena lututnya bengkak dan memar gara-gara kekerasan yang teman-teman sekelasnya lakukan, setidaknya pihak sekolah mengambil tindakan tegas untuk anak-anak itu, skors mereka atau paling bagus dikeluarkan dari sekolah sebagai efek jera supaya tidak ada korban lainnya! Jangan mentang-mentang mereka anak orang kaya, mereka bebas dari hukuman padahal jelas-jelas sudah melakukan kesalahan fatal. Ini fatal loh, Pak, Bu, mereka nggak cuma melukai fisik anak saya, tapi mereka juga melukai mental anak saya, dan itu sudah berlangsung selama tiga tahun!" Aura meluapkan kekesalannya, berbicara dengan nada tinggi hingga suaranya terdengar sampai keluar ruangan. *** Sementara di perusahaan MeskaFood, suasana tidak jauh berbeda. Para karyawan dari divisi humas dan divisi komunikasi korporat yang berada di ruang meeting mulai riuh membicarakan kabar yang disampaikan Daffa jika Aura izin cuti hari ini dan dalam waktu dekat akan mengajukan surat pengunduran diri. "Pak, kenapa tiba-tiba sekali Aura mau resign? Apa ada masalah?" "Iya, kok mendadak sekali, Pak? Setahu kami, Aura tidak ada masalah apa-apa, dan kemarin dia masih baik-baik saja." "Atau jangan-jangan Aura mau nikah ya, Pak, makanya dia resign?" Teman dekat Aura coba mengajukan pertanyaan pada Daffa. Tentu saja mereka sedih sekaligus terpukul karena kabar mengejutkan pagi itu. Ditambah Aura tidak mengatakan apa-apa pada mereka belakangan ini jika ia akan mengundurkan diri dari perusahaan. Belum sempat Daffa menjawab, akhirnya semua diam saat sosok presiden direktur melangkah masuk ke ruang meeting ditemani oleh kepala sekretaris. "Selamat pagi semuanya. Apa pagi ini ada yang datang terlambat lagi?" tanya Firdaus sembari mengedarkan pandangannya pada semua karyawan yang sudah hadir di ruang meeting untuk membahas strategi yang akan diluncurkan oleh Firdaus. "Selamat pagi, Pak Firdaus. Tidak ada, Pak, semuanya sudah datang dan ada di sini." Daffa menjawab, mewakili para staf-nya. Semua karyawan pun sudah bangkit dari duduknya, lalu berdiri menyambut Firdaus sembari membungkuk singkat. Mata Firdaus memicing, mencari seseorang yang tidak tertangkap oleh pandangannya. "Yang kemarin telat mana? Kok saya tidak lihat dia ada di sini?" Firdaus kembali bertanya, menatap Daffa, menuntut jawaban. "Ah iya, Pak. Aura hari ini izin cuti karena ada urusan keluarga." Firdaus mendesah kasar mendengar jawaban Daffa tentang Aura yang malah izin cuti di saat ia baru menjabat sebagai presiden direktur di perusahaan ini. "Jangan dicontoh ya, sudah tau hari ini ada pembahasan penting, tapi malah tidak hadir! Harusnya sempatkan hadir apa pun alasannya!" ucap Firdaus memperingati yang lainnya, lalu duduk di kursinya yang terletak di ujung meja. Victor menatap Firdaus sambil menggeleng tipis, ia tidak mengerti dengan atasannya yang secara terang-terangan menunjukkan ketidaksukaannya pada sosok Aura, salah satu staf terbaik di perusahaan ini. Menurutnya itu bukan sikap yang tepat. "Baik, Pak!" jawab semua karyawan yang berada di sana dengan kompak, lalu kembali duduk di kursi masing-masing setelah dipersilakan oleh Firdaus. Beberapa orang merasa heran dengan ucapan Firdaus yang seolah tidak suka pada Aura sejak kemarin. Padahal Aura hari ini izin karena ada masalah keluarga yang harus diselesaikan, bahkan sudah ada rumor bahwa wanita itu akan resign, membuat mereka sedih karena harus berpisah dengan Aura. "Apa jangan-jangan Aura mau resign gara-gara Pak Firdaus ya, Win?" tanya Jenny berbisik pelan di telinga Winda yang duduk di sebelahnya. "Nggak tau juga deh, tapi bisa jadi sih. Kemarin sore kan Aura dilarang keluar selesai meeting." "Bener kan, jangan-jangan Aura dimarahin habis-habisan sama Pak Firdaus." "Tapi masa sih, cuma gara-gara telat datang sampai bikin mental Aura hancur! Coba nanti kita video call dia deh, tanya apa yang terjadi kemarin sampai dia tiba-tiba mau resign!" balas Winda yang kemudian mengakhiri percakapan mereka saat Firdaus berdeham sembari menatap ke arah mereka.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN