Bab 5. Diusir

1059 Kata
"Meeting sore ini selesai, silakan tinggalkan ruangan ini, kecuali dia!" ucap Firdaus mengakhiri meeting dengan divisi humas dan divisi komunikasi korporat, lalu mendaratkan telunjuknya tepat ke arah Aura yang seketika terlonjak. "Saya, Pak?" tanya Aura dengan ekspresi terkejut sembari menunjuk dirinya sendiri. "Ya, kamu!" jawabnya dingin dan membuat Aura merinding. Semua orang pun pergi meninggalkan ruang meeting, termasuk Daffa yang sebelum pergi tersenyum pada Aura, dan tidak lupa memberinya semangat agar rileks saat berhadapan dengan presdir baru mereka. Tetapi, tak dapat dipungkiri hampir semua karyawan yang tadi meeting bersama Firdaus dibuat bertanya-tanya dan penasaran, mengapa Aura ditahan, dan tidak langsung dipersilakan pergi seperti yang lainnya? Apakah Aura akan mendapat hukuman karena sempat datang terlambat? Tapi bukannya Aura datang bersama Daffa, kalau karena itu alasannya, harusnya Daffa juga tidak akan dibiarkan pergi. Namun, rasa penasaran itu terpaksa dikubur oleh beberapa teman baik Aura sampai mereka bisa bertanya langsung pada wanita itu daripada menduga-duga. Setelah ruangan sepi, kini tinggallah Aura dan Firdaus berdua dalam ruangan yang seketika terasa begitu mencekam, dan oksigen di sekitar seakan menipis membuat Aura merasakan sesak. "Ya ampun, buat apa dia minta aku tinggal di sini? Mana cuma berdua lagi! Ya Tuhan, tolong lindungi aku," batin Aura berdoa sambil memejamkan mata sekilas. Setelah sempat terdiam tanpa kata selama beberapa saat, kini akhirnya Firdaus melayangkan tatapan tajamnya pada Aura yang hanya diam tanpa berani melontarkan pertanyaan apa pun. Suasana di antara mereka terasa sangat canggung dan dingin. "Sejak kapan kamu bekerja di perusahaan ini?" tanya Firdaus dengan suaranya yang terdengar berat, tapi penuh penekanan. "Sejak tiga tahun lalu, Pak." Aura menjawab sebagai karyawan dan coba bersikap formal walau pria yang duduk di hadapannya saat ini adalah mantan kekasihnya dulu. "Kalau begitu, segera ajukan surat pengunduran diri!" titah Firdaus yang sangat tiba-tiba dan sungguh mengejutkan Aura. "Ke–kenapa, Pak?" Aura bertanya dengan ekspresi kaget sekaligus sedih yang tak bisa disembunyikan. Ia benar-benar tak menyangka ternyata hal itulah yang hendak Firdaus bicarakan dengannya, meminta Aura mundur dari perusahaan yang pria itu pimpin. "Aku nggak mau lihat kamu di sekitaranku karena ini adalah perusahaan milik kakekku, mulai sekarang aku yang memimpin perusahaan ini, jadi kamu harus berhenti dari sini!" jawab Firdaus dengan sorot matanya yang begitu dingin, membuat Aura merasa terintimidasi. Aura benar-benar tidak mengerti apa alasan Firdaus melakukan itu, tega mengusirnya. Apakah ini ada kaitannya dengan masa lalu mereka? Tapi bukankah itu sudah lama berlalu? Dan seharusnya Firdaus sudah memiliki pasangan yang jauh lebih baik dari Aura, lalu apa lagi yang mau dipermasalahkan? "Tapi, Pak, saya sangat butuh pekerjaan ini." Mata Aura mengerjap beberapa kali, berusaha menahan bulir-bulir hangat yang terasa mulai menggenangi pelupuk mata. "Kamu bisa cari pekerjaan lain di luaran sana, aku nggak mau punya bawahan pengkhianat seperti kamu!" balas Firdaus yang sama sekali tidak terlihat kasihan pada Aura. Hatinya seakan-akan dipenuhi kebencian yang menggunung. Aura memejamkan mata sekilas, ia bahkan kesulitan menelan salivanya sendiri. Sungguh miris bukan, pria yang masih dicintainya sampai detik ini sangat membencinya, dan secara terang-terangan memintanya pergi menghilang dari kehidupannya. "Maafin aku, Fir." Aura seketika menempati dirinya menjadi Aura yang dulu Firdaus kenal. Meminta maaf walau kandasnya hubungan mereka dulu bukan karena salahnya. Tetapi mau bagaimanapun, ia telah membuat Firdaus kecewa hingga membencinya karena pria itu menemukannya di sebuah rumah bordil dengan pikiran yang buruk. Namun, bukan hanya Firdaus yang kecewa, Aura jauh sangat terluka dan menderita selama hidupnya. Bahkan kenangan 10 tahun silam selalu menjadi mimpi buruk di setiap tidurnya dan sampai detik ini Aura selalu ketakutan setiap kali mengingat kenangan kelam yang telah menghancurkan hidupnya. "Maaf kamu bilang?" Nada suara Firdaus terdengar mengejek saat ini, bahkan sebelah sudut bibirnya tertarik, membentuk seringai tajam. "Tolong maafin aku, Fir, maaf atas kesalahanku di masa lalu. Maaf karena aku sudah membuat kamu kecewa. Seandainya aku punya kesempatan untuk menjelaskan yang sebenarnya, aku sangat ingin melakukannya supaya kamu nggak salah paham lagi tentang aku." Dengan suara yang bergetar menahan perih, Aura meminta maaf sembari menundukkan kepala, ia tidak lagi berani menatap Firdaus yang sorot matanya hanya memancarkan kebencian. Mendengar permintaan maaf dari wanita yang pernah mengisi hatinya di masa lalu, Firdaus pun bangkit dari duduknya. Dengan langkah kaki yang berat, ia berjalan menghampiri Aura, lalu dengan jari telunjuknya Firdaus meraih dagu wanita itu hingga wajah Aura mendongak, dan tatapan mereka saling bertaut dalam. "Kamu pernah punya kesempatan untuk menjelaskannya, Aura, tapi kamu malah memilih melarikan diri. Jadi teruslah melarikan diri dan jangan pernah berhenti supaya kita nggak pernah bertemu lagi, lakukan hal itu seperti yang kamu lakukan selama 10 tahun ini!" ucap Firdaus dengan penuh penekanan. "A–apa maksud kamu, Fir?" tanya Aura yang tidak mengerti dan detak jantungnya tak karuan saat ini karena jarak mereka yang sangat dekat. "Apa kamu nggak tau malu, kerja di perusahaan dari seseorang yang kamu tinggalin dulu demi uang?" Firdaus mulai mengalihkan pembicaraan. Aura menggeleng pelan dengan raut wajah ketakutan. "Kamu salah, Fir." "Apanya yang salah?" "Kamu salah berpikir tentang aku, Fir. Kenapa aku bisa ada di tempat terkutuk 10 tahun yang lalu itu karena aku dijual sama paman dan bibiku sebagai penebus utang mereka ke pemilik rumah bordil. Aku di sana bukan karena keinginanku, tapi aku dijual. Selama sebulan aku terkurung di sana, aku selalu mencoba untuk bertahan, dan mencari cara untuk melarikan diri, tapi usahaku gagal, sampai akhirnya kamu datang, dan—" Belum selesai Aura dengan ceritanya, Firdaus sudah lebih dulu memotong ucapannya, dan langsung menempelkan jari telunjuknya tepat di permukaan bibir merah Aura agar berhenti bicara. "Stop! Aku nggak mau dengar penjelasan kamu!" titah Firdaus yang membuat Aura kembali tertunduk lesu karena ternyata ia tidak memiliki kesempatan untuk menjelaskan kesalahpahaman di masa lalu. Aura hanya bisa pasrah, mungkin selamanya Firdaus akan menganggapnya pembohong, pengkhianat, dan wanita yang pergi meninggalkannya demi uang. "Baiklah kalau kamu memang mau aku pergi dari perusahaan ini, aku akan resign demi rasa bersalahku ke kamu, Fir. Aku pamit!" Aura pun segera bangkit dari duduknya dan bersiap pergi meninggalkan ruangan itu dengan pikiran yang berkecamuk. Tamat sudah karir Aura di perusahaan makanan ternama yang dibangunnya selama tiga tahun ini. Kini ia harus pergi meninggalkan semuanya dengan membawa hati yang terluka. Entah bagaimana tanggung jawab Aura ke depannya, mampukah ia mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang cukup demi seseorang yang dihidupinya selama sembilan tahun ini? Memikirkannya saja Aura tak mampu, ia pun memilih untuk mengasingkan diri di toilet, dan menumpahkan air mata yang sejak tadi ditahannya agar sesak di d**a berangsur pergi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN