Nania tak berhenti menatap wanita berambut panjang sepinggang itu hingga tanpa sengaja wanita itu menoleh padanya dan membuat pandangan mereka bertemu.
Keduanya saling melempar tatapan seolah tak ada yang mau mengalah. Pantang bagi wanita itu mengalihkan pandangan saat ada orang yang menatapnya. Jika ia mengalihkan pandangan lebih dulu, itu artinya ia kalah. Tapi, hingga beberapa detik berlalu, Nania masih terus menatapnya membuatnya memutuskan menghampiri.
“Maaf, kulihat kau melihatku terus sejak tadi, apa kita saling mengenal?” tanya wanita itu setelah berdiri depan Nania. Wanita berdagu lancip itu bernama Melinda, selingkuhan Arsen.
“Tentu saja, harusnya kau mengenalku. Aku adalah wanita yang kekasihnya kau rebut! Dasar janda kurang ajar! Apa tak ada lelaki single yang sudi denganmu?!” Nania berteriak di depan wajah Melinda kemudian menjambak rambutnya dan mengacak-acaknya. Tak smpai disitu, ia juga mendorong Melinda dan menggelindingkannya ke kanan dan kiri seperti kambing guling.
Puk!
Leon menepuk bahu Nania saat wanita itu hanya diam dengan tatapan kosong seperti melamun. Seketika Nania tersentak dan tersadar. Rupanya, apa yang terjadi sebelumnya hanya ada dalam bayangannya saja. Ia tidak benar-benar menjambak Melinda apalagi menggelindingkannya.
Melinda menatap Naia dengan pandangan aneh. Apa dia begitu terpesona kecantikanku? batin Melinda.
Tiba-tiba Nania menyunggingkan senyuman dan mengatakan, “Ah, maaf. Aku hanya merasa kagum, anda begitu cantik.”
Alis Leon berkerut tajam menatap Nania. Ia tak percaya, bagaimana bisa Nania menganggap wanita di depannya cantik?
Melinda tersenyum puas, merasa dugaannya benar.
“Terima kasih, aku sudah sering mendengarnya,” ucap Melinda kemudian perhatiannya sekilas tertuju pada Leon. “apa kalian akan menikah?”
Tanpa melunturkan senyum palsu, Nania mengangguk. “Iya,” jawabnya. “apa anda juga?”
Melinda tersenyum kecil dan mengatakan, “Ya, tapi calon suamiku belum datang. Dia ada sedikit urusan dan akan menyusul nanti.”
Nania mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan dengan Melinda. “Selamat. Suami anda pasti juga sangat tampan dan pastinya, bukan pria sembarangan.”
Leon semakin dibuat heran dengan ucapan Nania. Ia merasa ada yang aneh dengannya.
Melinda menerima uluran tangan Nania, menjabat tangannya dan mengatakan, “Terima kasih. Sebenarnya, dia hanya pria biasa, tapi aku sangat mencintainya.”
Nania terkejut mendengar jawaban Melinda. Wajahnya seolah terkena terpaan angin hingga membuat matanya melebar, padahal tak ada angin yang memasuki ruangan, hawa dingin dan sejuk berasal dari AC.
Di saat itu pintu toko terbuka. Melinda menoleh dan senyumannya merekah, sementara Nania masih tetap pada ekspresinya.
Arsen mematung di depan pintu kala pandangannya menangkap sosok Nania. Ia pun sedikit bergidik teringat apa yang Nania lakukan sebelumnya pada burung perkututnya.
Melinda segera menghampiri Aren dan merangkul tangannya. “Sayang, akhirnya kau sampai.”
“Ya. Aku buru-buru menyelesaikan urusanku agar bisa segera kesini. Apa kau sudah memilih?”
Melinda menggeleng dan menjawab, “Belum. Aku juga baru sampai.”
Pandangan Leon tertuju pada Arsen kemudian pada Nania sekilas. Sekarang, ia bisa mengerti situasinya.
Leon setengah menunduk dan berbisik di telinga Nania. “Bukankah ini kesempatanmu?”
Nania menoleh perlahan pada Leon dengan pandangan sulit diartikan. Mungkin Leon benar, ini kesempatannya memanas-manasi Arsen, agar pria itu tahu, meski dia telah mengkhianatinya, dirinya tak peduli karena sudah ada Leon. Tapi … entah kenapa mengingat apa yang Melinda katakan sebelumnya membuatnya merasa tak ingin merusak kebahagiaannya.
“Apakah ada tempat lain selain tempat ini?”
Alis Leon berkerut tajam. “Kenapa?”
Nania menoleh dan menunjuk jejeran baju pengantin yang tergantung. “Aku tidak suka semua modelnya.”
“Ah, maaf, Nona. Kami masih memiliki banyak koleksi lainnya jika anda ingin melihat-lihat,” sahut asisten penjualan yang sedari tadi memilih diam melihat pelanggannya saling menyapa dengan pelanggan lain.
Nania menggeleng. Ia kemudian merangkul tangan Leon dan merengek seperti bayi. “Ayo lah, aku mau ke tempat lain. Aku mau memesan gaun pada perancang profesional.”
Perempatan siku seolah muncul di kepala asisten penjualan. “Dasar, sombong sekali,” batinnya.
“Ya, ya, ya,” pinta Nania.
Leon begitu risih melihat tingkah Nania hingga akhirnya ia pun menurutinya dengan pergi dari sana.
Nina tersenyum senang saat Leon mengabulkan permintaannya. Ia tak melepas rangkulan tangannya pada tangan Leon dan menyandarkan kepala di bahunya saat hendak melewati Arsen dan Meonda.
“Nona, kau tidak jadi memilih?” tanya Melinda saat Nania berjalan melewatinya dan Arsen.
Nania melirik Arsen sekilas kemudian menjawab, “Tidak. Aku berubah pikiran. Aku mau pesan gaun pada perancang busana profesional saja. Pernikahan adalah sesuatu yang istimewa, jadi aku ingin pernikahanku nanti jadi pernikahan yang tak terlupakan, terutama gaunnya. Iya, kan, Sayang.”
Dengan sengaja Nania bicara demikian pada Leon di akhir kalimatnya bahkan dengan nada manja.
Arsen mengepalkan tangannya. Bisa-bisanya dia bicara dan bersikap begitu? batinnya menahan geraman. Meski begitu, ia tak akan menunjukkan respon apapun, lebih baik tetap berpura-pura tak mengenal Nania.
“Kalau begitu kami duluan. Semoga pernikahan kalian lancar-lancar sampai hari H,” ucap Nania kemudian menyeret Leon keluar dari toko tersebut.
Jbles!
Nania menutup pintu setelah duduk di dalam mobil begitu juga Leon. Leon masih diam, tak berniat segera menyalakan start. Ia menatap Nania dengan tangan bersedekap d**a.
Nania terdiam selama beberapa saat sampai akhirnya megembuskan napas panjang dari mulut. Dan saat ia menyadari Leon terus menatapnya, ia menoleh dan berkata, “Apa.”
“Tidak, tidak ada,” jawab Leon kemudian mengalihkan pandangan dari Nania. Ia menghadap depan dan mulai menyalakan start.
Nania hanya diam dan menatap ke depan saat Leon mulai menjalankan mobilnya. Ia tahu apa yang ingin Leon katakan.
“Kupikir kau akan menjadi nenek sihir. Atau mungkin berteriak seperti orang gila. Wanita itu, selingkuhan kekasihmu, bukan?” Leon menoleh sekilas saat mengatakan kalimat terakhir. Sebenarnya ia tak ingin ikut campur urusan Nania, tapi ia hanya penasaran kenapa Nania bisa bersikap tenang padahal sebelumnya, Nania hampir membuat mantan kekasihnya impoten.
Nania hanya diam tak segera menjawab. Ia tampak mengatur napas, menarik napas dalam dari hidung dan mengembuskannya dari mulut.
“Aku juga sempat berpikir untuk menjambaknya, menggelindingkannya seperti roti gulung bahkan menjadi mak lampir lalu mengutuknya. Tapi, entah kenapa, aku merasa dia tulus mencintai mokondo itu. Dan saat mendengar anaknya juga menyukai mokondo itu, aku jadi merasa kasihan.” Nania menunduk saat mengatakannya, mengungkapkan perasaanya dan alasannya mengapa dirnya bisa bersikap tenang sebelumnya.
Leon melirik Nania lewat ekor mata. Masih sama, Nania tak berubah. Meski kadang bersikap bar-bar seperti cegil, sebenarnya dirinya polos dan baik.
Leon tersentak saat ponsel dalam saku celana berdering. Mengambil ponselnya, ia pun mengangkat panggilan.
“Hei, kau tidak benar-benar tidak pakai jasaku, kan? Ayo lah, aku hanya bercanda. Kenapa kau serius sekali?”
Leon hanya diam melirik ponsel yang menempel di telinga sekilas. Ia lalu mengakhiri panggilan dan mengabaikan panggilan yang kembali orang tadi lakukan.
“Jadi, kau mau siapa?”
Nania menoleh dan menatap Leon dengan alis berkerut. “Apa maksudmu?”
“Perancang busana. Tapi aku tidak yakin ada orang yang bisa menyelesaikan gaun pernikahan dalam waktu singkat meski dia profesional sekalipun.”
Nania berkedip pelan menatap Leon. Apa Leon serius menanggapi ucapannya sebelumnya? Padahal ia hanya mencari alasan agar bisa pergi, menghindari Arsen dan Melinda.
Nania mengalihkan pandangan dari Leon dan mengatakan, “Terserah. Aku tidak terlalu peduli dengan gaun atau lainnya. Bahkan hanya memakai pakaian biasa pun, aku tidak peduli. Apa yang kukatakan tadi, hanya sebagai alasan agar aku bisa pergi.”
Nania tak begitu peduli atau antusias dengan pernikahannya mengingat, pernikahan itu terjadi karena paksaan. Ia berpikir, tak lama dirinya dan Leon pasti akan bercerai juga, jadi tak perlu bermewah-mewah atau membuatnya menjadi spesial dan istimewa.
Leon hanya diam, jawaban yang Nania berikan sudah jadi pertanda ketidak peduliannya pada pernikahan mereka. Meski begitu, ia tak peduli dan merahasiakan tuntutan lain dari ayahnya yakni memberinya cucu. Terserah apa yang Nania pikirkan dengan pernikahan mereka, tapi ia akan membuat Nania benar-benar mengandung anaknya.