9. Mengalah

1074 Kata
Wanita berambut sebahu diikat ekor kuda itu berjalan menghampiri Leon dan Nania. Diperhatikannya keduanya dengan seksama terutama pada Nania. “Jadi ini calon istrimu?” tanya wanita itu yang bernama Kamila dan ia merupakan sepupu Leon. Alis Leon tampak mengernyit. “Bagaimana kau tahu?” Kamila terkekeh dan menjawab, “Aku dengar dari ayah dan ibu saat mereka bicara dengan paman tadi malam.” Perhatian Kamila kembali Nania, ia pun mengulurkan tangan mengajaknya berkenalan. “Halo, namaku Kamila dan aku sepupu calon suamimu. Salam kenal.” Nania menatap tangan Kamila yang menggantung lalu menjabat tangannya. “Nania.” “Aku tak mengira kita bisa bertemu secara kebetulan seperti ini. Oh, ya, apa yang kalian lakukan disini?” Kamila menatap Leon dan Nania bergantian dan menunggu mereka jawaban. Nania dan Leon saling melempar pandangan sekilas seolah tengah berpikir, jawaban apa yang harus mereka berikan. Mereka sedang bersandiwara, tak mungkin mengatakan apa yang terjadi, bukan? Lagipula, Kamila pasti akan menertawakan mereka jika tahu keberadaan mereka di sana karena saling gigit seperti vampir. “Dia sembelit.” “Dia diare.” Nania dan Leon saling melempar pelototan saat mereka berucap bersamaan. Nania menunjuk Leon sambil mengatakan bahwa Leon sembelit sementara Leon menunjuk Nania dan mengatakan Nania diare. “Apa? Apa aku tak salah dengar? Sejak kapan aku diare?!” sungut Nania tak terima. “Dan sejak kapan aku sembelit? Kau benar-benar lambat berpikir,” balas Leon seraya menyentil jidat Nania. Kamila memperhatikan Leon dan Nania bergantian sampai akhirnya tawa kecilnya terdengar. Ia tertawa renyah, menertawakan Leon dan Nania. “Ya ampun, kalian lucu sekali. Pasangan yang sangat serasi,” ucapnya sambil menyeka ujung matanya. Setetes air matanya sampai keluar karena tertawa. “sebenarnya aku sangat terkejut saat tahu kabar rencana pernikahanmu. Kukira kau tak akan menikah, Leon. Selain itu, pernikahan kalian sangat mendadak. Atau ….” Seketika Kamila memasang wajah serius dan menatap Nania dan Leon bergantian penuh selidik. “apa karena sudah ada calon Leon junior?” Nania setengah memiringkan kepala menatap Kamila dengan wajah bodohnya. Ia tidak tahu maksud sepupu Leon yang menjabat sebagai dokter spesialis gigi tersebut. “Jangan asal bicara,” kata Leon menatap Kamila dengan ekspresinya yang datar sedatar papan. Mata Kamila menyipit saat ia tersenyum dan menepuk bahu Leon. “Iya juga tidak apa-apa, kok. Lagipula kau kan sudah tua, hampir kepala tiga. Kalau terlalu tua punya anak, nanti anakmu memanggilmu kakek, loh.” Leon menepis tangan Kamila kemudian menarik tangan Nania untuk segera pergi. Seperti biasa, sepupunya itu sangat menyebalkan. Ia sampai menyesal sudah membawa Nania ke rumah sakit itu. Ah, lebih menyesal membawa Nania ke rumah sakit. Kalau tahu Nania hanya pura-pura, harusnya ia membuang Nania di jalan. Kamila masih berdiri di tempat tanpa berhenti tertawa sambil menatap punggung Nania dan Leon yang semakin menjauh. *** Jbles! Leon menutup pintu mobilnya setelah duduk di depan kemudi. Ia meremas setir kemudian melanjutkan memarahi Nania. “Jika setelah ini kau berani menggigitku lagi, aku akan menjual fotomu ke situs p0rno.” Nania terkejut hingga menarik punggungnya ke belakang, mulutnya pun terbuka. “Kau berani? Kalau begitu aku akan mengadu pada ayahmu kalau kau memaksaku menikah denganmu, dan kau akan kehilangan warisanmu!” “Dan kau akan malu seumur hidup, begitu juga ayah dan ibumu! Mereka mungkin tak akan sudi menganggapmu sebagai anak karena sudah mempermalukan mereka.” Nania mengambil napas dari mulutnya yang terbuka hingga dadanya terlihat naik turun. Ia tak dapat membalas ucapan Leon, hanya bisa meluapkan kekesalannya, kemarahannya dan kemuakannya dengan meremas tangannya di depan wajah Leon seolah meremas Leon hingga lumat. “Hih! Kenapa aku harus bertemu lagi dengan mantan bos menyebalkan sepertimu!” jerit Nania. Hap! Nania melotot saat sepotong roti menutup mulutnya kala ia berteriak. Leon menyumpal mulutnya dengan roti yang diambilnya dari laci dashboard. Nania mengambil roti yang masih terbungkus rapi itu kemudian melemparnya pada Leon. “Apa kau mau membunuhku?!” “Kau yang mau membunuhku! Lihat! Lihat!” Leon menunjukkan pergelangan tangannya yang bengkak dan membiru keunguan hasil gigitan Nania. “kalau sampai ini jadi infeksi dan tetanus, aku akan memotong tanganmu sebagai ganti!” Nania sempat terpaku melihat bekas gigitannya. Ia tak mengira bekas gigitannya sampai seperti itu. Ia lalu melihat bekas gigitan Leon di lehernya lewat spion tengah dan bekas gigitan Leon tak sampai membekas seperti hasil gigitannya. Leon memukul setir dan tampak frustasi. Rasanya ia menyesal sudah memilih Nania, harusnya ia memilih wanita bodoh saja agar tensi darahnya tak naik seperti sekarang ini. “Iya-iya, maaf. Makanya, siapa suruh membuatku kesal? Kau itu juga membutuhkan aku, harusnya kau sedikit lebih menghargai partnermu.” Nania merasa bersalah juga melihat hasil karyanya di pergelangan tangan Leon. Ia pun memilih mengalah agar masalah ini tak terus diungkit dan menjadi sumber pertengkaran lagi. “Apa kau lupa? Kau juga membutuhkanku. Aku bisa saja menghubungi mantan kekasihmu dan mengatakan yang sebenarnya.” Nania yang sebelumnya menunduk seketika mengangkat kepala dan menatap Leon dengan mata melotot. “Apa?! Jangan coba-coba!” “Makanya diam dan–” Ucapan Leon terhenti saat Nania meraih tangannya dan seolah kembali bersiap memberinya gigitan di tempat yang sama. Ia pun hampir berteriak. Namun, ia salah, Nania tidak lagi menggigitnya, melankan meniup luka gigitannya bahkan memberinya sedikit kecupan. Leon melebarkan mata sesaat, terkejut dengan apa yang Nania lakukan. Namun, ia segera kembali memasang wajah datar setelah Nania menjatuhkan wajahnya dari tangan. “Aku sudah memberinya obat. Kujamin, besok bekasnya akan hilang,” ucap Nania seraya tersenyum hingga matanya menyipit. Leon mendengus. “Dasar sinting,” ucapnya. “Sekarang, bisa kita anggap selesai masalah ini? Dan bisa antarkan aku ke restoran terdekat? Aku benar-benar lapar.” Nania tetap mempertahankan senyuman saat mengatakannya. Senyuman palsu yang sengaja ia sunggungkan karena sudah malas berdebat dan bertengkar dengan Leon. Sebenarnya Leon masih kesal, tapi entah kenapa setelah Nania mengobati lukanya, ia seolah tak bisa menunjukkan kemarahannya. Ia seakan sadar, Nania sudah mengalah dan mengungkit masalah yang sama tak akan ada habisnya. Nania mengembuskan napas dari mulut setelah berpikir masalah ini selesai saat Leon mulai melajukan mobilnya meninggalkan area rumah sakit. “Tidak apa-apa, Nania. Kau mengalah hanya untuk kali ini, anggap saja sebagai ucapan terima kasih karena tadi dia sudah membantumu membuat Arsen menganga,” ucap Nania dalam hati. Belum jauh mobil Leon meninggalkan rumah sakit, tiba-tiba ponselnya berdering. Ia pun mengambil ponselnya dari saku dan mengangkat panggilan. “Halo.” “Ke mana saja kau?!” Leon seketika menjauhkan ponsel yang baru menempel di telinga saat suara lantang dari seberang sana membuat telinganya berdenging.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN