Bab 16. Seenaknya!

1039 Kata
"Aura, besok kamu temani aku ke Surabaya, kita pergi selama tiga hari karena setelah dari Surabaya kita lanjut ke Semarang, jadi persiapkan dirimu!" Suasana yang tadinya sunyi seketika berubah tegang saat Firdaus keluar dari ruangannya dan menghampiri meja kerja Aura. Sontak wanita itu berdiri dengan raut wajah penuh keterkejutan. Bagaimana tidak, tiba-tiba saja ia diminta untuk menemani sang atasan ke luar kota, selama tiga hari pula. Ditambah perintah itu langsung diluncurkan tanpa menanyakan kesediannya terlebih dahulu. "Maaf, bukannya Pak Victor yang menemani Bapak dalam perjalanan bisnis ke Surabaya dan Semarang?" tanya Aura karena biasanya Victor lah yang selalu menemani Firdaus jika harus melakukan perjalanan bisnis ke luar kota sampai luar negeri. "Victor nggak bisa pergi, jadi kamu yang akan menggantikannya untuk menemaniku! Jangan coba-coba menolak. Semua sudah diatur!" Aura membeku di tempat. Perintah itu seperti pisau yang menusuk pikirannya. Ia belum pernah menghadapi Firdaus dalam posisi seperti ini, pergi menemani atasannya dalam perjalanan bisnis ke luar kota sampai berhari-hari, apalagi dengan nada suara yang seolah tidak memberi ruang untuk diskusi. Sementara Keisya akan mengikuti lomba renang pada hari Minggu, Aura sudah berjanji akan datang, dan menyemangati sang putri, tetapi kini Firdaus malah memerintahkannya secara mendadak tanpa kompromi, jika ia pergi menemani Firdaus dalam perjalanan bisnis selama tiga hari yaitu Jumat, Sabtu, dan Minggu, itu artinya Aura harus absen di hari bersejarah untuk Keisya. "Maaf, Pak, tapi hari Minggu ini saya sudah ada janji—" "Aku nggak mau dengar alasanmu, Aura. Ini bukan negosiasi!" Firdaus memotong dengan suara tajam. Lalu pria itu melangkah maju, lebih dekat dengan posisi Aura. "Kamu akan ikut, apa pun alasannya. Jangan buat aku marah!" Aura menunduk, merasa tekanan berat yang menyeret napasnya menjadi singkat. Tidak ada ruang untuk membantah perintah sang presdir, tidak ada celah untuk melarikan diri dari kekuasaan Firdaus yang mutlak. Ini benar-benar mendadak dan tanpa persiapan sama sekali. *** Keesokan harinya, Aura berusaha menutup semua kecemasannya di balik senyum kecil yang dipaksakan saat ia mencium kening Keisya yang masih tertidur lelap. Hatinya terasa berat, tapi apa lagi yang bisa ia lakukan? Perintah Firdaus bukan sesuatu yang bisa ditolak begitu saja. Setelah menitipkan Keisya pada Bi Narti dengan berbagai arahan, Aura berangkat ke kantor pagi-pagi sekali untuk perjalanan yang terasa lebih seperti hukuman. Semalam Aura sudah berpamitan dengan Keisya, meminta maaf karena tidak bisa hadir hari Minggu nanti, menyaksikan lomba renang sang putri karena tugas dari kantor. Beruntung Keisya sangat pengertian, anak perempuan itu sama sekali tak marah walau sempat merasa kecewa, tetapi setelahnya ia memberi izin Aura untuk melakukan perjalanan bisnis ke luar kota selama tiga hari, dan mendoakan semoga pekerjaan ibunya berjalan lancar juga selamat di perjalanan. Setibanya di kantor, suasana masih sepi karena waktu baru menunjukkan pukul 06.30 pagi saat Aura sampai di sana. Hanya saja staf keamanan sudah bersiap untuk berjaga, staf kebersihan juga tampak sibuk. Namun, begitu Aura tiba di lobi, mobil hitam dengan kaca gelap sudah menunggunya. Firdaus berdiri di dekat kendaraan itu, mengenakan jas hitam rapi. Sorot matanya tetap dingin saat ia melihat Aura mendekat. "Kamu terlambat lima menit!" ucapnya datar tanpa ekspresi, meski sebenarnya Firdaus tahu Aura datang tepat waktu sesuai jadwal. Pria itu sama sekali tidak tahu konflik batin yang sedang dialami Aura. "Maaf, Pak," jawab Aura dengan suara pelan sambil menunduk. Padahal ia sudah lebih pagi jalan dari rumah, tapi tetap saja Firdaus datang lebih dulu, dan membuatnya seolah-olah terlambat. "Masuk! Kita nggak punya banyak waktu!" perintah Firdaus, sementara sang sopir sudah membuka pintu mobil. Aura hanya bisa menurut, melangkah masuk dengan hati yang semakin gelisah, lalu disusul oleh Firdaus yang duduk di sebelahnya. Di dalam mobil, suasana terasa menyesakkan. Firdaus duduk di sampingnya, tapi tidak ada kata-kata yang keluar darinya. Aura merasa seperti duduk di dalam ruang interogasi, hanya suara deru mesin dan lalu lintas pagi yang menemani mereka. Sebenarnya Aura ingin mengatakan sesuatu, tetapi keberaniannya selalu hilang setiap ia mencuri pandang ke arah wajah Firdaus yang terlihat begitu dingin dan penuh misteri. Kekosongan itu akhirnya pecah ketika Firdaus berbicara, suaranya masih setajam biasanya. "Kamu tau kenapa aku memilihmu untuk perjalanan ini?" Aura menggeleng pelan, tidak berani menatap langsung. "Tidak, Pak. Saya pikir Pak Victor—" "Victor sibuk menggantikanku untuk proses shooting produk baru weekend ini, jadi kamu nggak perlu mikir macam-macam, apalagi sampai berpikir aku sengaja mengajak kamu supaya kita bisa dekat! Itu sama sekali nggak benar!" Firdaus memotong dengan nada yang sinis, sorot matanya juga tajam menatap Aura. Jelas Aura terkesiap mendengar ucapan Firdaus seolah-olah dirinya berpikir seperti itu, padahal sama sekali tidak. Entah bagaimana caranya Aura bisa menjelaskan, tapi ia nekat untuk mencoba. "Maaf, Pak, saya sama sekali tidak berpikir seperti itu. Saya tau ini hanya sebuah perjalanan bisnis dan mungkin memang sudah seharusnya saya menemani Bapak dalam perjalanan seperti ini karena saya adalah sekretaris Bapak, ditambah Pak Victor ada kesibukan lain, jadi sudah tugas saya bersedia untuk menggantikannya kapan pun jika diperlukan!" Aura dengan lugas menjelaskan isi pikirannya agar Firdaus tidak berpikir yang tidak-tidak, dan malah menuduh seenaknya. "Tapi aku tau kamu terpaksa melakukannya! Nggak usah bohong, aku bisa lihat sendiri dari raut wajah kamu!" Kali ini Aura menghela napas pasrah. Memang ia sedikit terpaksa karena masalahnya Keisya akan mengikuti lomba renang untuk pertama kalinya, ditambah ia tidak pernah meninggalkan Keisya selama berhari-hari karena putrinya itu tidak bisa tidur jika Aura belum pulang ke rumah selesai bekerja. "Maaf, Pak, seharusnya saya tidak boleh terpaksa melakukannya, hanya saja Minggu ini sebenarnya saya ada acara penting dan sudah janji dengan seseorang, mungkin itu yang membuat saya sedikit merasa terpaksa, dan ini juga pengalaman pertama saya. Tapi Bapak tenang saja, saya akan melakukan tugas saya dengan baik, saya akan fokus dalam perjalanan bisnis ini!" Aura coba meyakinkan Firdaus agar tidak merasa terganggu dengan raut wajahnya yang mungkin tidak dapat disembunyikan bahwa ia sedikit terpaksa melakukan perjalanan bisnis ini. "Minta maaf terus, kamu kira sekarang lebaran!" ketus Firdaus yang membuat Aura seketika terdiam dan tak mampu berkata-kata. "Ish, dia itu kenapa sih! Tadi nuduh aku yang nggak-nggak, mana main ngatain aku seenaknya, pas dijelasin malah bilang begitu! Kalau aku nggak minta maaf entar dikira kurang ajar dan nggak sopan! Aduh serba salah banget jadi aku punya atasan kayak dia!" gerutu Aura dalam hati dengan mata yang memicing saat menatap Firdaus yang sudah membuang muka ke arah luar jalanan sambil bersedekap.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN