10. Kelaparan

1185 Kata
Leon kembali menempelkan ponselnya ke telinga dan membalas ucapan wanita di seberang sana. “Aku masih di perjalanan.” “Apa? Memangnya rumahmu di mana? Di mars? Sejak tadi di perjalanan terus! Kalau dalam waktu 15 menit kau tidak sampai di sini. Aku pergi!” Leon terdiam sejenak di mana raut wajahnya menjadi dingin. “Terserah. Aku bisa pergi ke tempat lain.” “A- apa?! He–” Belum selesai pemilik suara di seberang sana selesai bicara, Leon mengakhiri panggilan dan mengumpat. Nania menatap Leon dengan sebelah alis meninggi. Rupanya Leon tidak berubah, pria itu masih suka mengumpat. Drt …. Ponsel Leon berdering, dari orang yang sebelumnya bicara dengannya. Ia pun sama sekali tak berniat mengangkat panggilan tersebut dan mengabaikannya. Tiba-tiba Leon berhenti dan memutar arah membuat Nania terantuk ke depan nyaris membentur dashboard jika saja ia tak memakai sabuk pengaman, kepalanya pun membentur kaca mobil. “Apa yang kau lakukan? Apa kau sengaja?!” sentak Nania sambil mengusap kepalanya yang membentur pintu mobil. Leon hanya diam dan mempercepat laju mobilnya. Tak berapa lama kemudian, mobil Leon berhenti di depan bridal salon. Ia segera membuka sabuk pengaman dan menyuruh Nania turun. Tapi, ia dibuat terkejut saat menoleh. Nania menoleh kaku dengan wajah pucat, rambutnya tampak berantakan, kedua tangannya berpegang kuat pada handgrip. “Kalau kau mau mati, jangan mengajakku. Mati saja sendiri!” Nania berteriak di akhir kalimat hingga matanya memejam. Bagaimana tidak? Leon mengendarai mobilnya seperti orang kesetanan hingga beberapa kali hampir terjadi kecelakaan. Leon mendengus dan mengumpat dalam hati. Menurutnya Nania terlalu berlebihan. “Tapi kau masih hidup. Cepat turun,” kata Leon sebelum akhirnya ia turun dari mobil. Nania melepas perlahan genggam tangannya pada handgrip dan menatap sejenak tangannya yang gemetar dan basah oleh keringat. Ia seolah hampir meregang nyawa karena cara Leon berkendara. Ia belum siap mati, merasa belum memiliki bekal di akhirat nanti. Sepertinya, ia harus mulai mengumpulkan lebih banyak bekal mengingat setelah ini ia akan menikah dengan Leon. Jangan sampai ia mati mendadak karena ulah pria itu. Leon membuka pintu mobil samping Nania saat wanita itu tak segera turun. Kekesalannya sedang berada di puncak, tapi Nania seolah menambahnya hingga ingin meledak. “Apa aku harus menyeretmu?” Nania menurunkan satu kakinya kemudian diikuti kakinya yang lain. Namun, saat ia baru saja berdiri, tiba-tiba ia oleng dan Leon berhasil menahan tubuhnya, memegangi kedua bahu Nania. Leon sedikit terkejut saat merasakan tangan Nania gemetar begitu juga dengan tubuhnya. Ia pun berpikir apakah Nania benar-benar ketakutan setengah mati? Kedua tangan Nania yang berpegang pada lengan kokoh Leon, kian meremas saat ia sedikit mencondongkan tubuhnya ke depan. “A- aku … aku ….” ucap Nania dan semakin meremas lengan Leon. Brugh! Tiba-tiba saja Nania menjatuhkan kepala ke depan membuat jidatnya terbenam pada d**a bidang Leon yang terlindungi kemeja. “Jangan berpikir kau bisa menipuku yang kedua kalinya,” kata Leon kemudian melepas kedua tangan dari bahu Nani sambil mendorongnya. Namun, tubuh Nania seperti kehilangan tenaga, hampir merosot jatuh jika Leon tak kembali menahannya. Leon menyandarkan tubuh Nania padanya dan menyuruhnya segera bangun. Akan tetapi, Nania tetap tak sadarkan diri. Leon mencubit Nania hingga tangannya memerah, ingin memastikan apakah Nania kembali membohonginya atau tidak. Dan saat melihat Nania seperti tak merasakan apa-apa, ia baru percaya jika Nania benar-benar pingsan. Cukup lama kemudian, Nania tampak lahap menyantap sarapannya yang terlambat. Di depannya duduk Leon yang menatapnya tajam dengan tangan bersedekap d**a. Sebelumnya, ia membawa Nania ke klinik terdekat, jaraknya hanya ratusan meter dari tempat ia memarkirkan mobilnya. Dokter mengatakan Nania mengalami maag dan shock berlebihan. Tak lama setelah diperiksa dokter, Nania membuka mata dan Leon pun segera mengajaknya ke restoran untuk mengisi perutnya. “Eeegh!” Nania bersendawa setelah menghabiskan sarapannya, sepiring omurice yang sangat lezat. “Kenapa tidak makan?” tanya Nania melihat Leon tak menyentuh sarapannya. “Aku sudah kenyang melihatmu makan seperti bebek," jawab Leon. Ia masih menduga-duga jika Nania sebelumnya hanya pura-pura. Tadi dia begitu tak berdaya, tapi setelah melihat makanan dan menyantapnya, dia seperti mendapat tambahan cakra yang membuatnya kembali bugar seperti tak terjadi apapun sebelumnya. Mata Nania melotot. ”Hah?! Apa katamu!” sungut Nania tak terima. Ia sampai menggebrak pelan meja makan lalu menunjuk Leon tepat di wajahnya. “harusnya kau malu. Sebagai seorang pria, kau harusnya memperhatikan wanitamu. Sudah kubilang aku lapar, tapi kau justru pergi entah ke mana bahkan berkendara seperti sengaja mau mati,” cerocosnya hingga napasnya terengah. “bagaimana kalau aku terkena serangan jantung? Aku pasti akan menghantuimu seumur hidup.” Raut wajah Leon begitu datar melihat dan mendengar cerocosan Nania. “Sudah selesai? Jika sudah, bersihkan saus di sudut bibirmu. Itu membuatku jijik.” Mata Nania kembali melotot, napasnya naik turun dengan mulut terbuka. Ia lalu mengusap sudut bibirnya dengan jari telunjuk lalu dengan sengaja mengoleskannya ke sudut bibir Leon dengan tiba-tiba. “Biar kau semakin jijik!” sungutnya kemudian melangkah pergi menuju kamar mandi. Leon tetap duduk di tempat dan menatap punggung Nania dengan mengumpat sambil menyapu sudut bibirnya bekas saos dari mulut Nania. Ia sama sekali tak berniat mengejar karena ia tahu Nania pergi ke toilet. Nania berjalan dengan sengaja menghentak kaki meluapkan kekesalannya. Sesampainya di toilet, ia berdiri di depan wastafel dan menatap pantulan dirinya di cermin. “Jijik dia bilang?! Awas saja akan kubuat dia memakan sesuatu dari mulutku! Biar dia muntah sekalian!” gerutu Nania sambil membersihkan area mulut kemudian mengoleskan gincu warna peach. Tak lama kemudian, Nania kembali menyusul Leon dan menemukan pria itu telah menghabiskan sarapannya dan dengan santai menyesap kopi pahitnya. Dengan kasar ia duduk di kursi lalu bersedekap d**a dan memasang wajah masam. Leon meletakkan cangkir kopinya yang isinya hampir habis kemudian bangkit dari duduknya. Tanpa disuruh pun, Nania mengikuti hingga keduanya masuk ke dalam mobil. “Kukira kau akan kabur,” ucap Leon saat mulai menjalankan mobilnya meninggalkan parkiran restoran. Nania terhenyak, seolah baru tersadar. Padahal ia bisa kabur saat pergi ke toilet, Leon seperti tak peduli, tapi kenapa dirinya justru kembali? Nania menggembungkan pipi dan menoleh menatap kaca mobil. “Aku malas berdebat.” Leon melirik Nania sekilas kemudian tak lagi mengatakan apapun. Tak lama, mobil Leon kembali berhenti di bridal salon yang sebelumnya ia datangi. “Untuk apa kita ke sini?” tanya Nania setelah turun dari mobil dan menatap bangunan dua lantai di depannya. “Apa kau amnesia? Kita akan menikah, apa wajar kau masih bertanya untuk apa kita di sini?” balas Leon sinis. Padahal sudah terpampang dengan jelas signage besar di depan mereka, kenapa Nania masih bertanya jua? Nania menekuk wajah, merasa kesal dengan jawaban yang ia dapat. Harusnya ia kabur saat di restoran tadi. Tapi, saat itu sepertinya otaknya konslet. Seorang asisten penjualan menyambut Leon dan Nania dengan ramah saat keduanya memasuki tempat itu. Di saat bersamaan, seorang wanita yang merupakan pelanggan juga memasuki tempat tersebut dan seketika menjadi pusat perhatian Nania saat pandangannya tanpa sengaja menangkap sosok tersebut. “Apa yang kau lihat?” tanya Leon melihat Nania mengabaikan asisten penjualan yang sedang bicara, memperkenalkan apa saja yang ada dan tersedia di toko mereka. “Dia ….” gumam Nania. Leon mengikuti arah pandang Nania dan mengernyitkan alis melihat seorang wanita yang menurutnya aneh.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN