Bab 6. Terpukul

1461 Kata
Aura baru pulang ke rumah saat waktu menujukkan pukul tujuh malam. Selama satu jam ia menghabiskan waktu di halte bus, memikirkan masa depannya setelah resign dari perusahaan yang selama tiga tahun ini membuat hidupnya tercukupi. Sesampainya di rumah, wanita berusia 29 tahun itu disambut isak tangis seorang wanita paruh baya yang merupakan pengasuh yang sudah Aura pekerjakan selama enam tahun ini. "Bi, kenapa nangis? Ada apa, Bi?" tanya Aura dengan raut wajahnya yang bingung. "Mbak, maafin Bibi." "Kenapa Bibi minta maaf? Keisya mana, Bi? Keisya baik-baik aja kan, Bi?" Perasaan Aura mulai tak karuan. Tanpa menunggu jawaban Bi Narti, Aura pun mengambil langkah menuju kamar anak yang berada di seberang kamarnya. Saat membuka pintu kamar berwarna putih tersebut, dahi Aura tampak mengernyit menemukan seorang anak perempuan berusia 9 tahun yang terbaring di atas ranjang dengan dahi yang dibalut perban. "Sayang, kamu kenapa? Dahi kamu kenapa diperban? Kenapa kamu bisa terluka?" tanya Aura panik dan kini duduk di tepi ranjang anak perempuan bernama Keisya Amora. Anak perempuan itu mengerjapkan mata beberapa kali, ia tampak ketakutan untuk menjawab, sampai akhirnya Bi Narti menyusul masuk ke kamar. "Mbak, maafin Bibi ya." Bi Narti meminta maaf sambil menangis, membuat Aura semakin dibuat bingung. "Bi, tolong jelasin aku. Keisya kenapa?" "Anu, Mbak. Sebenarnya Bibi mau kabarin Mbak sore tadi. Tapi Keisya larang Bibi." "Apa yang terjadi, Bi? Tolong cerita sama aku." Bi Narti sekilas menatap pada Keisya yang sorot matanya memohon agar sang pengasuh tidak bercerita pada Aura, akan tetapi Aura segera bangkit dari duduknya, dan ia memegang lengan wanita paruh baya itu, memintanya untuk mengatakan yang sejujurnya. "Keisya tadi di bully sama teman-temannya di sekolah, Mbak, dia didorong waktu lagi ekskul basket, sampai dahinya luka. Terus Bibi bawa Keisya ke klinik dan dahinya dijahit enam jahitan karena lukanya." "Ya ampun, kok bisa sih, Bi?" tanya Aura yang seketika pegangannya terlepas dari tangan Bi Narti, matanya pun berkaca-kaca mendengar kabar tersebut. Keisya yang semula hanya berbaring dan menutup sebagian tubuhnya dengan selimut mulai duduk, Aura pun mendekati putri semata wayangnya, lalu merengkuh tubuh mungilnya dengan berurai air mata. "Sayang, kenapa kamu nggak mau cerita sama Bunda? Siapa yang tega ngelukain anak Bunda? Tolong kasih tau Bunda, Nak," pinta Aura dengan suara bergetar, memeluk erat tubuh putrinya, sambil mengusap-usap pucuk kepala Keisya. "Maafin aku ya, Bunda, aku nggak mau Bunda sedih. Tapi aku nggak kenapa-kenapa kok, Bun, Bunda jangan nangis ya." Tangisan Aura pecah mendengar jawaban Keisya yang masih mengatakan tidak kenapa-kenapa, padahal jelas-jelas ia terluka. Aura pun mengurai pelukannya, menangkup kedua sisi wajah Keisya, dan menatapnya lekat-lekat. "Kamu terluka, Sayang. Jangan bilang kamu nggak kenapa-kenapa. Siapa yang ngelakuin ini ke kamu?" "Kalau aku cerita, Bunda mau janji nggak bakal berhenti nangis? Aku nggak mau cerita kalau Bunda masih nangis." Aura pun buru-buru menghapus air matanya, lalu ia mengangguk, menyanggupi syarat yang putrinya ajukan. "Maafin aku ya, Bun, selama ini aku nggak pernah cerita ke Bunda. Sebenarnya dari kelas satu aku sering di bully sama gengnya Fira, tapi baru kali ini mereka berani mukul aku karena aku ngelawan." "Dari kelas satu? Astagfirullah, kenapa kamu nggak pernah terbuka sama Bunda, Sayang? Kenapa kamu pendam masalah ini sendiri?" "Aku nggak mau nambah beban Bunda, selama ini Bunda udah capek kerja keras buat aku, jadi aku nggak mau bikin Bunda sedih." "Bunda berhak tau apa yang kamu alami di sekolah karena kamu anak Bunda, Keisya! Sekarang tolong cerita sama Bunda, apa yang mereka lakuin ke kamu dari kelas satu sampai sekarang?" "Awalnya mereka sering ejek aku, bilang aku anak haram karena nggak punya ayah, bilang aku nggak pantas ada di sekolah itu karena semua teman-temanku punya ayah, cuma aku yang nggak pernah kelihatan diantar atau dijemput sama ayahnya. Biasanya aku diam mereka mau ngatain aku apa aja, tapi hari ini mereka udah keterlaluan, Bun, mereka bilang kalau Bunda perempuan murahan, bukan perempuan baik-baik, makanya sampai sekarang Bunda nggak punya suami. Aku sakit hati, Bun, aku lawan mereka. Aku nggak terima mereka ngatain Bunda." "Besok Bunda ke sekolah, Bunda akan temuin mereka." "Nggak usah, Bunda." "Nggak apa-apa, Sayang. Bunda harus kasih pengertian ke mereka yang udah berani nyakitin anak Bunda!" "Jangan, Bunda, mereka itu anak-anak orang kaya." "Terus kenapa?" "Aku nggak mau kalau Bunda bermasalah sama orang tua mereka." "Nggak apa-apa, Sayang, percaya sama Bunda ya, Bunda cuma mau meluruskan kesalahpahaman biar mereka nggak ngata-ngatain kamu lagi." Aura berusaha tenang saat berucap pada sang putri, mengusap pucuk kepalanya dengan lembut, walau darah dalam dirinya seakan tengah mendidih saat ini. "Tapi aku takut, Bun. Aku dengar cerita mereka kalau orang tua mereka itu orang-orang hebat, kalau ada musuh yang berani usik mereka, musuh itu akan lenyap dari muka bumi ini. Aku nggak mau Bunda kenapa-kenapa, aku cuma punya Bunda." Aura tersenyum getir. Sungguh polos sekali putrinya yang cantik ini percaya dengan cerita seperti itu. Aura sama sekali tidak takut untuk bertindak, ia merasa perlu menemui pembully anaknya. Bahkan Aura rela mempertaruhkan nyawanya demi membela Keisya, putri yang dilahirkannya sembilan tahun silam, dan selama itu pula ia berjuang mati-matian berjuang untuk Keisya, mana mungkin ia akan diam saja mendengar putrinya dirundung oleh teman sekelasnya, dan dikatai anak haram. Rasanya begitu sakit membayangkan putrinya mengalami perundungan selama tiga tahun terakhir dan memendamnya seorang diri tanpa mau berbagi cerita padanya karena alasan tidak mau membebaninya. Aura benar-benar merasa gagal menjadi seorang ibu karena baru mengetahui masalah ini. Jika Keisya tidak terluka, mungkin kasus ini tak akan pernah diketahui olehnya sampai kapan pun. Pantas saja, sejak masuk sekolah dasar Keisya lebih suka menyendiri di rumah ketimbang bermain dengan teman-teman sebayanya, ia hanya fokus sekolah dan belajar hingga menjadi siswi yang selalu menduduki peringkat pertama dalam akademik di sekolah. "Bunda janji Bunda akan baik-baik aja dan kamu nggak akan kehilangan Bunda. Pokoknya Bunda akan terus temenin Keisya sampai dewasa nanti, kita sama-sama terus ya, tapi mulai sekarang Keisya harus janji satu hal sama Bunda." "Apa itu, Bun?" "Mulai detik ini dan seterusnya jangan pernah sembunyiin tentang apa pun ke Bunda, bisa?" Keisya tampak ragu, tetapi kemudian ia mengangguk yakin seraya tersenyum. "Bisa." "Janji ya, jangan ada rahasia-rahasiaan lagi di antara kita!" "Siap, Bun, aku janji." Aura tersenyum walau hatinya menangis. Lalu ia mengusap perban yang menutupi dahi Keisya yang terlihat memar. "Pasti sakit ya?" tanya Aura terdengar getir menahan tangis karena ia sudah berjanji pada sang putri. "Cuma sakit sedikit aja kok, Bun." Keisya menjawab, lalu menunjukkan senyuman manisnya untuk mengurai perasaan sedih ibunya. "Masa sih?" "Iya, aku jujur loh ini, Bun. Malah yang sakit sekarang tuh lutut aku." "Lutut?" Aura pun dengan cepat menyingkap selimut yang menutupi kaki Keisya. Hatinya semakin teriris melihat memar berwarna ungu di kedua lutut putrinya. "Ini kenapa, Sayang?" tanya Aura lagi dan berusaha sekuat tenaga agar tidak menangis, walau matanya benar-benar panas saat ini. "Tadi aku jatuh waktu di pinggir lapangan, Bun, karena di dorong Fira dan gengnya." "Pasti sakit banget ya, Sayang. Bunda obatin ya?" Dengan perasaan yang terpukul hancur, Aura mengusap perlahan memar di lutut putrinya. "Jangan Bunda, tadi udah diolesin salep kok sama Bi Narti, udah dikompres juga. Bunda kan baru pulang kerja, mending Bunda bersih-bersih, terus istirahat deh biar capeknya hilang!" pinta Keisya yang begitu mengerti betapa melelahkannya menjadi Aura yang sejak melahirkannya bekerja keras untuk memberinya kehidupan yang layak. Aura tak bisa berkata-kata. Hatinya tercabik-cabik saat ini. Ingin rasanya menjerit, tapi ia tidak melakukannya. "Malam ini Bunda boleh tidur di sini nggak? Bunda mau tidur bareng kamu." "Boleh banget dong, Bun. Ayo, makanya Bunda cuci muka dulu, ganti baju, terus ke sini lagi deh!" "Ok, Sayang. Bunda bersih-bersih di kamar dulu ya. Kamu jangan dulu tidur ya karena Bunda punya sesuatu buat kamu!" ucap Aura yang kemudian mencium pipi Keisya sebelum berlalu pergi. "Siap, Bunda. Aku tunggu ya!" Keisya menjawab dengan seceria mungkin, lalu ia tersenyum melihat kepergian ibunya dari dalam kamar. Setelah Aura keluar, Bi Narti gantian duduk di tepi ranjang, lalu ia menatap Keisya penuh rasa bersalah. "Maafin Bibi ya, Kei," ucap Bi Narti seraya menggenggam tangan anak perempuan itu. "Bibi nggak usah minta maaf, Bibi nggak salah kok. Kei yang salah karena larang-larang Bibi kasih tau ke Bunda," balas Keisya yang seolah mengerti posisi serba salah Bi Narti yang sudah mengasuhnya sejak berusia tiga tahun. Sementara di dalam kamar, Aura menumpahkan tangisannya. Sungguh malang nasib putri yang dilahirkannya tanpa sosok ayah. Hatinya benar-benar hancur dan teriris perih mendengar cerita Keisya yang ternyata menanggung beban seorang diri karena perlakuan kejam teman-teman di sekolahnya, bahkan sampai dikatai anak haram. "Ya Allah, hatiku benar-benar sakit. Sakit banget rasanya begitu tau Keisya mengalami kekerasan dari teman-temannya. Aku harus apa ya Allah? Aku sudah gagal menjadi ibu untuk Keisya, ternyata aku nggak bisa jadi tempatnya berkelu kesah, aku nggak bisa jadi tempatnya berlindung. Selama ini aku terlalu sibuk kerja demi mencari nafkah. Tapi aku harus melakukan itu demi hidupnya karena hanya aku yang dia punya sebagai orang tuanya."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN