12. Hari H

1275 Kata
Waktu berjalan sangat cepat hingga tak terasa hari pernikahan pun tiba. Padahal, rasanya seperti baru kemarin Nania mencoba gaun pengantinnya, melakukan fitting baju dengan Leon dan mempersiapkan keperluan lainnya. “Wah, cantik sekali.” MUA yang merias Nania tak berhenti memuji betapa cantiknya sang pengantin. Meski dengan make up natural sesuai permintaan, Nania tetap terlihat cantik sempurna dengan kebaya warna putih yang begitu pas di tubuh. Nania menatap pantulan wajahnya di cermin dengan tatapan kosong. Ia seolah masih tak percaya bahwa hari ini akhirnya tiba, hari di mana ia dan Leon akan menikah. Kadang, ia selalu bertanya-tanya seperti apakah kehidupan pernikahannya nantinya? Mengingat, pernikahan ini terjadi karena terpaksa, karena dirinya harus membantu Leon demi mendapatkan hak warisannya. “Apa sudah selesai?” Sebuah suara menginterupsi pendengaran, Selvi berjalan memasuki ruangan dan menghampiri Nania. “Sudah, Nyonya. Lihat lah, betapa cantiknya putri anda,” ujar MUA sambil mengambil foto Nania. Ia begitu puas dengan hasil kerjanya, dan baginya itu juga berkat paras ayu alami Nania. Selvi berdiri di samping Nania dan tak bisa menahan haru saat Nania menoleh menatapnya. Ada sedikit rasa tak rela karena harus melepas putri tercinta, tapi ia juga bahagia melihat anak semata wayangnya melepas masa lajang. “Sayang, kau cantik sekali,” puji Selvi sambil menangkup wajah Nania. Nania berusaha menyunggingkan senyuman. “Terima kasih, Bu.” Rasanya Nania ingin menangis. Sebagian hatinya merasa senang melihat ibunya tampak bahagia, tapi sebagian hatinya merasa resah. Jika ibunya tahu kebenarannya, apakah masih tetap bahagia? Atau, merasa kasihan padanya dan memintanya mengakhiri pernikahan saat itu juga? Di lain sisi, Leon masih bersiap di kamarnya dibantu asisten MUA yang merias Nania. Keduanya sengaja dirias di tempat terpisah. Pernikahan dilaksanakan di rumah Leon dan hanya dihadiri keluarga dekat serta kerabat. Sementara resepsi akan digelar satu minggu lagi di ballroom hotel milik sang ayah. Leon menatap pantulan dirinya di depan cermin dan memejamkan mata sejenak. Rasanya ia masih tak percaya hari ini akan menikahi Nania, mantan sekretarisnya yang kikuk, sedikit menyebalkan tapi berbaik hati mau membantunya meski terpaksa. Leon tersentak saat seseorang memasuki ruangan. Steven berjalan ke arahnya dan berdiri di sampingnya lalu menepuk bahu. “Sudah saatnya,” ucap Steven. Leon menatap sang ayah dengan pandangan sulit diartikan, seakan sorot matanya mengatakan, “Apakah ayah senang sekarang?” Namun, Steven tak dapat membaca makna tatapan Leon padanya. Steven menarik napas panjang dan mengembuskannya sedikit berat lalu mengatakan, “Ayah tidak tahu apakah pernikahanmu ini murni karena kau ingin menikahi Nania atau hanya karena warisan. Tapi, ayah hanya ingin berpesan setelah kau menikah kau akan jadi kepala keluarga yang mengemban tanggung jawab besar. Jadilah suami yang bisa membahagiakan istrimu, jadilah pemimpin dan kepala keluarga yang bisa menjadi pelindung bagi keluarga kecilmu.” Leon tertegun, setitik rasa bersalah pun timbul. Ia dapat melihat harapan yang besar dari cara bicara ayahnya juga cara ayahnya menatapnya. Tapi kenyataanya, pernikahannya dan Nania hanyalah pernikahan palsu, tak ada cinta di dalamnya. Steven kembali menepuk pelan bahu Leon dan sambil tersenyum mengatakan, “Ayah tak sabar ingin segera menggendong cucu. Ayah berharap segera mendapat kabar baik darimu.” Seketika wajah Leon menjadi masam. Ia pun mendengus dan mengatakan, “Apakah pantas ayah menanyakan itu? Bahkan kami belum sah.” Kekehan tawa Steven merekah. “Akan sah beberapa menit dari sekarang. Sudah, jangan banyak bicara. Penghulu dan semua orang sudah menunggu.” Tak lama, Leon pun telah duduk di hadapan penghulu dan ayah Nania, sementara Nania masih di kamar, menunggu ijab selesai baru keluar. Leon menelan ludah saat tangan Hartono terulur untuk ia jabat. Dengan telapak tangan tampak basah oleh keringat dingin, ia pun menjabat tangan ayah Nania. Di dalam kamar di mana Nania berada, di sebelah ruang tengah di mana ijab tengah diucap, ia ditemani sang ibu. Selvi menggenggam kedua tangan Nania di atas pangkuan dengan kedua mata memejam. Dalam hati ia merapalkan doa semoga semua berjalan lancar tanpa kendala. Sementara, jantung Nania tak berhenti berdetak dengan cepat. Berbagai perasaan pun timbul dalam benak dan saat samar-sama ia mendengar kata ‘sah’ terucap lantang oleh para saksi, matanya mulai basah. Selvi memeluk Nania dan tak berhenti mengucap kata syukur serta memberi putriya itu ucapan selamat. Selamat karena mulai detik ini statusnya adalah seorang istri, istri dari Leonard Ronald lelaki pilihannya sendiri. Ia kemudian menuntun Nania berjalan keluar kamar untuk menemui Leon yang sudah sah menjadi suami. Dengan hati-hati Nania duduk di samping Leon. Leon pun menoleh dan keterkejutan pun tampak di wajahnya. Leon terpaku selama beberapa detik saat pandangannya menangkap sosok wanita yang telah sah menjadi istrinya. Apakah hanya perasaannya saja? Ia merasa Nania berhasil membuatnya terpesona. Wanita bar-bar yang kapan lalu seperti serigala dengan menggigit tangannya bahkan sampai detik ini masih membekas, kini menjelma menjadi wanita yang begitu anggun bak ratu. Bukan hanya Leon yang terpesona akan kecantikan Nania, tapi juga Ajun yang duduk di samping Steven dan Yolanda. Ia sampai tak berkedip memperhatikan Nania. Sejak mengetahui rencana pernikahan kakaknya, dirinya sama sekali tak peduli bahkan tak ikut campur dalam hal apapun. Bahkan saat Nania tiba di rumahnya pagi tadi untuk dirias, dirinya juga tak peduli. Dia baru keluar kamar saat para kerabat datang, itupun atas perintah sang ayah. Yolanda setengah memiringkan kepala ke arah Ajun di sebelahnya, menutup mulut dan berbisik, “Jangan mau kalah dengan kakakmu, Jun. Ayahmu sangat ingin cucu, jika mereka memilikinya dengan segera, bisa-bisa seluruh hartanya diberikan pada Leon dan cucunya.” Ajun hanya diam bahkan tidak begitu mendengar sepenuhnya apa yang ibunya bisikkan. Ia baru menoleh pada ibunya saat ibunya itu menepuk pelan pahanya. “Kau dengar ibu, tidak?” “Jadi ibu mau Ajun juga segera menikah?” “Tentu saja. Nanti ibu akan buat Leon tidak punya keturunan. Jadi setelah kau menikah dan punya anak, ayahmu pasti akan memberikan segalanya pada kalian.” Ajun menatap ibunya dengan dahi berkerut tajam. “Apa ibu bercanda? Aku masih muda, bahkan aku belum selesai kuliah. Aku tidak mau merusak masa depanku dengan menikah cepat.” “Hish, kau ini,” geram Yolanda. “Ehm.” Yolanda tersentak mendengar deheman suaminya juga sikutan kecil darinya. Meski Steven tak mendengar apa yang istrinya bicarakan dengan putra keduanya, menurutnya tak sopan mereka bicara di saat penghulu tengah membaca doa. Tubuh Yolanda menjadi tegang, kedua tangannya yang terangkat di depan d**a tampak gemetar. Ia harap suaminya tak mendengar apa yang dibicarakannya dengan sang putra sebelumnya. *** Nania menjatuhkan tubuhnya ke atas ranjang king size milik Leon dengan posisi tengkurap, membenamkan wajahnya pada bantal empuk Leon beraroma mint tak peduli riasan di wajahnya terhapus. Sementara, Leon baru memasuki kamarnya. Menutup pintu, diperhatikannya Nania yang tak juga mengangkat kepala. Ia kemudian membuka pakaiannya satu persatu kecuali celana dan meletakkannya di sofa. Nania membalikkan tubuhnya saat membutuhkan pasokan oksigen. Terlalu menikmati aroma mint pada bantal Leon membuatnya hampir lupa cara bernafas. Leon berdiri di sisi ranjang membuat perhatian Nania tertuju padanya. Dahinya pun berkerut melihat Leon telah toples, hanya memakai celana. “Apa?” tanya Nania melihat Leon hanya menatapnya dengan tangan bersedekap d**a sampai akhirnya ia baru menyadari sesuatu. “tunggu, jangan bilang kau mau mengusirku, menyuruhku tidur di sofa.” “Menurutmu?” Nania bangun menegakkan punggungnya, duduk dan menatap Leon tak gentar. “Maaf sekali, tapi aku tidak sudi. Aku sangat lelah dan akan tidur di ranjang ini apapun yang terjadi tak peduli ranjang ini, bahkan kamar ini adalah milikmu. Anggap saja sebagai bayaranku karena aku sudah membantumu.” “Jangan banyak bicara. Ayo bercinta.” Nania melotot tak percaya dengan apa yang ia dengar. “Apa? Coba katakan lagi,” kata Nania sambil mengangkat tangan di sisi telinga seolah meminta Leon bicara lebih jelas dan keras agar ia mendengarnya. “Jangan banyak bicara, ayo bercinta. Buka bajumu, dan layani aku.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN