Mata Nania masih membulat, menatap layar ponsel mantan bosnya yang menunjukkan foto dirinya yang setengah telanjang, hanya memakai CD dan bra. Bukan hanya itu, saat Leon menggeser layar, muncul video saat Leon berada di atasnya dan seperti sedang menggerakkan pinggulnya.
Leon menyeringai tipis dan menurunkan ponsel dari depan wajah Nania.
“Jika tidak mau ini tersebar, turuti perintah. Kita menikah.”
Nania masih mematung seakan begitu terkejut. Namun, saat kesadaran menerpa, ia segera meraih tangan Leon untuk merebut ponselnya. Sayangnya, Leon lebih cepat darinya, menarik tangannya ke atas saat Nania mengincar ponselnya.
“Berikan padaku! Kau benar-benar lancang!” teriak Nania yang tak terima. Ia marah, dan juga ketakutan jika foto dirinya itu tersebar. Bisa-bisa ia tak laku lagi jika foto seperti itu dikonsumsi publik.
Nania berusaha menggapai ponsel Leon di tangan. Namun, ia tak sampai. Dengan tinggi 165cm yang ia miliki, ia tak mampu menjangkau tangan Leon yang terangkat tinggi.
“Berikan padaku! Apa kau gila?! Aku akan lapor polisi! Aku akan melaporkanmu ke polisi!” racau Nania sambil terus melompat berusaha menggapai ponsel Leon.
“Silakan saja, dan polisi akan melihat tubuh polosmu juga.”
Nania berhenti melompat, berhenti berusaha merampas ponsel Leon dari tangannya saat mendengar ucapan pria itu. Leon benar, polisi pasti menjadikan foto dirinya bahkan videonya sebagai barang bukti. Dan bisa saja semua itu akan tersebar ke publik.
Melihat Nania menyerah, Leon merasa puas. Ia lalu berbisik di telinga Nania, mengatakan, “Jadilah kucing penurut, aibmu, ada padaku.”
***
“Argh!” Nania berteriak sambil mengacak rambutnya frustasi. Saat ini ia telah berada di kamarnya, baru saja pulang dan tak bisa berhenti memikirkan nasibnya. Ini gila, sangat gila jika ia harus menikah dengan mantan bosnya. Meski bosnya tampan, tapi pria itu memiliki sifat yang menjengkelkan. Dulu ia bisa bertahan menjadi sekretaris pria itu selama 1 tahun penuh juga karena terpaksa. Jika bisa, waktu itu dirinya sudah resign di bulan pertama.
Nania menjatuhkan tubuhnya membuatnya terlentang di atas ranjangnya. Ia lalu kembali berteriak dengan tangan dan kaki memukul udara, bertingkah seperti orang gila yang mengamuk.
Tiba-tiba Nania teringat sesuatu. Ia segera bangun untuk duduk dan mengambil ponselnya dari dalam tas.
Nania menempelkan ponsel ke telinga setelah menekan icon panggilan pada layar. Ia menghubungi seseorang yang ingin dimintai pertanggung jawaban.
“Ha–”
“Kenapa kau meninggalkanku?!”
Belum sempat pemilik suara di seberang sana selesai mengucap sepatah kata, suara Nania lebih dulu menyela.
“Kenapa kau membiarkan pria gila itu membawaku?! Kau ini teman atau musuh?!” ucap Nania lantang dengan napas tersengal tak terkendali. Ia benar-benar marah pada temannya, orang yang menemaninya ke klub semalam. Harusnya temannya itu melindunginya, tidak membiarkan sembarang pria membawanya.
“Apa maksudmu, Nan? Aku semalam ke toilet dan saat kembali kau sudah tidak ada. Kupikir kau sudah pulang dan meninggalkanku.”
“Apa menurutmu aku bisa pulang dengan keadaan mabuk?! Kau benar-benar, Lisa, benar-benar jahat!”
Nania membanting ponselnya ke ranjang setelah berteriak pada layar. Ia benar-benar marah, kecewa dan geram pada sahabatnya. Harusnya Lisa tak meninggalkannya begitu saja. Masih sedikit untung yang membawanya adalah mantan bosnya, bagaimana jika om-om perut buncit berpenyakit yang menemukannya? Mungkin ia akan mengakhiri hidup saat itu juga.
Nina menggeleng keras mengenyahkan pikiran itu. Tak untung juga ia dipertemukan dengan mantan bosnya karena sekarang ia harus terjebak dengan pria itu. Ia harus menikah padahal tak ada cinta.
Sementara itu di sisi lain yakni di tempat Lisa, teman Nania yang baru saja dihubungi, wanita itu telah mengakhiri panggilan.
“Sorry, Nan. Tapi aku tak bisa mengabaikan uang-uang ini,” ucapnya kemudian menjatuhkan tubuhnya ke ranjang yang di atasnya berserakan lembaran-lembaran uang.
Lisa berguling ke kanan dan kiri sambil menghirup aroma uang-uang di bawahnya. Uang yang dijadikannya kasur itu adalah pemberian Leon. Leon memberinya uang sekitar 10 juta rupiah dengan imbalan Nania pergi bersamanya. Awalnya Lisa menolak karena bagaimanapun Nania adalah temannya. Tapi ia tak bisa menolaknya saat Leon menawarkan imbalan. 10 juta, siapa yang tak akan tergiur mendapatkan uang sebanyak itu tanpa melakukan apapun. Lagipula, ia juga berpikir Nania pasti tak akan menyesal karena pria yang membawanya sangat tampan.
Kembali ke tempat Nania, dirinya tak bisa berhenti berpikir hingga kepalanya berdenyut-denyut. Sambil mendesah berat ia memijit pelipis kemudian berjalan gontai menuju kamar mandi. Ia harap berendam air hangat dapat membuat pikirannya lebih rileks.
Sesampainya dalam kamar mandi, Nania menyalakan kran air hangat untuk mengisi bathtub. Sambil menunggu air penuh, ia membuka satu persatu pakaiannya kemudian mengambil essential oil untuk ia campurkan ke dalam air. Setelah merasa air dalam bathtub cukup, ia mematikan kran kemudian berendam. Aroma lavender dari essential oil yang bercampur air yang merendam tubuh terasa memenuhi kamar mandi Nania, membuatnya menjadi sedikit lebih rileks.
Nania menyandarkan punggungnya dan memejamkan mata menikmati sensasi nyaman yang menenangkan. Namun, tiba-tiba saja matanya terbuka saat teringat Arsen, mantan kekasihnya. Padahal ia sudah sedikit bisa mengurangi beban pikiran mengenai Leon, tapi ia justru teringat mantan kekasihnya yang sialan. Bagaimana tak sialan? Pria yang sudah menjadi kekasihnya selama setahun itu, berkhianat dengan seorang janda kaya. Dia lebih memilih mengakhiri hubungan dengannya dan berniat menikahi janda kaya itu.
“Maaf, Nin. Kita tak bisa melanjutkan hubungan ini. Aku sudah terlanjur mencintainya. Anaknya juga menyukaiku dan menganggapku sebagai papanya. Aku tak bisa meninggalkannya, Nin. Mereka membutuhkan aku. Aku yakin kau akan mendapatkan pria yang lebih baik dariku.”
Tuk! Tuk!
Nania mengetuk jidatnya dengan kepalan tangan saat kata-kata Arsen kembali terngiang, saat pria itu mengakhiri hubungan mereka dengan alasan yang memuakkan. Jika mengingatnya membuat dadanya terasa begitu sesak. Alasannya pergi ke klub semalam hingga mabuk pun karena masalah itu.
“Sudah lah, Nan, berhenti memikirkannya!” teriak Nania tanpa berhenti memukul jidat.
Tiba-tiba Nania tersentak saat mendengar suara dari luar. Ia segera menegakkan punggungnya dan mengarah pandangan ke arah pintu. Suara itu berasal dari kamarnya. Kira-kira suara apa? Apa mungkin tikus? Tapi tidak ada tikus di rumahnya.
Nania menelan ludah, kedua tangannya meremas pinggiran bathtub dan mulai memasang waspada.
Brak!
Nania sampai terjingkat saat pintu kamar mandi terbuka lebar dan berdiri seseorang yang merupakan tersangka. Jantungnya seperti hampir copot, matanya melotot, dan di detik berikutnya suaranya melengking memenuhi kamar mandi saat orang yang membuka lebar kamar mandi mulai melangkah ke arahnya.