Bab 4. Tak Dianggap

1097 Kata
"Ra, ayo kita siap-siap ke ruang meeting!" ajak Winda seraya menghampiri Aura di cubiclenya. Sementara yang dihampiri tampak sibuk dengan beberapa berkas dan komputer yang berada di depan. "Aura, kamu denger nggak sih!" ucap Winda setengah berteriak di telinga Aura yang seketika menoleh. "Iya, aku denger! Tapi kamu duluan aja, aku nyusul lima menit lagi!" jawab Aura yang hanya menatap sekilas pada sahabatnya dan segera kembali ke layar komputer sembari membolak-balik berkas yang ada di tangan. "Ish, kerja mulu! Ngapain deh kamu kerja sekeras ini, padahal gaji kita sama aja kali! Udahlah, tinggalin aja dulu, nanti lanjut lagi kan bisa! Bareng aja sih kita ke ruangan meetingnya, katanya mau rapat penting sama presdir langsung tau!" Winda agak memaksa kali ini, hingga suaranya mengundang perhatian yang lain di ruangan tersebut. "Win, bareng aku aja yuk! Udah tinggalin aja si Aura kalau nggak mau diajak bareng! Kalau harus nunggu dia selesai ngerjain tugas, bisa-bisa kita malah telat semua!" sahut Jenny yang sudah bersiap untuk pergi ke ruang meeting begitu selesai merias wajah mungilnya dengan beragam skincare. Begitulah Jenny yang dikenal centil tapi memang cantik sih, bahkan mantannya di perusahaan ini sudah mencapai belasan, dan ia tipe wanita yang mudah bosen-an dalam menjalin hubungan. "Ya udah deh, biarin aja Aura kena omel! Kita duluan aja biar bisa kenalan sama presdir kita yang baru sebelum mulai meeting. Siapa tau kan bisa tukeran nomor WA!" Winda mengakhiri kalimatnya seraya tertawa berharap. "Nah iya, kalian duluan deh! Aku nyusul sebelum meeting dimulai!" balas Aura sembari mendorong tubuh Winda agar pergi, lalu ia melambaikan tangan sembari tersenyum. Mereka pun pergi meninggalkan ruangan sembari mengomel pada Aura yang dianggapnya sangat gila dalam bekerja. Wajar saja jika selama tiga tahun bekerja di perusahaan tersebut, Aura sudah tiga kali mendapat penghargaan sebagai karyawan terbaik di departemen humas, dan tentunya ia cukup terkenal karena penghargaan tersebut. Hanya butuh waktu selama beberapa menit, Aura berhasil menyelesaikan pekerjaannya sebelum menyerahkannya pada direktur komunikasi–atasannya. Wanita itu kemudian bersiap untuk pergi ke ruang meeting hanya dengan menggerai rambutnya yang sempat diikat saat mengerjakan tugas dan merapikan pakaiannya agar tidak terlihat kusut. Tak lama kemudian, pintu ruangan dibuka oleh seseorang. Seketika Aura terkejut mengetahui siapa yang masuk ke ruangan yang hanya ada dirinya sendiri di sana. "Selamat siang, Pak Daffa, ada yang bisa saya bantu?" tanya Aura yang begitu formal saat sang atasan berada di hadapannya dan kini tengah mengulum senyuman. "Kita ke ruang meeting bareng yuk!" ajak pria bernama Daffa Sanjaya itu tanpa berbasa-basi pada Aura, salah satu staf humas di bawah kepemimpinannya. "Ah iya, Pak. Kebetulan ini saya mau ke sana," jawab Aura yang tampak tersenyum canggung. Bagaimana tidak, kebaikan Daffa yang cukup dekat dengannya menimbulkan gosip di kalangan karyawan bahwa keduanya menjalin hubungan, padahal tidak sama sekali. "Makanya itu, kita bareng aja sekalian!" balas Daffa yang kemudian mengajak Aura keluar dari ruangan yang sepi itu bersamaan. Lalu keduanya pergi menuju ruang meeting. Sesampainya di ruang meeting yang berada di lantai 21, Daffa membuka pintu ruangan setelah mengetuknya sebanyak tiga kali. Saat ia melangkah masuk, ternyata di dalam ruangan tampak sudah ramai, tidak hanya ada staf-nya dari divisi humas dan divisi komunikasi korporat, tetapi presiden direktur bersama kepala sekretaris yang mulai menjabat hari ini juga sudah berada di ruangan itu, membuat Daffa merasa tidak enak, dan perlu meminta maaf karena ia datang terlambat. "Maaf, Pak, saya datang terlambat," ucap Daffa sembari menundukkan kepalanya dalam-dalam ketika berdiri di hadapan presiden direktur. "Tidak masalah, karena meetingnya baru akan dimulai dalam lima menit ke depan. Jadi kamu belum terlambat. Silakan duduk!" titah sang presdir yang duduk nyaman di atas sofa setelah menatap jarum jam yang melingkar sempurna di tangannya. Aura yang berada tepat di belakang Daffa karena mereka melangkah masuk bersama, merasa perlu menyapa pimpinan perusahaan yang baru. Namun, begitu Daffa beranjak pergi untuk memutuskan duduk, seketika langkah Aura terasa berat untuk melangkah maju, dan mendekati sang presdir setelah tahu siapa sosok pria tampan dan berwibawa itu. "Fi–Firdaus?" ucap Aura yang sulit untuk percaya bahwa presiden direktur baru di perusahaannya adalah Firdaus Salim, mantan kekasihnya 10 tahun lalu. Aura seketika merasakan gugup luar biasa, lidahnya terasa kelu, dan ia mulai kesulitan untuk bernapas. Sementara Firdaus menatapnya tajam. Sorot matanya yang dingin seolah menunjukkan kebenciannya yang teramat dalam pada sosok Aura. Pria itu seketika bangkit dari duduknya dan beranjak pergi dari hadapan Aura tanpa membiarkan wanita itu menyapanya terlebih dahulu. Kemudian Firdaus menempati kursi yang terletak di ujung meja panjang untuk bersiap memulai meeting dan Victor sebagai kepala sekretaris duduk di sisi kanannya. Aura bingung harus bagaimana. Ia masih termangu di tempatnya semula. Sampai akhirnya Winda melambaikan tangan, meminta Aura untuk duduk di sebelahnya. Ia pun bergegas dan menempati kursi yang kosong tersebut, hanya saja jarak duduknya dengan Firdaus sangat dekat, membuatnya gugup dan tak nyaman. "Sebelum mulai meeting, saya ingin memperingati satu hal penting! Mulai besok saya tidak mau ada yang datang terlambat lagi! Kalian seharusnya datang lebih dulu sebelum saya! Saya paling tidak suka kalau waktu saya yang berharga terbuang sia-sia hanya untuk satu atau dua orang yang tidak tahu bagaimana caranya menghargai waktu!" ucap Firdaus dengan tegas dan penuh penekanan, membuat Daffa dan Aura saling tatap, merasa bersalah sekaligus tersindir. "Kalian mengerti!" Semuanya menjawab kompak. "Mengerti, Pak." Aura menatap Firdaus dengan ragu-ragu, lalu ia menundukkan kepala. "Maaf, Pak, tadi saya tidak sengaja terlambat, dan mulai besok saya tidak akan datang terlambat lagi," ucap Aura yang memilih untuk meminta maaf daripada membuat masalah dengan Firdaus, padahal jelas-jelas ia mendengar sendiri saat Firdaus berkata pada Daffa jika pria itu belum terlambat karena meeting baru akan dimulai lima menit ke depan. Namun, setelah Firdaus melihatnya, seketika pria itu marah dan mempermasalahkan kedatangannya yang belakangan. Membuat Aura jadi tidak enak pada Daffa. Permintaan maaf Aura malah tak ditanggapi, seolah tak dianggap oleh Firdaus yang langsung memulai meeting pada sore itu. Firdaus memperkenalkan diri bahwa ia adalah presiden direktur yang baru untuk menggantikan sang kakek. Walau semua karyawan di sana sudah tahu siapa Firdaus saat pertama kali mereka melihat sosoknya yang berwibawa dan penampilannya yang berkelas. "Ya ampun, gimana ini? Ternyata presdir baru yang gantiin Pak Baskara itu Firdaus! Gimana nasibku ke depannya? Baru hari pertama aja dia langsung nunjukin kemarahannya ke aku. Padahal udah 10 tahun berlalu, kenapa dia masih ingat sama aku sih? Aduh, apa sebaiknya aku resign aja ya dari sini? Tapi belum tentu aku bisa dapat kerjaan baru yang senyaman sekarang. Tapi kalau nggak resign, aku bakal sering ketemu sama Firdaus! Akh, bingung banget jadinya!" teriak Aura dalam hati hingga tidak fokus dengan hal yang Firdaus sampaikan karena terlalu sibuk dengan isi pikirannya sendiri yang tak karuan saat ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN